Tak berani kuremas selembar kertas di tanganku. Cepat-cepat kusisipkan di balik kebaya. Tanganku berkeringat. Kalau tintanya sampai luruh tak terbaca, habislah aku.
Ini bukan surat kuitansi apalagi surat cinta. Tapi di atas lembaran putih itulah, kutitipkan harapan terakhirku. Usaha penghabisan untuk menyelamatkan masa depanku. Ketika sebulan yang lalu Ibu gencar membujukku, “Mbah Setyo sudah membantu melunasi utang bapakmu. Tolonglah Ibu, penuhilah permintaan keluarga besar untuk menikah dengan anak Mbah. Iku Pakdemu. Pakde Trisno.”
Bertahun-tahun Ibu merantau ke tanah bugis demi cinta tak terbendungnya pada seorang kapten Birawa nun jauh di kota Makassar. Bapak meninggal tiga bulan lalu. Ibu berkeras mengajakku kembali ke Surabaya, tanah kelahirannya.
Kini, genap dua bulan aku berada di tengah-tengah keluarga ibu. Sejak kecil dibesarkan secara bugis, aku merasa sangat asing di sini.
Mendengar nama Pakde Trisno, ingin menangis rasanya. Aku cuma tahu, Pakde adalah sebutan untuk saudara Ibu yang usianya lebih tua. Belum usai laraku karena kehilangan bapak, sekarang aku pun harus menerima takdir yang tidak kalah menyedihkannya.
“Pakde Trisno-mu ngganteng, Nduk. Beruntung kamu.” Ah, ucapan Bude Marni cuma basa basi saja. Aku tak berniat bertanya lebih jauh. Kepada ibu pun kudiamkan semua tanya, sakit hatiku masih membuncah.
Biarlah. Akan kuminta pengertian langsung saja pada si Pakde ini. Mungkin masih tersisa rasa belas kasihannya padaku. Tega-teganya dia mempersunting aku. Walau terhitung saudara jauh, buatku sungguh tak wajar seorang paman menikahi keponakannya. Hari ini, saat dia akan datang melamarku, akan coba kuutarakan isi hati padanya langsung melalui sepucuk surat.
Suara gaduh mulai terdengar. Hatiku makin berdebar putus asa. Kuraba secarik harapan yang tersisa di balik kebayaku. Mbah Setyo muncul. Aku mengenalnya sejak kecil. Seorang perempuan yang mungkin usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari Ibu berjalan di sampingnya, menggamit mesra lengan si Mbah.
Bude Marni berbisik padaku, “Iku istri mudanya Mbah. Kenal ndak? Ibune si Pakde Trisno-mu.” Belum habis bingungku, seorang pria tampan muncul dari belakang mereka. Bude Marni tak bersuara, tapi jarinya sibuk mencolekku seolah memberi isyarat siapa pria rupawan itu.
Hatiku berdebar makin tak karuan. Perasaan marah dan tak berdaya menguap entah ke mana. Kuremas selembar kertas di balik kebayaku. Andai boleh berlari ke dalam kamar dan menulis ulang isi hatiku, tak ragu kan kugoreskan satu kalimat saja, menghapus puluhan kalimat rintihanku tadi untuknya, “Dear Pakde, aku jatuh cinta.”
***
View Comments (38)
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Flash Fiction Senandung Cinta.
Ikuti juga Kontes Unggulan Blog Review Saling Berhadapan di BlogCamp (http://abdulcholik.com)
Salam hangat dari Surabaya
Thanks Pakde :). Lagi nyari temen, Pakde. Masih jomblo nih untuk lomba yang satu itu huhuhu
wow, kalo Pakdhe Trisnonya seperti itu, langsung deh klepek2 yaaaa, hahaha. Keren critanya, Mba. Sukses yaaa
Thanks, Mbak. Aku sudah baca "The Power of Love" mu, lho. Tunggu jejakku di sana yak ;).
Haiyaaaa.... ngganteng tenan pakde... :D
Mau? Bagi 2, yak, ahahahahaha :P
ya ampyuuun... cakepnyaaaaa :D
Sikaaattttt :P
Hwahahaha.... Asli fotonya bikin ngakak.. Si Pakde ganteng tenan.. Kirain Pakdenya udah kakek2... Lha kok jebule..... :)
Tadi iseng google nyari foto orang yang pake blangkon, eh ketemunya 'pakde' satu ini hihihihihi :P
Langsung lunglai lututku liat muka si pakdhe..... :lol:
Ingat suami, ingat anak, ihihihihihi
oalah pakdhe Mike Sutrisno hihihiii.... mak Jihan keren euy
Iya dong Mak, eike jagoannya kalau nyari foto orang ganteng maaahhh ahhahahahaha :P
Duasarrrrrrrrrrrrrrrr// pesenn satu pakdenyaaaa :P
Cukup 1 aja nih, Mak Hana? Saya kirim 3 gimana? :P
aduh, pakdenya juga bikin saya klepek2 :D. sukses bwt GAnya ya mbak :)
Tenkiuuuu :)
aku suka kalau Pakde Trisno yang iniii
Sammaaaaaaa *ngikikGenit*