Oiya, tempo hari “Yamaha Motor Indonesia” mengadakan semacam photo contest gitu. Judulnya “Buku Jendela Impianku.” Peserta diminta berfoto dengan salah satu buku favoritnya. Terus di keterangan foto diminta menuliskan resensi buku.
Nah, eike tentu tak ketinggalan ingin bernarsis ria hihihihi. Foto-fotonya mah sebentar banget. Paling cuma 10 menit. Pulang dari nganter anak-anak + suami berenang, kita mampir di tepian Sungai Shannon. Apartemen kita kan emang di pesisir sungai ini. Jadinya kalau pulang, pasti ngelewatin salah satu spot bagus di sisi sungai yang ciamik buat foto-foto.
Foto-fotonya 10 menit, resensinya 4 jam! Huhuhuhu. Buku pilihan kali ini tebal punya :P. 400 halaman lebih. Bacanya sudah dari januari kemarin. Tapi kan mesti buka-buka lagi biar resensinya enggak asal jadi. Eh, ternyata baru sehari setelah deadline, pengumuman muncul. Alhamdulillah, juara 2! Horeeeeeee ^_^
Senang dong menang…pastinyaaaaa :D. Tapi langsung curiga, apa iya ini resensinya dibaca oleh juri? Terus nyadar, lahhh namanya juga “photo contest.” Tulisannya malah memang cuma pendukung saja.
Daripada mubazir, ditulisnya saja 4 jam, bela-belain tidur jam 1 malam ngejar deadline lomba :P, saya edit lagi terus dikirim ke rubrik “Ruang Perada” / resensi bukunya Koran Jakarta. Alhamdulillah, dimuaaaattttt :D. Enaknya Koran Jakarta ini, ada versi onlinenya juga :). Resensi saya ada di https://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/122521.
Sepertinya sudah diringkas juga oleh editor Koran jakarta. Berikut adalah versi aslinya :).
***
“Jas Merah” Para Ulama dalam Budaya Lampau Nusantara
Judul buku : Ulama & Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia
Penulis : Jajat Burhanuddin
Penerbit : Mizan
Cetakan : 1 / Juni 2012
Tebal (isi) : 397 halaman, total 496 halaman
ISBN : 978-979-433-691-5
Harga : Rp.85.000
Penulis resensi : Jiihan Davincka
Sebuah peristiwa politik (mungkin) tengah memasuki klimaks, setelah berbulan-bulan ikut menyeret isu ‘islam dalam politik ‘. Keislaman dalam bernegara tengah tergugat.
Menengok masa lampau tanah air, Islam tidak merekah dalam seketika. Tidak serta merta menjadi sebuah kepercayaan mayoritas di sebuah Negeri Khatulistiwa yang senyatanya berhamburan banyak budaya dan tradisi.
Sebuah paparan sejarah yang cukup bernas ditampilkan oleh penulis Jajat Burhanuddin dalam bukunya, “Ulama & Kekuasaan.” Menghamparkan aspek historis yang belum banyak terjamah yang membuat para ulama menancapkan posisi intelektual dan sosial dalam mempertahankan posisi penting mereka dalam Islam Indonesia. Pembahasan dimulai dari periode kerajaan-kerajaan Islam nusantara sebelum masa kolonial.
Munculnya kerajaan-kerajaan Islam tak lepas dari pengaruh para pedagang muslim yang mulai membanjiri pesisir Nusantara di abad ke-13. Setelah Kerajaan Samudera Pasai di Sumatera, kerajaan Islam mulai menuai keberhasilan di pulau Jawa dengan menampilkan kerajaan Demak di akhir abad ke-16. Di masa ini, kaum ulama menjadi bagian dari elite pemerintahan.
Pendekatan penyebaran Islam yang sama sekali tidak mengancam posisi raja membuatnya leluasa meraih pengaruh. “Islam telah dirumuskan dalam kerangka pemikiran politik yang memberi penekanan pada kemahakuasaan raja. Meskipun Islam dijadikan ukuran bagi raja ideal, ia tidak pernah menjadi basis evaluasi perilaku politik raja. Dalam diskursus Islam pada periode tersebut tidak ada peluang bagi rakyat untuk mempertanyakan hal itu kepada raja. Justru, Islam menjadi sumber pembenaran agama bagi para penguasa kerajaan absolutis di Nusantara, yang mencapai puncak di abad ke-17” (Hal.58).
Ide awal mengenai “Insan Kamil” (Manusia sempurna) yang dibawa kaum sufi ditantang oleh Islam yang berorientasi Syariat. “Berakhirnya kerajaan-kerajaan maritim di pesisir sering dipandang sebagai tahap akhir dari Islam kota dan kosmopolitan di pesisir. Pada saat bersamaan dianggap sebagai permulaan dari Islam tradisional yang berbasis di wilayah pedalaman Nusantara” (Hal.73).
Runtuhnya kerajaan, masuknya pengaruh kolonial, membuat para ulama mulai melepaskan diri dan membangun ranah sendiri di luar kerajaan. Muncullah pesantren di Jawa, surau di Minangkabau dan ‘dayah’ di Aceh.
Era ini membuka hubungan lebih jauh antara Islam nusantara dan Timur Tengah. Beberapa guru agama berguru ke Makkah dan Madinah. Selain menegaskan ajaran Islam yang berorientasi Syariat, terbukanya jaringan kepada kedua kota suci muslim tersebut mendatangkan orang-orang Arab di Nusantara sekaligus membentuk sebuah komunitas ulama Indonesia di Makkah, Ulama Jawi.
Semakin merebaknya anti kolonialisme di abad ke-19 membawa kaum ulama tampil sebagai penantang utama. Ulama dan komunitas santri pesantren menjadi kelompok utama dalam mengobarkan perlawanan kepada penjajah. Mereka memberi justifikasi religius kepada pemimpin perang seperti Pangeran Diponegoro. Mengubah konflik internal keraton Jawa menjadi peperangan berdimensi agama.
“Politik Etis” membawa perubahan yang tidak sedikit bagi perkembangan komunitas Islam nusantara. Salah satu tokoh penting Islam yang dipersembahkan pada era ini adalah Raden Mas Tirtoadisurjo. Seorang priyayi yang memiliki minat sangat tinggi pada dunia jurnalisme. RM Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita, Medan Prijaji dan Putri Hindia. Lebih penting lagi, beliaulah pendiri Sarikat Dagang Islam.
Angin perubahan pun memunculkan reformisme Islam, terkait perubahan jaringan intelektual dari Makkah ke Kairo. Para ulama turut merespons dan memodernisasi pusat-pusat pengajaran Islam di pesantren-pesantren tanah air. Kelahiran organisasi Muhammadiyah yang digagas oleh Ahmad Dahlan di tahun 1912 merupakan salah satu buah reformasi Islam nusantara.
Tanpa disadari, kehadiran para reformis dianggap mengganggu otoritas para ulama tradisional. Pertentangan tokoh reformis vs muslim tradisionalis tergambar dari hubungan kedua sahabat, Wahab Hasbullah dan Mas Mansoer. Kedua sahabat yang hubungannya memburuk sejalan dengan mencuatnya nama kedua tokoh ini sebagai aktor utama dari pertentangan 2 kubu tadi. Mas Mansoer akhirnya bergabung dengan Muhammadiyah dan memulai langkahnya hingga mencapai predikat Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Adapun Wahab Hasbullah, dengan restu ulama sepuh Hasyim Asyaari, mendirikan Nahdatul Ulama (NU) di tahun 1926. NU menjadi organisasi resmi bagi ulama tradisionalis seperti Muhammadiyah bagi kaum reformis islam nusantara.
Keterlibatan ulama di dalam politik riil merupakan cara lain untuk menegaskan keberadaan mereka pasca-kolonial. Mereka mulai menggunakan peranan beberapa posisi strategis di pemerintahan, seperti Kementrian Agaman, sebagai pelindung konstituennya. Cara ini menuai suara kritis dari tokoh-tokoh muslim baru yang menamakan diri, “intelektual Muslim.” HMI adalah salah satu bentukan organisasi yang mewakili kelompok ini.
Gerakan tarbiyah (pendidikan) yang muncul dalam kelompok-kelompok kecil adalah akar dari kehadiran sebuah partai dakwah, “Partai Keadilan” (PK) yang berdiri di tahun 1998. Sebelum pemilihan umum tahun 2004, PK mengganti nama menjadi “Partai Keadilan Sejahtera.”
Islam Indonesia kontemporer juga memunculkan dewan ulama yang disponsori pemerintah Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Yang menurut penulis, sebagian besar fatwa MUI dibuat dalam rangka justifikasi Islam bagi kebijakan-kebijakan pemerintah.
***
Kelemahan utama dari buku ini adalah cara penulisannya yang terlalu datar dan sungguh mudah memicu kebosanan. Yang membuat saya tak berkutik untuk tidak menyelesaikan 397 halaman isinya adalah ketertarikan saya (mungkin) terlalu besar pada sejarah. Topiknya pun tidak main-main. Membawa kita pada tamasya sejarah perkembangan Islam dalam rentang waktu beberapa abad lamanya. Kelengkapan referensi dan banyaknya aspek pendukung yang belum umum dibahas sangat menarik untuk dilewatkan.
Keberpihakan penulis pada ulama tradisionalis yang salah satunya ditunjukkan dalam kalimat, “Tidak ada yang lebih kuat tentang partisipasi ulama di Hindia Belanda yang tengah berubah selain pembentukan NU di tahun 1926” (Hal.13) tidak terlalu mengganggu keseimbangan isinya. Sekalipun untuk pembaca seperti saya, yang dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah yang cukup taat.
Buku ini favorit saya di awal tahun ini yang mungkin bisa menjawab pergulatan pemikiran bagi saya dan sebagian orang akan, “Masih perlukah membawa Islam dalam kehidupan politik tanah air?” Bahkan perdebatan yang menimpa kaum muslim sendiri, yang hingga saat ini masih merupakan komunitas terbesar di tanah air.
Salah satu ungkapan terkenal dari Bung Karno adalah “Jas Merah,” jangan sekali-sekali melupakan sejarah. “Ulama & Kekuasaan” adalah “Jas Merah” dari pergumulan elite muslim sebelum masa kolonial hingga puluhan tahun setelah kata “merdeka” resmi disematkan bagi bangsa besar ini. Selamat membaca :).
***
View Comments (9)
hahahahahah Jihan itu gak jutek kok tampangnya. Itu tampang serius deh jatuhnya, sesuai lah sama buku yang kau resensi-kan. Kalo tadi chicklit yg kau pegang sambil pasang tampang begitu, baru tak cucok
Waduh, ketahuan kalau sebenernya penggemar chicklit :P. Ini sok-sok saja mereferensi buku berat, soalnya cuma buku ini yang sempat kebawa pas ke Irlandia kemarin hihihihihi.
Iyaaaa.. ini referensinya beraaatttt.... kayaknya nggak dibaca deh, sm jurinya... hahaha...
Fotonya tjakep kok, mbak.... aku naksir jilbabnya... :)
Waaahhh, ini bahannya enak dan murah punya lho :P. Aku punya beberapa malah. Beli di Jeddah, cuma sekitar 20 ribu. Panjang dan lebar lho pashminanya ;). Duh, kenapa baru kenal sekarang, ya. Kalau pas masih di Jakarta, kukirimin yang masih baru-baru hehehehe. Sekarang udah lecek-lecek sering dipake semua.
Mbk Jihan saya ngefans banget sama Mbk Jihan.
Salah satu perempuan yang berhati Kartini.
Senang bisa merasakan bebas, meski tak sebebas merpati. Saya sungguh salut.
Salam manis dari Jember
Waduh, berhati Kartini? Kok bisa? hehehehe. Terima kasih anyway :).
mbak, saya jg mo coba kirim tp ga tau email redaksinya :( mbak bisa kasih tahu tdk?? terima kasih :D
Koran Jakarta, ya? Alamat redaksinya di opini@koran-jakarta.com
Emang dasarnya jutek, kelesss ^_^