Belum lama berlalu ketika saya membaca status seorang teman yang terdampar di Kuwait. Sebelumnya, teman bersama suami dan anak-anaknya tinggal di salah satu negara Eropa. Teman saya ini bukan orang biasa-biasa saja.
Namanya pernah menjadi hits di beberapa media cetak karena kesuksesannya berdakwah di Negeri Non Muslim dan membawa belasan perempuan mengucapkan kalimat syahadat untuk pertama kalinya :). Semoga Allah berkenan mengampuni dosa-dosa beliau sekeluarga :).
Ada apa dengannya di Kuwait?
Teman saya mengalami benturan budaya yang luar biasa. Dia terkaget-kaget. Sementara saya tersenyum-senyum membaca statusnya. Sebagai alumni Jeddah, kota terbesar nomor 2 di Arab Saudi, saya tidak heran sedikit pun membaca ‘kegalauan’nya. Been there, done that.
***
“How Islamic are Islamic Countries” adalah sebuah penelitian lama yang hasilnya dipublikasikan tahun 2010 silam.
Berikut kutipan dari kompas.com (https://nasional.kompas.com/read/2011/11/05/09034780/Keislaman.Indonesia) :
Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.
Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?
Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.
***
Penasaran dengan hasilnya? Saya kasih sontekan sedikit. Selain Selandia Baru, urutan ke-2 hingga 5 ditempati oleh berturut-turut : Luxemburg, IRLANDIA *uhukUhuk*, Eslandia dan Finlandia. Negara dengan penduduk mayoritas muslim yang menempati urutan tertinggi adalah … Malaysia! Menempati peringkat ke-39.
Indonesia sendiri, sudah disebutkan dalam kutipan artikelnya, urutan ke-140. Arab Saudi? Di urutan ke 131.
Beberapa negara ‘penting’ dunia lainnya, misalnya Amerika Serikat, menempati urutan ke-25. Jepang di urutan ke-29 dan Jerman, salah satu negara terbesar di Eropa, di urutan ke-17.
Saya lahir dan besar di Indonesia yang konon merupakan “Negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia.” Pernah berkesempatan tinggal di Arab Saudi, “Negeri Penjaga Dua Kota Suci Umat Muslim Sedunia.”
Baru-baru ini berkesempatan liburan ke Kuala Lumpur, ibukota Malaysia, “Negara Mayoritas Muslim yang Berada di Peringkat Tertinggi.” Dan kini…saya berada di Irlandia, peraih medali perunggu “Negara Paling Islami” :D. Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzziban :).
Kuwait sendiri urutannya tak terlalu buruk. Bayangkan, teman saya saja yang terdampar di “Negeri Paling Islami no.48” bisa sebegitu stres-nya hehehe. Bagaimana dengan kita-kita yang pernah tinggal di Saudi, si peringkat ke-131? Madam-madam Jeddah, mana suaranya? Ahahhahahahaha.
***
Jujur saja, selama tinggal di Indonesia dulu, saya merasa biasa-biasa saja. Tidak pernah merasa terzalimi. Ya, kadang-kadang mungkin terselip sakit hati. Saya anggap wajar-wajar saja masalah muamalah di Indonesia. Mungkin kasarnya…pasrah.
Hingga akhirnya saya ke Jeddah. For me, Jeddah is better than Jakarta. ‘Gemerlap’nya sih mirip-mirip. Yang namanya ‘gap’ antara si kaya dan si miskin menganga sedemikian lebar baik di Jakarta maupun di Jeddah.
Alasan pertama saya lebih senang di Jeddah karena beberapa hal. Bensin murah, mobil murah, penghasilan suami jauh lebih besar (daripada di Jakarta), enggak terlalu macet, kemana-mana terasa dekat, bahkan beberapa bahan pokok di Jeddah lebih murah daripada di Jakarta. Unbelievable.
Belum lagi kesempatan untuk umrah sepuasnya. Tahun lalu dimampukanNya kami untuk naik haji. Di tahun terakhir kami di sana sebelum akhirnya dibukakan pintu rezeki di negara lain. Sekali lagi, Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzziban :).
Saya akui, secara umum perilaku orang-orang Arab di Jeddah cukup mengecewakan. Meskipun pengalaman pribadi saya tidak separah beberapa teman saya yang sudah sebegitu sewotnya sama orang-orang Arab hehehe.
Saya pun tak bosan-bosannya menuliskan bahwa beberapa episode-episode terbaik dalam hidup saya bertempat di Jeddah. Selama di sana, saya tergolong ‘yang paling bahagia’ hehehehe. Meskipun tak sedikit hal yang membuat saya selalu mengelus dada, “How come they call themself a moslem?”
Berusaha untuk selalu berfokus pada hal-hal yang menyenangkan, membuat 30 bulan pengalaman tinggal di Jeddah menjadi ‘rangkuman kenangan indah’. Ingat saja hal-hal luar biasa yang selalu membuat saya bersyukur. Tak pernah luput mengenang Mekkah dan Madinah sebagai tempat-tempat terindah yang pernah saya datangi.
Begitu mudahnya dulu kami menghampiri kedua kota suci tersebut. Sementara tak sedikit umat Islam di Indonesia baru hanya sebatas memimpikannya saja. Bentar…hapus air mata dulu *drama-part :P*. Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzziban :).
Dulu, saya suka bertanya-tanya, mengapa teman-teman yang berada di Eropa bisa sebegitu ngebetnya tinggal di sana. Tak sedikit yang mencari-cari cara setelah lulus sekolah agar bisa tetap bermukim di sana.
Bahkan, ada yang sudah terpikir untuk menggadaikan status kewarganegaraannya. Ingin berganti warna paspor. Apa enaknya hidup berlama-lama dalam ‘kulkas”? :P.
***
Konon, bangsa Irlandia ini memang salah satu bangsa paling ramah di dunia. Selama lebih dari 3 bulan tinggal di sini, saya sudah membuktikan sendiri. Terpukau oleh keramahan mereka. Ada juga yang rasial kok, saya pernah diteriakin di perempatan jalan, “Go home!” oleh seorang pria separuh baya.
Tapi santai saja. Orang-orang lain tidak ada yang peduli, tuh. Enggak penting memikirkan sebagian kecil yang kurang ramah.
Di Athlone, hampir tak ada pengemis. Kalau pun ada tunawisma, penampilannya enggak germbel-gembel amat. Di Jakarta, yang bilang Pajero bukan barang mewah ada, yang gembel jadi tukang semir sepatu tak kalah banyaknya . Di Jeddah, Ferrari bukan barang langka, tapi pengemis terpencar di berbagai sudut kota.
Fakta-fakta yang menguatkan pernyataan Ahmad Syafii Maarif dalam tulisannya yang saya share di status FB saya :
” …Bagi saya penggunaan perkataan ringkih terasa lebih puitis dan tajam, dibandingkan padanannya dalam istilah bahasa Indonesia.
Itulah sebabnya dalam tulisan ini perkataan ringkih digunakan. Benarkah Dunia Islam itu ringkih? Tanpa memerlukan data hasil riset yang mendalam, berdasarkan pengamatan umum saja, pasti jawabannya: benar! Kesenjangan sosial-ekonomi hampir merata di seluruh dunia Islam. Keadilan yang demikian keras diperintahkan Alquran tidak digubris oleh penguasa yang mungkin sudah menunaikan ibabah haji berkali-kali…”
Dulu sih, semasa di Jakarta dan Jeddah, bila mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari orang lain, tak pernah menjadi pikiran. Dimaklumi saja. Di Jakarta, sering dicuekin sama satpam di mal. Padahal kepada seorang Ibu yang turun dari mobil mentereng dengan berbagai aksesoris wah di badannya, tersenyum mengangguk setengah membungkukkan badan.
Hidupnya sudah cukup ‘berwarna’ dalam menjalani tugas sebagai satpam, tak usahlah menyimpan dendam yang tidak perlu.
Di Jeddah, pernah mendapat pengalaman pahit saat antre di kasir dalam toko di mal. Sebelumnya, saat 2 perempuan arab berdebat soal antrean, penjaga kasir dengan tegas melerai dan menunjuk ibu yang memang sudah datang lebih dahulu.
Giliran saya diselak orang Arab, saya protes, kasirnya malah diam seribu bahasa. Ya, sudahlah. Saking sudah seringnya, sudah mati rasa ane hehehe.
Terdampar di tempat lebih jauh, berbaur di tengah-tengah masyarakat non muslim, dari ras yang secara fisik sangat berbeda pula, malah mendapat perlakuan yang sangat menyenangkan. Sepele, ya? Biarpun suami suka meledek saya yang dianggapnya, “Dasar kamu ini. Belum apa-apa sudah lebay soal eropa”, menurut saya ini bukan hal sepele :).
Setiap pagi mengantar anak ke sekolah, kami selalu berjalan kaki. Hampir 100% orang-orang yang berpapasan akan tersenyum menyapa, “Good morning.” Di Jeddah, seringnya mendapat pandangan penuh tanda tanya, mungkin berpikir, “Prikitiwww, mbak-mbak TKW ini cakep juga, yak.” Ahahahahaha.
Di Athlone, saat mengantre di kasir setelah berbelanja barang-barang dapur dll di supermarket, semua orang mengantre dengan tertib. Bahkan, kasir benar-benar menunggu kita selesai mengemasi barang baru melayani customer setelah kita.
Awalnya saya sering gugup. Saking takutnya kalau mengganggu antrean, mau buru-buru masukin barang ke stroller + plastik + ransel, barang-barang malah berserakan jatuh ke lantai. Malunya minta ampun.
Tapi kasir cuma tersenyum, “That’s ok. Take your time.” Bahkan, ibu-ibu berambut kuning yang mengantre di belakang saya ikut memunguti barang-barang yang jatuh. Masya Allah. Sudah terbiasa diperlakukan bak TKW di tengah-tengah umat yang seiman, rasanya terharu diperlakukan seperti itu. Lebay? Whatever.
Kata-kata “thank you”, “sorry”, berhamburan begitu mudah dari bibir mereka. Jadinya saya pun, biarpun awalnya agak kagok, jadi terbiasa selalu ber “thank you” dan ber “sorry” ria :).
Di Irlandia, pajak memang termasuk tinggi. Biarpun gak setinggi di negara eropa lain pada umumnya. Tapi fasilitasnya juga enggak main-main. Jalanan dibuat senyaman mungkin. Angkutan umum sangat diperhatikan. Harga mobil sangat mahal. Bensinnya apalagi.
Tapi lihatlah, sebagian besar penduduk jadinya berbaur di trotoar jalan kaki atau dalam angkutan umum. Bagus juga ide pajak tinggi dan dikenakan secara proporsional. Agar si ‘tajir’ mikir-mikir kalau mau beli barang mahal dan yang kurang mampu tak terlampau tersakiti.
Sekolah gratis dengan fasilitas yang sangat memadai *nyengirLebar*. Malah, di selebaran pengumuman buat orang tua murid, ditulis jelas-jelas larangan untuk ‘tampil mewah’. Baju harus seragam. Seragam resmi terasa mahal? Kepala sekolah mempersilakan membeli di tempat lain yang lebih murah asal warnanya mirip.
Disebutkan dengan jelas jenis-jenis sepatu tertentu yang TIDAK BOLEH digunakan ke sekolah. Bahkan, kotak untuk bekal makan pun dianjurkan untuk sesederhana mungkin. Ini semua dituliskan secara resmi dalam selembar kertas yang dibagi-bagikan pada orang tua murid sebelum hari pertama sekolah si anak.
‘Attitude’ adalah landasan utama pendidikan anak-anak di usia dini. Saya perhatikan betul, guru-guru dan kepala sekolahnya sangat disiplin dalam masalah tingkah laku. Mereka tak terlalu peduli dengan kemampuan kognitif.
Tapi coba saja ada anak yang berani memukul temannya, kepala sekolah tidak segan-segan menarik tangan si anak dan menceramahinya panjang lebar dengan nada yang tinggi. Saya pernah melihat langsung.
Soal penampilan pun tidak ada yang heboh-heboh. Ada lah beberapa yang agak ‘gaya’ tapi bisa dihitung jari. Pede-pede saja kemana-mana pakai training pants + kaos + jaket + sepatu kets + ransel :D. Mbak-nya mau mendaki gunung, ya? Ahahahahaha.
Di Irlandia, dalam memperlakukan orang lain, people don’t really care whether you’re Catholic, Moslem or even you don’t believe in any religion at all :). Berperilaku sopan dan non diskriminatif adalah hal universal buat siapa saja.
Ajaran yang saya tahu pasti adalah landasan muamalah dalam Islam. Sadly, you can hardly see this in (most of) moslem countries. Ironically, pretty easy to see the practice in non-moslem countries. Tanya kenapa?
Memang, awal di Athlone, saya benar-benar teruji oleh udara dingin. Tapi tak lama. Baru 3 bulan tinggal di sini, rasa betah menerjang sedemikian kuat. Meskipun keinginan untuk mengganti status paspor sama sekali belum ada. Tapi saya ingin agar anak-anak saya suatu hari nanti melangkahkan kaki mereka sejauh yang mereka bisa.
Saya doakan, semoga saya dianugerahkan kesehatan yang mumpuni (menjalani pola hidup sehat ala FC adalah salah satu ikhtiar saya dari sekarang untuk doa yang ini), tak perlu meresahkan anak-anak kelak, sehingga saya bisa menghabiskan sisa usia di negeri kelahiran tercinta. Sampai akhir menutup mata. Amin :).
***
Kembali mengutip pendapat Profesor Komaruddin Hidayat (UIN Syarif Hidayatullah)
Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?
Tampaknya keber-agama-an kita lebih senang di level semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam—syahadat, shalat, puasa, zakat, haji—dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya.
Pada hal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah, menurut penelitian Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.
***
Saya setuju sekali, kita terlalu sering menyepelekan ‘kesalehan sosial’. Pengalaman saya naik haji kemarin, selain menyisakan rasa haru yang masih terus berbekas hingga kini, terselip rasa kecewa yang mendalam.
Seusai wukuf, jemaah biro haji kami keluar dari tenda ke arah jalan untuk menuju stasiun kereta. Saya tercekat melihat suasana jalan raya yang sudah kosong dari para jemaah ‘haji koboi’ yang sudah kembali ke Mina/Musdalifah. Kotornya luar biasa. Bau pesing tak terkira. Ceceran makanan, botol minuman dan entah cairan apa itu *yucky* berbaur menjadi satu. Subhanallah, sampahnya tidak main-main.
Besoknya, saat akan tawaf ke Mekkah, jam 7 pagi kami sudah berjalan ke arah jembatan untuk menunggu taksi. Lautan sampah di mana-mana. Baunya pun sangat menyengat. Saya ingat saat itu sempat bergumam kepada suami, “Kebersihan sebagian dari iman.” Kebersihan tidak hanya menyangkut diri sendiri, tapi orang lain dan lingkungan sekitar, kan?
Saat sepi pun, kalau tawaf, saya sering memperhatikan ‘rusuh’nya keadaan di sekitar hajar aswad. Tidak pernah damai suasananya. Sikut-sikutan, teriak-teriak, dorong-dorongan. Itu cuma amalan sunnah, saudara-saudaraku.
Teringat pesan ustaz Syafiq yang mengisi ceramah pengajian di acara syukuran salah satu teman di Jeddah sebelum kami berangkat haji, “Jangan melakukan amalan sunnah dengan cara-cara haram.”
Malah, bagi sebagian muslim, yang penting : salat, zakat, puasa. Perlakuan kepada orang lain, gaya hidup sehari-hari, tidak akan mempengaruhi keislaman kita selama kita salat-zakat-puasa. Sadar tidak sadar, penyempitan makna “rahmatan lil ‘aalamin” dilakukan oleh kaum muslim sendiri.
Dalam salah satu ceramah, Cak Nun bertutur, “Apakah di sini anda bisa punya cara untuk mengetahui seberapa iman anda? Bisa nggak kita mengukur akidah? Bisa nggak kita mengukur, kita ini Islam atau belum Islam? Kalau engkau menjawab “bisa”, lho, itu rak cangkemmu? Lha atimu? (itu kan mulutmu, lha hatimu?). Kita tidak bisa menilai Islamnya orang, kita tidak bisa menilai sesat atau bukan kecuali MUI.” Ucapannya disambut tawa jamaah.
Ketika beberapa waktu lalu, saat ramai-ramainya pilkada DKI, saya berdebat dalam sebuah grup masalah akhlak vs aqidah. Seorang teman tak ragu-ragu menyematkan label ‘sekuler/liberal’ kepada saya? Untuknya, sebuah kalimat syahadat akan selalu berada di tempat teratas, jauh melampaui masalah-masalah yang berkaitan dengan kesalehan sosial.
Dia mengejek, “Lo lebih pilih manusia daripada Tuhan?”
Saya menjawab, “Pilihan yang mana? Memuliakan sesama manusia adalah perintah Tuhan.”
Untuk saya pribadi, sangat jelas. Islam itu seimbang dunia akhirat. Terlalu condong kepada salah satu hanya akan membuat keseimbangannya goyah. Pengalaman hidup di Jakarta, Jeddah dan kini Athlone membuat saya mensyukuri betapa ‘liberal’nya saya.
Sedangkan dalam hati saya selalu bersyukur saya dilahirkan sebagai seorang muslim. Dan selalu memohon agar Tuhan tidak akan memalingkan saya hingga akhir hayat nanti :).
Akhlak itu tidak kalah pentingnya dengan akidah. Kalau Anda berdakwah dengan mengatakan babi haram, ini itu adalah konspirasi, menolak nasi kotak hasil acara paskah terang-terangan di media sosial, memasang status publik tentang haramnya mengucapkan ucapan Natal dan mengutuk muslim lain yang tetap melumrahkan ucapan tersebut, apa iya mereka akan berbondong-bondong mengakui kebesaran keyakinan Anda?
Satu lagi dari Cak Nun yang mungkin bisa jadi bahan renungan, “Tuhan yang tahu akidahmu. Masyarakat butuh akhlakmu.”
Tugas kita sesungguhnya bukanlah untuk membawa seluruh umat manusia untuk bersyahadat bersama dalam satu bendera penafsiran yang sama (Sunni? Syiah? Wahabi? Salafi?). Tapi untuk menunjukkan (bukan menghakimi apalagi mengancam) bahwa : Islam = rahmatan lil aalamin.
Bahkan rasulullah pun menekankan dirinya HANYA sebagai PEMBAWA PERINGATAN dan PENJELASAN. Bukan pemegang daftar siapa yang masuk surga siapa yang masuk neraka, kan?
Katakanlah, “Wahai manusia! Sesungguhnya aku bagi kalian hanyalah pembawa peringatan dan penjelasan.” (QS. al-Hajj [22]: 49).
Alquran, adalah petunjuk dan rahmat. Bukan untuk mengancam-ancam orang yang tidak sepaham.
Maksudnya apa? Renungkan sendiri :).
Semoga bertahun-tahun setelah tahun 2010, saat penelitian How Islamic are Islamic Countries ? digelar kembali, jajaran negara-negara muslim bisa bertengger di peringkat 10 besar. Amin :).
***
Bagian 2 dari tulisan dengan judul yang sama sudah ada di sini :D.
View Comments (364)
Menarik sekali sharingnya, mbak Jihan, banyak refleksi bertebaran dalam tulisannya. Terutama kajian yang disampaikan Cak Nun, "Tuhan yang Tahu Akidahmu, Masyarakat Butuh Akhlakmu"
Kalo saya perhatikan urutan negara (berdasarkan penelitian Rehman dan Askari) di atas itu ada korelasinya dengan Indek Persepsi Korupsi. Untuk tahun 2012, urutan negara-negara tersebut bisa dilihat di sini.
Terima kasih linknya, Pak. Sepertinya memang berkorelasi. Biarpun tidak persis-persis amat. Karena Irlandia yang no.3 di negara paling Islami sama sekali tidak ada dalam daftar di link itu hehehehe :P.
Mbak, menarik sekali tulisannya. Izin share ya, Mbak :)
Btw, salam kenal dari Pekanbaru, mbak Jihan :)
Silakan :)
Huaaahhhh... seriusss bgt, mbak! Ngernyit nih, keningku dr tadi, maklum lah, otak msh pentium 3. Haha...
Iya, miris rasanya, liat bule2 yg justru dlm ketidak Islaman mereka, mereka justru lebih Islami dibanding org yg (ngaku2) beragama Islam... Ah, soal akhlak dan aqidah ini jadi PR buatku jg nih, mbaaakkk! :D
Ihihihihihi, iya yah. Eike sok keren aja ini menulis-nulis ginian hehehehe :P. Mari kita pentingkan akhlak, sepenting akidah yang sudah terlanjur ditasbihkan sebagai yang paling penting :D.
cakeeebb, penjabarannya keren.
jadi merasa diingatkan kembali. tulisan yang bagus untuk ngaca ke diri aku sendiri.
Sama-sama, yang menulis juga merasa diingatkan :D.
saluutt...semoga tulisan ini bisa membuka wawasan kita sebagai org Islam...apalagi saudar2 kita yg "sok Islami"...mohon ijin share ya...thanks a lot.
Silakan :)
Assalaamu 'alaik. http://nasional.kompas.com/read/2011/11/05/09034780/Keislaman.Indonesia
Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek.
Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia.
Negara yg disebut lebih islami(contoh: jepang) tentu tidak menyembah tuhan yg di serukan nabi muhammad, trus islaminya yg mana nich?
Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial.
Memungut pajak yg tinggi dan tidak mensubsidi masyarakat, apakah sistem yg islami?
Hak suara yg sama antara seorang prof dan yg ndak mengenyam pendidikan, atau seorang sarjana teknik yg bekerja dengan pengemis dan copet, sepertinya tidak adil dan ndak islami kan ya?
Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan.
Kalau keterwakilan wanita yg jadi standar, maka indonesia paling islami, karena banyak wanita diparlemen(UU nya hrs 30%, bahkan ada yg ikutan korupsi, he..he..), trus pernah presidennya wanita, amerika lebih 200 thn ndak ada lho presiden wanita, padahal die katanya tuch paling demokratis.
Keempat, hak asasi manusia dan hak politik.
Belanda(menjajah indonesia), inggris(menjajah india, mesir, negara2 afrika), jepang, portugal, francis(menjajah aljazair, marocco), amerika menghancurkan banyak negara dan pemerintahnya sekaligus seperti: afghanistan( katanya nyari osama, dan katanya uda meninggal, tapi belum angkat kaki juga tuch), irak(hancur lebur,senjata kimia kagak dapet tuch).
Kolonialisme baru: shell, BP, Mobil Oil, Cevron, Vico, freefort, mana nich hak masyarakat setempat(cuma dapat polusi doang,..sedih...)
Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Berdasarkan info teman2 yg tinggal di eropa(belanda), australia, nggak jauh beda dengan yg mbak tulis(menjaga lingkungan dgn meminimalisasi pemakaian plastik), di australia tuch kalo membunuh seekor burung harus diganti dengan harganya, sebagai denda, tapi kenapa ya mereka begitu mudah mengotori negeri orang lain, membunuh anak2 dan wanita yg tdk berdosa(afghanistan, irak, libia), mungkin nyawa manusia lebih murah dari seekor burung..
Kita asumsikan saja kesimpulan mbak jihan tu benar, bahwa: Kehidupan sosial negara eropa dan yg lainnya lebih baik dari Indonesia dan timur tengah, maka masih ada satu pertanyaan besar yang mesti terjawab, " mengapa angka kematian akibat bunuh diri begitu tinggi di jepang dan negara-negara eropa?".
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_tingkat_bunuh_diri
(Irlandia nomor berapa ya?)
Padahal sistem pendidikan hebat, transportasi lancar, masyarakat ramah, fasilitas terjamin, jalan- jalan bersih ndak bau pesing. (Dikorsel ada artis yg bunuh diri karena ndak tahan dengan komentar masyarakat kpd dia).
Mungkinkah mereka bunuh diri karena pajak yg tinggi?
Atau sebenarnya masyarakatnya masih kurang ramah?
Maaf ya mbak, panjang banget komennya....
Itu kesimpulan dari hasil penelitian yang sama 'amin' kan :). Soal bunuh diri? Jangan-jangan sebenarnya di Indonesia juga tinggi, lho ;). Cuma enggak ketahuan saja? Mengingat data kependudukannya masih kacau balau. Kalau tidak muncul di koran ya tidak ketahuan? :D. Anda adakan saja penelitian untuk menyelidiki angka bunuh diri ini dan relevansinya dengan kesejahteraan sosial mereka bagaimana? ^_^.
Di saudi, kuwait, malaysia, bahrain, pendataan penduduknya akurat namun tingkat bunuh diri ndak seperti negara eropa.
Kita asumsi kan saja bahwa di indonesia tingkat bunuh diri lebih tinggi, maka fenomena bunuh diri mengindikasikan:
Lembaga pendidikan yg gagal, seperti di jepang, krn ndak lulus bunuh diri
Disakiti oleh Pasangan dan dikhianati, lingkungan kerja yg keras, trus bunuh diri ini kasus banyak dieropa.
Fenomena bunuh diri pekerja pabrik foxconn(divisi apple product), padahal fasilitas lengkap, dan mereka harus demo karena gaji kurang, kalo memang apple yg berbasisis di california punya kesadaran sosial, harus memperhatikan masalah ini, ndak seperti petugas KJRI jeddah ya mbak..
Hutang kepada lembaga pendidikan sampai 6 digit, seperti yg di ungkapkan seorang prof dari harvard, bahkan dia ndak menyarankan masuk harvard, dan bilang: sampai kapan anda harus bekerja untuk bayar semua hutang itu.
Fenomena bunuh diri prajurit militer Amerika, inggris, dll. Di kamp mereka sendiri, kalo bunuh diri ketika tugas di Afghanistan mungkin bisa di pahami...
Fasilitas kesehatan yg mahal dan tidak terjangkau, ndak mampu bayar asuransi kesehatan, jadi ndak di tangani oleh secara medis, trus mati dech.
Sedangkan indonesia kata pengamat memang negara yg gagal, jadi wajar kalo banyak yg bunuh diri(dengan asumsi banyak bunuh diri).
Tapi sepanjang usia saya(lebih 30 tahun), ndak pernah tuch dengar dikampung, kecamatan, bahkan level kabupaten, ada orang bunuh diri, kalo mbak gimana?
Seorang prof yg pernah tinggal 6 tahun mengajar di Amerika mengungkapkan ke saya, bahwa dia harus meninggalkan USA karena lingkungan sosial masyarakatnya yg melunturkan keislaman anak-anaknya, dia Bilang:" saya dan istri mungkin bisa bertahan tetap islam, namun anak2 kami benar2 terancam identitas dan pola hidup islaminya ".
Seorang teman WN singapore mengungkapkan: hidupnya seperti sekrup mesin yg terus bekerja, org tuanya nyicil beli flat 25 tahun, tapi dia dan anak belum tentu bisa menikmati( harus kerja lagi dan nyicil juga), karena kepemilikan properti di batasi oleh negara dalam waktu tertentu...
Daripada bermain asumsi, sekalian aja diteliti, Mbak hehehehe. Kan seru, jadi ada data pembanding nantinya :). Mungkiin di Indo, tingkat kepasrahan juga tinggi. Sudah biasa dibully sama pemerintah soalnya ahahahahaha.
maaf saya bukan muslim, tapi saya memang selalu terbuka untuk mendengarkan semua ajaran agama lain. Karena saya yakin semua agama mengajarkan yang baik yang jadi problem itu adalah manusianya.
Ibu atau bapak adek, saya rasa kalau mengenai negara belanda menjajah indonesia, atau amerika merusak negara lain tidak dapat dimasukkan dalam hal ini, itu adalah masalah politik. Sedangkan yang dibicarakan disini adalah mengenai individu dari masing2 negara tersebut.
Mengenai bunuh diri dan lain-lain saya rasa itu adalah masalah individunya, yang jadi problem adalah akhlak manusia kepada manusia lainnya. Paling tidak bunuh diri merugikan lebih sedikit penderitaan bagi orang lain dibandingkan dengan perkosaan yang sering terjadi di tempat lainnya? setuju? (silahkan anda jawab sendiri, ini hanya opini saya pribadi).
Nah masalah akhlak inilah yang sebenarnya menjadi PR buat kita. Saya share sedikit deh yang pengalaman saya, saya kebetulan beruntung bisa kuliah di jerman, disanalah saya mendapatkan tamparan yang luar biasa menyakitkan, tapi itu pulalah yang menyadarkan saya, betapa sombong dan arogannya saya selama ini. Suatu hari saya menjemput seorang teman yang kebetulan baru keluar dari rumah sakit, karena bekas operasi usus buntunya belum sembuh benar, akhirnya kami memutuskan untuk naik taksi (biasanya naik kereta dan bis :D :D :D taksi mahal boo). Ketika itu saya hanya langsung memberikan alamat kepada supir taksi, tahu apa yang supir taksi katakan kepada saya??? (tengsin banget dah gua :D :D :D) "Pertama-tama selamat siang pak" katanya dengan ramah, saya hanya bisa terdiam dan akhirnya meminta maaf......
Coba apakah anda kalau naik taksi bilang selamat pagi/siang/malam terlebih dahulu, ketika anda mungkin naik tol, apakah anda menyapa petugas tol? Ketika anda makan di restoran atau warteg apakah anda menyapa pelayannya? Saya rasa mungkin kebanyakan dari kita tidak peduli akan hal kecil seperti ini, tapi inilah bukti betapa bobroknya moral dan akhlak kita. Kita terlalu sombong untuk menyapa mereka karena kita membayar, jadi kita adalah konsumen, dan konsumen adalah raja. Padahal mereka adalah manusia sama seperti kita yang ingin dihargai, jika kita ingin dihargai hargailah orang lain, mereka yang hanya punya uang dan jabatan tidak punya akhlak dan moralitas hanya akan jadi pundi2 uang bagi orang lain dan orang yang ditakuti, tapi tidak akan pernah dihargai dan dihormati, pada saat mereka tidak punya uang dan jabatan, orang pun akan mencemooh mereka.
Saya pernah dengar kalimat ini dari seorang muslim, dan saya sangat senang sekali dengannya "Membuat orang senang adalah ibadah", saya tidak tahu apakah ini ada dalam al-quran (maaf kalau salah tulis) atau tidak, tapi kayanya sih ada dalam al-quran. Teguran selamat siang ataupun sapaan dan sedikit senyuman hanya beberapa patah kata dan tingkah laku yang sepele, dan untuk melakukannya kita tidak memerlukan waktu lebih dari 5 detik, tapi ini mungkin akan membawa kebahagiaan kepada mereka yang jarang sekali disapa oleh kita. Apa sulitnya sih untuk melakukannya?
terakhir terima-kasih kepada ibu jihan yang telah menshare sedikit ajaran islam disini.
Sebenarnya saya ikut cara mbak, " Jangan-jangan sebenarnya di Indonesia juga tinggi, lho".
Artinya mbak cuma pakai jangan2, sedangkan saya trus memaparkan data,.
Kalo tingkat bunuh diri diindonesia ndak tinggi, maka kemungkinannya cuma :" tidak tinggi, atau sama dengan negara eropa".
Sebenarnya saya juga kurang respek dengan kondisi indonesia, tapi yg disesali kenapa setiap kegagalan selalu dikaitkan dengan islam, kita ndak pernah lho bilang kegagalan karena kristennya atau yahudinya.
Maka mungkin kita harus memperindah ungkapan kita, ndak menjadikan ibadah haji atau yg lainnya kambing hitam ketika ada sikap buruk dari yg mengerjakan ibadah.
Sebagian ahli menyebut kondisi risau yg mbak alami sebagai Krisis Kepercayaan dan Krisis Kepribadian. Artinya kecewa dengan kondisi internal dan terpesona dgn kondisi eksternal.
Dan ini wajar untuk tahap awal, mudah2 ada hal baru yg di dapat untuk tahap2 selanjutnya.
Maaf mbak atas komen2 ini , kalo ndak berkenan boleh dihapus dari wall ini...
Tetap semangat ya...
Waduh, kok malah jadi menjudge saya hehehehe. Anda yang salah paham, Mbak :). Alhamdulillah tidak ada sama sekali krisis internal. Semuanya pemaparan pengalaman pribadi. Kalau Anda salah tangkap, ya sah-sah saja. Enggak ada masalah, kok ;). Santai mah ane, silakan komen sepuasnya, asal tetep sopan mah tidak akan saya hapus hehehe.
Saya justru sangat sepakat dengan apa yg dikemukakan saudara/I Alaik, dari tulisan mba jihan begitu terlihat anda lebih mementingkan kehidupan sosialnya dibanding agama, Isam memang mengajarkan akan hablu Minallah, wa hablu minannas, tapi bkn berarti jauh lebih mementingkan kehidupan sosial, anda diminta untuk erargumentasi berdasarkan data, tapi tidak mau, sdangkan anda mendasarkan tulisan dari penelitian yg menurut anda kesahihannya melebihi Al Quran yg sudah anda pahami intinya. Sikap anda sebenarnya sdh terdaat dalam hadist yg mengatakan akan ada masa ketika ummatku akan lebih memilih mengikuti budaya musuh Allah yaitu yahudi dan nasrani, dan menampakkan di mata anda budaya mereka yg lebih indah dibanding ajaran Islam
Saya tidak pernah bilang kehidupan sosial itu lebih penting, lho :). Budaya apa, Mas? Budaya menghormati orang lain walaupun beda agama? Budaya tata tertib berlalu lintas yang disiplin? Budaya membuang sampah pada tempatnya? Anda apa pernah tinggal di Timur Tengah? hehehehe. Saya percaya, semua kebaikan yang saya lihat di negara-negara minoritas muslim tersebut juga ADA dalam ajaran Islam :). Jangan lupa semboyan Islam, "Rahmatan lil aalamiin" bukan "Rahmatan lil muslimiin." Semoga bisa dipahami :)
Saya suka tulisan ini... bagus,,,: :) saya Islam dan setahu saya Islam itu baik, saling menghargai, menghormati, terbuka, tidak diskriminasi, tidak kasar apalagi ngotot dan tentunya TIDAK EGOIS, mau Yahudi mau Kristiani ya tetap harus dihormati..(mau dihargai dan dihormati ya tidak boleh egois, harus punya niat menghargai dan menghormati).
secara fitrah islam itu ekstrim. hanya ada 2 pilihan: surga atau neraka. tidak ada netral di antara keduanya. hanya orang2 ekstrim yang mantap pada jalan lurus sebaik-baiknya :) betul dan sangat betul akhlak haruslah mulia sebaik-baiknya se-ekstrim mungkin. masalah perilaku itu adalah habit yg bisa dilatih, pasti bisa. bagi saya orang jawa, bagong itu lucu, sopan dan baik, tapi bagi orang sunda itu kasar dan buruk, selamanya begitu :)
Islam tidak hanya mengajarkan surga dan neraka saja, kan? Masalah perilaku pun banyak banget pembahasannya dalam alquran. Seharusnya, kalau meyakini isi alquran, masalah perilaku tidak perlu menjadi momok :D. Setuju banget kalau habit bisa dilatih dan HARUS dilatih hehe. Soal Bagong saya tidak menangkap maksudnya apa, saya bukan jawa bukan pula bugis hehehe. Tapi saya percaya perilaku yang baik itu berlaku universal, jangankan antar suku, antar negara pun harusnya sepakat :)
Like this lah :) terima kasih udah sharing
Salam Kenal Mbak Jihan.
Saya sangat senang sekaligus terharu membaca artikel ini. Pemaparan yang cerdas disertai ulasan berdasarkan pengalaman pribadi.
Saya sendiri merasakan betapa jauhnya penerapan nilai nilai Islam sesungguhnya di negara 'tercinta' kita Indonesia. Kenapa sengaja saya beri tanda kutip? Karena jauh di dalam diri saya menangis dan bingung melihat akan Kemana arah kaki bangsa ini melangkah? Benarkah saya masih mencintai sesuatu yang kadung kusut semrawut? Mampukah saya tetap mencintainya dengan semua kekurangannya yang cenderung makin menjadi? Yakinkah saya akan tenang melihat dan menyaksikan putra putri kami kelak mengarungi hidup ditengah kesemrawutan itu?
Saya terlingkupi dengan kekhawatirannya yang hebat melihat begitu 'tertata' nya semua hal disini. Betapa sistemnya yang disadari atau tidak justru menggerus orang orang yang memiliki kepribadian (akhlak) muslim sesungguhnya menjadi terzalimi atau bahkan dianggap kuper dan semua label kurang menyenangkan lainnya.
Korupsi merajalela, narkotika menjadi 'biasa' dengan hukuman yang bisa dinegosiasikan! Tatanan hukum yang memihak kepada yang mampu, bahkan yang bersalah pun bisa tetap bergaya dan tertawa dalam 'jeruji' besi.
Lalu praktek2 hedonisme memamerkan kemewahan bahkan dari mereka mereka yang notabenenya dianggap sebagai guru spiritual atau pencerah jiwa. Bahkan kesombongan berbalut jubah keislaman.
Kecintaan kepada negeri ini mungkin dapat pudar, tapi dalam tiap tarikan nafas dan doa saya selalu ingin tetap terlingkupi dengan iman Islam yang sesungguhnya. Menjadi pribadi muslim yang mewakili arti keislaman sesungguhnya, dan bukan hanya sekedar ritual semata. In shaa Allah.