Tahun 2011 sempat menyesal saya, duh, kenapa draft yang ini tidak dipublish. Ketinggalan momen deh hehehehe. Totally wrong. Bertahun-tahun setelah itu, saban hari Kartini ternyata titik kerusuhannya belum move on juga hahahhahaha. 4 tahun berlalu, mari kita tuntaskan draft ini :p. Tentang Cut Nyak Dhien dan Kartini.
Mengapa harus Kartini? Bukan Cut Nyak Dhien, bukan Rohana Kudus, bukan Dewi Sartika, bukan Christina Martha Tiahahu, bukan Emmy Saelan, pokoknya bukan mereka yang benar-benar punya jejak perjuangan yang nyata. Kartini tidak nyata, nih? hehehe :p.
Diantara sekian banyak kontroversi, muncul juga isu agama. Teori konspirasi ini itu. Bahwa katanya surat-suratnya palsu itu karangan orang Belanda. Bahwa Kartini sengaja diusung untuk membenamkan perjuangan perempuan-perempuan Islam di masa lalu. Intinya, ‘mereka’ ingin menghancurkan Islam! #eaaaaa.
Saya jadi penasaran … se-inferior apa sih umat Islam terkini, di mana semua kontroversi nampaknya begitu mudah ‘diselesaikan’ dengan tuduhan “ini pasti konspirasi!” :p.
Saya juga tidak bisa membaca pikiran Bung Karno saat itu. Mengapa beliau menetapkan hari lahir Kartini sebagai sesuatu yang ‘spesial’.
Diantara desas desus yang tidak kalah pentingnya yang beredar –> Dipilih karena Kartini kan orang Jawa!
Kalau mau bahas Jawa-nya, orang Bugis juga bisa berkilah. Kenapa bukan We Tenri Olle? Perempuan ini adalah pemimpin pertama dari Kerajaan Tanete di Sulawesi Selatan. Kontroversi pengangkatannya tidak membuatnya terjungkal dengan mudah. Selama 55 tahun menjadi Datu (Pemimpin Kerajaan/Raja/Ratu), We Tenri Olle bisa melejitkan wilayah Tanete.
We Tenri Olle juga dikenal sebagai “Siti Aisyah We Tenri Olle”. Pengaruh Islam sudah cukup besar di wilayah Sulawesi saat itu. Jadi, yang hendak menyerang citra Islam sebagai kepercayaan yang membatasi ruang gerak perempuan, mungkin situ referensinya kurang luas aja :p.
Islam justru mematahkan mitos perempuan sebagai “warga kelas dua” di masa turunnya di abad pertama di jazirah Arab. Kalau di Inggris orang baru ‘serius’ ribut-ribut emansipasi perempuan pasca Perang Dunia 2, Islam sudah belasan abad lebih dulu.
Islam “takut” melihat perempuan mandiri? Bunda Khadijah memangnya profesinya apa? Beliau seorang pedagang besar. Ingat, dulu belum bisa kongkow-kongkow di rumah buka toko online dengan modal “Inbox ya Sis” :p.
Bisa jadi, Bung Karno referensinya saat itu masih terbatas :). Nama We Tenri Olle sendiri belum hits. Referensi tentang dirinya sangat terbatas. Beliau pun tidak pernah menuliskan apa-apa tentang dirinya sendiri. Penting lhoooo menulis itu :D.
Balik lagi ke soal agama, Ibu Kartini pun sebenarnya seorang muslimah. Walau tanpa kain kerudung di kepalanya, konon, Bung Karno sangat tertarik dengan hasrat belajarnya yang tinggi. Kartini sempat mempertanyakan mengapa alquran tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa agar lebih mudah dipelajari.
Dari beberapa referensi, misteri “Habis Gelap Terbitlah Terang” ditengarai datang dari ayat-ayat dalam surah Al Baqarah :). Curhatan Kartini kepada Mrs Abendanon memang menyebut-nyebut soal ini. Arti aslinya, “Dari Gelap Menuju Cahaya” dikaitkan dengan “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur” –> “Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya” :).
Mengetahui betapa indahnya ajaran Islam di mata Kartini dan betapa berkesannya pemahamannya akan alquran, masa sih masih ingin menggugat keislamannya? Kenapa? Karena di kepalanya identik dengan konde instead of berkerudung? :p.
Kegelisahan lain adalah tentang prestasinya. Hadeeehhh, cuma emak-emak ningrat kurang kerjaan yang kebetulan bisa berbahasa Belanda yang nulis surat ke orang Belanda. Isinya curcol pula. Apa hebatnya?
Dewi Sartika yang juga ditampilkan sebagai figur berkonde malah sudah terjun menggagas pendidikan untuk kaum perempuan. Langsung mendirikan Sekolah Perempuan. Pemalas amat Kartini cuma bobo-bobo cantik di rumah sambil surat-suratan :p.
Rohana Kudus, salah seorang pelopor jurnalis perempuan di Indonesia. Nah, tulisannya pun lebih cetar. Tidak sekadar lembaran curhat dan kegelisahan seorang ibu rumah tangga. Dia juga mendirikan sekolah, lho. Pakai kerudung pula. Kurang salehah apalagiiiiiii? Konon, Ibu Rohana punya ‘kekurangan’ di mata Bung Karno. Karena beliau mengkritisi poligami? Secara Bung Karno kan pelaku poligami?
Cut Nyak Dhien, Christina Martha Tiahahu adalah pejuang wanita di garis terdepan. Emmy Saelan datang belakangan. Beliau adalah pejuang wanita yang juga bertempur langsung menghadapi musuh di era pasca kemerdekaan.
Di akhir hidupnya, Emmy Saelan memimpin puluhan pasukan menghadapi Belanda. Saat hanya dirinyalah satu-satunya yang tersisa, Emmy Saelan tetap tidak menyerah. Dilemparkannya sebutir granat, satu-satunya senjata yang tersisa di genggaman tangannya. Banyak pasukan lawan menjadi korban granatnya termasuk Emmy Saelan sendiri, gugur di pertempuran tersebut.
Mencoba menggugat perjuangan Kartini dibandingkan pahlawan-pahlawan perempuan yang saya sebutkan tadi seolah mengingatkan saya terhadap gugatan akan kemandirian perempuan. Ada pemikiran, perempuan tuh harusnya berkarya nyata dong di masyarakat. Lebih keren memberikan kontribusi langsung. Kalau cuma ngendon di rumah sambil momong anak + ngurus dapur, apa hebatnya?
Menghina perempuan yang katanya cuma nulis surat doang compare to mereka yang benar-benar mendirikan sekolah untuk masyarakat dan mengangkat senjata? Bukankah jadinya ironis? 🙂
Kalau boleh menebak-nebak isi pikiran Bung Karno, kira-kira gimana tuh, ya.
Tahun penetapan hari lahir Kartini sebagai salah satu perayaan nasional adalah bertahun-tahun setelah masa kemerdekaan. Saat itu, perjuangan bangsa tidak lagi tentang mengangkat senjata di medan perang. Melainkan berusaha bersama-sama memajukan tanah air pasca kemerdekaan telah direbut dan pembagian wilayah sudah “tuntas” dengan Belanda.
Mungkin, kan ceritanya nebak-nebak nih hehehehe, Bung Karno ingin memperkenalkan bentuk perjuangan anti mainstream termasuk kepada para perempuan. Dilahirkan sebagai priyayi, Kartini dan saudara-saudaranya sudah termasuk keren di zamannya.
Dari sudut rumah yang lepas dari hiruk pikuk kontroversi penjajahan, Kartini muda konsisten menuntut ilmu. Dalam kebingungan dan banyak pertanyaannya, Kartini menuliskan kegalauannya.
Mengutip komentar Mas Bowo Kusumo tempo hari, “Kenapa Kartini menjadi popular? Karena dia menulis. Kalo zaman sekarang, mungkin dia bikin blog. Lantas blognya dibaca oleh jutaan orang dan banyak mengubah kehidupan orang banyak. Kartini menunjukkan bagaimana pena bisa lebih tajam dari pedang dan lebih ampuh dari peluru.”
Lah, Rohana Kudus juga menulis, kok.
Mungkin waktu itu Bung Karno belum tahu soal Ibu Rohana hehehehe. Kemungkinan kedua, Bung Karno memang ingin menawarkan perspektif yang lain. Memangnya kenapa kalau perempuan di rumah saja? Apakah jika Kartini pada akhirnya rela dimadu, kesannya kan lembek amat tahu-tahu mau dikawinin dan mengkompromikan cita-citanya, berarti Kartini tidak layak menjadi ikon emansipasi?
Buat saya, emansipasi perempuan ini masalah kebebasan. Kebebasan untuk MEMILIH. Apakah kehebatan perempuan itu selalu diukur dengan keberaniannya lebih banyak berkarya di luar rumah dan untuk orang banyak selain untuk keluarganya? Bagaimana dengan perempuan-perempuan seperti saya? Yang ternyata belakangan menyadari, setelah anak saya lahir dan diasuh baby sitter, saya kok tidak ikhlas rasanya.
Tapi, apakah perempuan yang akhirnya lebih banyak menyerahkan pengasuhan anak kepada tangan ketiga berarti menyalahi kodrat? Bagaimana pula dengan ibu saya?
Belakangan ibu saya mengaku kalau sebenarnya beliau sangat tidak suka menjahit. Punggungnya sakit. Tapi dengan beban ekonomi yang ketat, ibu memilh untuk membantu bapak. Ijazah SMP pun tidak punya, tak banyak keahlian yang bisa dipilih bukan? Ya sudah, biar sinkron dengan jualan bapak, ibu belajar menjahit gorden.
Ibu saya tak hendak menikah muda. Keadaan yang memaksa. Saudara kembarnya saja, tante saya, itu lulusan S1 IAIN lho :).
Ibu mertua saya lain lagi. Sejak pertama bertemu, saya sudah merasa terintimidasi dengan kecerdasan dan kecantikan Mami, panggilan buat ibu mertua saya, nih :D. Soal cerdasnya, tak heran lah, sejak dulu pendidikan tinggi bukan hal tabu bagi umumnya perempuan asal Minang.
Onde mande banget kalau lihat foto-foto Mami waktu masih muda. Yang super narsisi pun langsung angkat tangan! Hahahahha. Mami berdarah Bukittinggi 100%. Hidungnya mancung sekali, kulitnya putih bersih. Bukan lagi level kuning langsat. Putihnya seperti kulit orang bule. No wonder, suami saya sering disangka bukan orang Indonesia asli hehehehe. Dari situ asalnya ;).
Kalau tidak salah, hanya setahun Mami menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Di tahun kedua Mami memutuskan memilih pinangan dari bapak mertua. Sejak awal menikah, sudah dibawa merantau nun jauh ke Sulawesi Utara. Di tahun segitu, orang Minang memang sudah jauh lebih maju dalam dunia pendidikan. Di Sulawesi ya mau sekolah apaan? Hehehe.
Suami saya lahir di Yogyakarta. Di Yogya, Mami punya kesempatan untuk memilih. Usia baru 30 tahun. Dulu, wajar saja jika orang kuliah di umur segitu. Universitas bagus-bagus juga di Yogyakarta. Mami bilang tidak tega meninggalkan suami saya yang waktu itu umurnya baru setahunan.
Begitu banyak keinginan yang tidak kejadian, keadaan yang kadang ingin dihindari. Begitu banyak kombinasi jalan hidup yang harus dihadapi dan pilihan yang harus dibuat.
Seharusnya … perempuan PUN boleh memilih. Seharusnya kita, perempuan, bisa menjalani macam-macam pilihan tanpa penghakiman apa pun. Pening, kan? Memilih di rumah, dibilang sayang ijazahnya. Memilih berkarya di luar rumah, dibilang tak ada surga untuknya.
Memilih sekolah tinggi suka ditanya-tanya untuk apa? Ya masa tidak boleh menimba ilmu setinggi mungkin? Sekolah tidak tinggi pun, disindir perempuan harus tetap punya pendidikan mumpuni untuk mengasuh anak-anak. Kalau oon, entar anak-anaknya jadi apa? Memangnya ilmu hanya didapat dari bangku sekolah formal?
Punya karier cemerlang dianggap mengintimidasi laki-laki. Kasihan pasangan hidupnya. Tak punya karier apa-apa, ditakut-takuti karena dianggap tidak mandiri. Gimana kalau ditinggal suami?
Macam-macam ‘label’ tadi, yang justru tumbuh atas desakan lingkungan membuat kita, perempuan, menjadi serba insecure. Ujung-ujungnya, insekuritas tadi memicu peer pressure di kalangan perempuan sendiri.
Saling nyinyir-nyinyiran tak tentu arah. Segala alasan digunakan. Mulai dari alibi budaya sampai alibi agama. Saling menuduh saling menjatuhkan. Enggak capek, buibu? :p
Padahal kan, “To believe in your choice you don’t need to prove that other people’s choices are wrong.”– Paulo Coelho
Kisruh Cut Nyak Dhien vs Kartini sebenarnya adalah cerita lama untuk memperkuat insekuritas di kalangan perempuan itu sendiri. Apakah merayakan hari Kartini otomatis membuat kita mengingkari perjuangan Cut Nyak Dhien? Ya enggak lah :).
Kalau memang ingin mendesak pemerintah untuk lebih banyak menggali sejarah perjuangan perempuan Indonesia, tidak harus dengan menjelek-jelekkan yang lain kan? 🙂
Emansipasi harusnya dimanfaatkan untuk saling menguatkan. Saling berbagi pilihan masing-masing tanpa harus saling menghakimi :). Saling memahamkan bahwa bersama pilihan apa pun, akan selalu ada konsekuensi yang menyertai. Saling memberanikan diri menghadapi apa pun konsekuensi tadi.
Sebuah tulisan dari penulis perempuan di luar sana, sori lupa namanya hihihi, untuk pengingat kita, para perempuan. “Once were girls … we compete to each other. As women … let’s empower one another” :).
Mari memilih dan apa pun alasannya … let’s simply be happy :).
Apa pun pilihan itu, tak akan lupa kacang pada kulitnya, tak boleh lupa perempuan Indonesia pada ‘daster’nya ;). Selamat hari Kartini ^_^.
***
View Comments (15)
selamat hari kartini :)
Yes! Selamat hari emansipasi. Mari memilih ^_^.
Jikalau mba jihan ini seangkatan ibu kartini..mungkin akan dinobatkan menjadi ibu kita..eh..
Emang bener pesona tulisan sungguh cetar skali..saya jg akan belajar nulis :-) :-)
selalu keren tulisannya mba..
Ya ampun seangkatan IBu Kartini, jadul amat dong hihihi. Thanks ya sudah membaca :).
pertanyaan nggak capek buibu? harusnya ditambahin sodara2, bapak2, dll. karena yg suka nyiyirin itu tdk selalu buibu. Hehe...
Selamat hari kartini :)
Sisanya penggembira aja kayaknya. Yang tokoh utamanya tetep para emak-emak hihihi :D
Tanete Mbak. Tanete di Sulawesi Selatan. Ternate di Maluku :D.
pertanyan yg sama mba jihan. Saya juga ngerasa bingung knp ibu Kartini bukan Dewi Sartika. Akhirnya komen jg di blog mba jihan, selama ini cuma silent reader.
Lah, kan sudah ditulis alasannya hihihihi. Saya jujur saja tidak pernah mempertanyakan sih. Orang-orang yang nanya, saya malah ceritanya mau bantu jawab :D
Sudut pandang yang menarik mak. Itu kalimat terakhir pas banget ya mak, "...tak akan lupa kacang pada kulitnya, tak boleh lupa perempuan Indonesia pada ‘daster’nya" Hahaha.. Hidup daster! *lho :D
mentang-mentang tulisannya dimuat di majalah "KARTINI" , coba kalo ada majalah "DEWI SARTIKA" atau "RASUNA SAID" :-)
Majalah Dewi sih ada bangeeetttt :D
menarik juga sih, tapi kalau cut nyak dhien di tetapkan sebagai pahlawan oleh soekarno, maka aceh tidak akan pernah "ribut" ama indonesia.. ah entahlah..
Itu kan asumsi juga ^_^. Masalah Aceh kayaknya tidak sesimpel itu :).
keren mbak tulisannya. saya suka.