***
Tahun terakhir di bangku kuliah, saya pernah bekerja paruh waktu menjadi tutor matematika untuk murid-murid ekspatriat. Lumayan banget honornya untuk saku anak kuliahan.
Yang diajar bervariasi, dari grade 2 hingga grade 10. Tapi kurikulum internasional memang jauh lebih mudah daripada kurikulum nasional. Jadi, ya, matematikanya dasar banget lah. Untuk grade 10 (kelas 1 SMA) mungkin setara dengan kelas 2 SMP. Modal bahasa Inggris saja.
Ada 4 anak dari 3 keluarga yang berbeda. Yang paling berkesan adalah 2 bersaudara Julianna dan Garth.
Peristiwa 911 di tahun 2001 terjadi saat masa-masa mengajar di keluarga blasteran Amerika Serikat – Filipina ini. Ibu mereka berkebangsaan Filipina dan cukup fasih berbahasa Indonesia.
Kejadiannya memang menimpa negara Paman Sam nun jauh di benua Amerika sana. Efeknya tapi kemana-mana :(.
Selepas kejadian, saya ditelepon oleh mbak-mbak agensi tempat saya mengajar. “Libur dulu 2 minggu. Mereka mendadak ke luar negeri.”
Dan dua minggu kemudian, saya menepati jadwal dan datang seperti biasa ke rumahnya. Dari Julianna (kakak), saya tahu ternyata mereka diboyong ibunya ke Filipina. Sementara Ayahnya tetap di Jakarta. Katanya takut ada apa-apa, jadi mereka ‘ngungsi’ ke kerabat di FIlipina.
Seusai mengajar kedua putra-putrinya, si Ibu (Joanna) memanggil saya. “I need to talk to you.”
Duh, langsung deg-degan. Apa mereka mau ganti tutor, ya? Soalnya di agensi saya, tutor yang tidak pakai jilbab juga banyak. Jadi, saya pasrah saja ketika diajak ngobrol sebentar di ruang tamu mereka yang super gede itu.
“We need to change the schedule. The children are having a tennis activity now.”
Ya ampun, kirain mau minta ganti tutor hehehe. Cuma mau ganti hari saja. Biarpun sudah mendengar dari putrinya, saya basa basi saja bertanya kemana dia selama dua minggu kemarin. Ceritanya sama dengan Julianna.
Saya pun bertanya tentang keluarga mereka di Amerika. Apa ada yang menjadi dan korban sembari tak lupa mengucapkan belasungkawa. Dengan takut-takut, saya mengatakan secara implisit agar dia tidak membenci orang muslim.
Joanna menjawab santai. Kalau tidak salah, intinya dia bilang, “We’ve been living here for 7 years. It’s their problem. It’s ridiculous to take it as ours.”
Dia juga sempat berseloroh dalam bahasa Indonesia. “Orang Indonesia baik-baik. It’s not always about their belief. It’s about the people.” Kurang lebih seperti itu. Panjang sih dia neranginnya, saya sudah tak ingat detailnya.
Alhamdulillah leganya. Selamat nih honor mengajar beberapa bulan ke depan. Ahahahahahaha.
Yang berkesan pula saat mengajar di saat bulan puasa. Beduk tiba saat jadwal mengajar masih berlangsung. Saya sih tahu diri lah. Mereka penganut protestan, jadi saya siapkan sebotol aqua dalam tas dan kadang bawa biskuit. Buat ganjel dikit saja. Karena memang biasanya sepuluh menit kemudian saya sudah boleh pulang.
Tapi saya risih juga ketika Joanna bolak balik ke kamar nanyain, “eh, kamu sudah mau makan, belum?”
Saya sudah terangkan berkali-kali kalau saya bawa minuman sendiri. Tapi tak lama setelah waktu berbuka, asisten rumah tangganya, yang memang orang Indonesia, selalu datang membawa nampan yang berisi secangkir teh manis dan kue-kue kecil.
Tapi ya jangan harap bakal ditawarin makan malam bersama mereka, ya. Hehehehe.
***
It’s not about their belief, it’s about the people.
Saya ingat kalau saya kala itu masih termasuk orang yang suka bermain stereotip. Orang Jawa anu, orang Cina begini, orang Batak begitu, Orang Kristen bla bla bla.
She reminds me that it’s about the people :).
Baca : People We Haven’t Met Yet (5)
***
(bersambung)