“…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat …”
Masih ada yang ingat? :).
Paragraf di atas adalah alinea ke-4 dari pembukaan UUD 1945. Bertahun-tahun lalu, saat masih duduk di bangku SD hingga SMP, tiap hari senin para pelajar berjajar rapi di halaman sekolah masing-masing untuk melaksanakan upacara bendera. Mendengarkan naskah pembukaan undang-undang secara utuh adalah bagian dari ritual mingguan tersebut.
***
Baru-baru ini, melalui news feed di FB, beredar cerita mengenai seseorang yang bernama Hadi Susanto. Seorang anak dari keluarga yang tidak mampu yang semasa SMA harus mengayuh sepeda ontelnya sejauh 30 km menuju sekolah. Saking jauhnya dan saking miskinnya, tiap hari Hadi selalu membawa 2 buah tas. Satu tas lagi berisi bekal makanan yang dibawa dari rumah.
Hadi tergolong cerdas. Karut marut ekonomi keluarga tak membuat Hadi patah semangat untuk tetap mencoba peruntungannya melalui jalur UMPTN. Menempuh S1 di ITB, beasiswa pun menghembuskan nasib baiknya ke Belanda untuk menuntaskan pendidikan S2 sekaligus S3. Sempat bekerja di Massachusetts (US), kini Hadi menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi bergengsi di Inggris. Tepatnya di University of Nottingham, kotanya Robin Hood.
Mantra apa yang ‘membebaskan’ Hadi yang memiliki nama kecil Combat (panggilan dari teman-temannya karena perawakannya yang seperti tentara) dari ketidakmampuan secara ekonomi? Sihir apa yang tidak hanya menerbangkannya jauh-jauh dari Lumajang hingga ke Inggris, tapi turut melambungkan harapan yang mungkin tak pernah dipikirkannya saat masih bersekolah di Bandung dulu?
Sederhana sekali jawabannya…pendidikan. Salah satu cara ‘mudah’ memutuskan mata rantai keterpurukan ekonomi adalah pendidikan.
Kontras dengan kisah Hadi, sekitar seminggu yang lalu seorang teman di Jeddah menghubungi saya via email. Mengisahkan perihal ‘darurat pendidikan’ bagi murid-murid di sekolah Indonesia di kota Jeddah. Barusan pula, Ibu Elly menelepon saya dan bercerita panjang lebar mengenai ‘cita-cita’nya yang mungkin akan segera terkubur bersama makin ketatnya negara Saudi dengan undang-undang kependidikannya.
Sekolah Indonesia di Jeddah
Siapa Ibu Elly?
Nama lengkapnya Elly Warti Maliki. Lulusan Al Azhar – Mesir yang memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia pendidikan tanah air. Ibu Elly bersama keluarga besarnya sudah hidup merantau belasan tahun di Arab Saudi. Tepatnya di kota Jeddah. Kepedulian Ibu Elly terhadap dunia pendidikan tidak hanya sebatas opini dan pantauan semata.
Ibu Elly merupakan pendiri “Sekolah Islam Terpadu – Darul Ulum” (SIT-DU). SIT-DU menggunakan kurikulum nasional yang dikombinasikan dengan kurikulum hasil temuan Ibu Elly dan tim, “Lantisa” (kemampuan untuk berbicara lancar dalam tiga bahasa, Indonesia – Arab – Inggris).
Awalnya Darul Ulum berdiri sebagai Taman Pendidikan Alquran (TPA) di tahun 1992. Sejak tahun 2007, berdirilah SIT-DU. Sekolah tersebut kini sanggup menampung siswa sekitar 300 orang, dari TK hingga SD.
Ibu Elly menolak menjadikan sekolah ini sekolah swasta. Sesuai SKB dari Depdiknas (1981), pihak swasta (selain pemerintah) tidak boleh mendirikan sekolah Indonesia di luar negeri. Pilihan bagi swasta adalah sekolah internasional. Akhirnya, SIT-DU berafiliasi dengan “Sekolah Indonesia Jeddah” (SIJ) yang merupakan sekolah pemerintah Indonesia di Jeddah. Itu pun sebenarnya statusnya ‘samar-samar’ atau ‘ilegal’.
Ibu Elly tetap percaya diri untuk terus menjalankan sekolah ini dengan status tersebut. Tujuan beliau memang mulia. Sekolah ini didirikan untuk menampung anak-anak dari kalangan tidak mampu. Tak sedikit jumlah perantau asal Indonesia yang bekerja di sektor informal yang akhirnya tinggal bersama keluarga mereka di Jeddah. Termasuk anak-anak mereka. Ada yang juga berstatus ‘ilegal’, tidak punya iqama (KTP Saudi).
Sebagian orang tua dari kalangan ‘formal’ memilih memasukkan anak-anak mereka ke sekolah internasional. Meskipun belakangan, banyak juga orang tua dari kalangan ‘pekerja formal’ yang memasukkan anaknya ke SIT-DU. Namun, hingga kini mayoritas anak-anak yang bersekolah di sana berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Inilah alasan utama mengapa Ibu Elly menolak keras usulan agar menjadikan SIT-DU sebagai sekolah swasta internasional. Sekolah internasional akan terbebani dengan biaya operasional yang besar yang akan berimbas pada tingginya biaya sekolah yang tak akan mungkin sanggup ditanggung oleh sebagian orang tua murid. Sebagai catatan, sekolah internasional mematok harga hingga puluhan ribu riyal per tahun.
Alasan keduanya adalah masalah kurikulum. Ibu Elly berharap dengan mempertahankan kurikulum nasional tak akan mencabut ‘akar-akar kecil’ ini dari tanah kelahirannya. Beliau pun sangat percaya diri dengan program “Lantisa” yang telah diujicobakan dan mendapat hasil yang cukup positif.
Ketika di Jeddah, anak saya pun bersekolah di SIT-DU. Saya pernah menjadi saksi betapa tingginya harapan para ibu-ibu dari kalangan menengah ke bawah ini kepada para ananda tercinta. Tidak main-main mereka dalam menyekolahkan anak. Saat mengantar, berbagai ucapan disampaikan secara serius kepada anak, “Lihat dong muka Ibu. Belajar yang benar, ya. Mana bukunya? Perhatikan pensilnya jangan sampai hilang lagi.” Sebagian mereka, setelah mengantar anak-anak ke sekolah, harus pulang untuk bekerja.
Huru-hara kasus-kasus yang dialami para TKW yang pernah ramai diberitakan di media nasional tidak meruntuhkan semangat luar biasa mereka untuk meninggalkan kampung tercinta, datang mengadu nasib jauh-jauh ke Saudi. Mereka mungkin lebih takut kalau suatu hari nanti mereka masih diberi umur panjang dan mereka harus menyaksikan anak cucu mereka akan menjalani takdir yang sama. Dengan penghasilan seadanya, kemana mereka harus mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah. Tanpa pendidikan memadai, perbaikan masa depan apa yang bisa ditawarkan pada anak-anak mereka?
Belum lama saya share berita tentang perlakuan yang tidak menyenangkan yang kerap mereka alami di bandara Soetta. Kini, pemerintah pun tak kunjung ‘bersuara’ mengenai anak-anak mereka nun jauh di kota Jeddah sana.
Jangan lupa, sebagian mereka juga seorang Ibu seperti kita. Seorang ibu yang mungkin dalam doa-doanya di malam hari mengangkat tangan dan berbisik dalam doanya kepada Tuhan, “Ya Allah, semoga anak saya kelak menjadi presiden. Aamiin.”
Ancaman Tsunami Pendidikan di Jeddah
Tahun ini, pemerintah Saudi memperketat aturan kependidkan terutama tata kelola sekolah-sekolah asing. Ada dua masalah yang tengah dihadapi Ibu Elly selaku kepala pengelola SIT-DU. Izin operasional kembali dipertanyakan.
Sebenarnya sejak tahun 2010, Ibu Elly sudah berusaha berkoordinasi dengan pihak KJRI mengenai kemungkinan untuk peninjauan ulang SKB mengenai pendirian sekolah Indonesia di luar negeri tadi. Tapi hingga kini tak ada kejelasan status.
Masalah lainnya adalah masalah kelayakan gedung. SIT-DU memang berlokasi di sebuah pemukiman biasa. Sebuah rumah yang disulap menjadi gedung sekolah. Disekat-sekat seadanya. Sudah 3 bulan ini, Ibu Elly berusaha berjuang mencari perlindungan kemana-mana. Sementara salah satu usulan pihak KJRI untuk bergabung ke SIJ cukup mustahil.
SIJ sendiri pun ditempa masalah kelayakan gedung. Jumlah murid di SIJ kini sekitar 1000 siswa. Sementara kapasitas gedung hanya untuk 600 orang. Sudah berkali-kali ada wacana untuk memindahkan gedungnya ke tempat lebih layak. Bahkan konon, beberapa waktu lalu, Bapak Presiden bertandang ke Jeddah dan dijadwalkan untuk meninjau gedung sekolah. Tapi ternyata kunjungannya batal. Wacana pemindahan gedung kembali tersamar, mungkin selamanya akan menjadi sebatas wacana. Bayangkan, bagaimana bila sekitar 300 murid dari SIT-DU harus ikut berjejalan di sana? Sementara pihak SIJ pun sudah menunjukkan penolakan.
Persoalan ketiga adalah masalah status beberapa siswa di SIT-DU merupakan anak-anak ilegal (tidak memiliki nomor iqama). Hal itu melanggar peraturan resmi. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Elly, “Saya dianggap seperti penjahat karena melanggar peraturan menampung anak-anak ilegal di sekolah saya. Mereka sepertinya tidak berhak berkumpul dengan anak-anak yang legal. Mereka sepertinya tidak berhak mendapatkan pendidikan.”
Untunglah persoalan terakhir ini telah mendapat titik terang. Pemerintah Saudi telah memberikan amnesti kepada warga asing ‘bermasalah’ yang ingin tetap bekerja di Saudi.
Peninjau sekolah dari Pemerintah Saudi telah memberi ultimatum. Waktu yang tersisa tinggal 47 hari lagi. Ibu Elly kembali bertutur, “Sampai hari ini belum nampak secercah cahaya pun yang dapat menyelamatkan sekolah kami dari ancaman penutupan.”
Melalui telepon, Ibu Elly berkata, “Tsunami di Aceh jelas bencana besar. Kita bisa melihat jelas korbannya secara fisik. Tapi orang-orang tidak sadar, tsunami yang sama tengah terjadi di Jeddah. Korbannya mungkin tak terluka secara fisik. Tapi secara batiniah. Mereka tak sadar hak mereka dirampas. Bencana besar bagi masa depan anak-anak ini.”
Who am I to be Blind?
Sewaktu salah satu anggota Persatuan Orang Tua Murid (POMDA), Bapak Wibowo Pujokongko Adi / Pujo (teman kantor suami di Jeddah), menghubungi saya beberapa waktu untuk meminta saya menuliskan tentang ini, saya sempat ciut. Aduh, pikir saya. Memangnya saya ini siapa, ya? Lagian, di tengah maraknya kekisruhan di tanah air, banyaknya berita-berita kurang sedap, siapa yang akan peduli? Pemerintah tengah didera berbagai masalah korupsi, baru-baru ini pun masalah Ujian Nasional bergema dengan nyaring.
Dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia, berapa persen sih 300 orang ini? 1 persen saja tidak ada. Sementara di tanah air, masalah negatif pendidikan dari berbagai segi tidak kurang gaungnya.
Apa dengan ditiadakannya pembacaan pembukaan UUD 1945 di upacara bendera hari senin, akan membuat ‘mereka yang di atas sana’ ikut meniadakan salah satu kewajiban mereka untuk MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA?
Tapi saya lantas teringat salah satu petuah Bung Karno, “Seribu orang tua hanya dapat bermimpi. Satu orang pemuda dapat mengubah dunia.” Cuma butuh satu orang pemuda untuk melakukan banyak hal besar. Satu pemuda ini mungkin ada diantara yang kurang dari 1 persen tadi.
Siapa yang tahu, kalau kegalauan meruntuhkan keberanian saya untuk menuliskan ini, sang pengubah dunia itu gagal memenuhi takdirnya. Siapa yang tahu diantara anak-anak ini ada calon “Hadi Susanto-Hadi Susanto” yang seharusnya mampu untuk merapalkan mantra dan sihir untuk terbang jauh mengukir cita-cita setinggi langit di sana. Siapa yang tahu, kelak mereka akan membuat orang tuanya berbangga, melupakan semua kepahitan masa lalu dan tersenyum, “Tidak ada yang sia-sia.”
Maka dari itu… “who am I, to be blind? Pretending not to see their needs.” (Man in the mirror, M. Jackson)
Saya juga tidak tahu harus ditujukan kepada siapa tulisan ini. Tak ada waktu lagi untuk ‘mengemis’ perhatian di media cetak resmi. Kurang dari 2 bulan lagi, vonis akan dijatuhkan kepada sekolah ini. Maka, saya pun sama sepakat dengan Pak Pujo, “Mungkin kita bisa berbagi melalui media sosial.”
Siapa yang tahu ke mana tulisan ini akan bermuara? Mana tahu ada pihak-pihak yang bisa menggugah pihak berwenang di pemerintahan. Bantulah mengalirkan tulisan ini sejauh yang mungkin bisa.
Bantuan terkecil yang kita bisa tentu berdoa :). Who are we to be blind? Pretending not to see their needs.
Kalau pun tak sanggup pemerintah membela hak-hak mereka, memperjuangkan hak-hak mereka di Negeri Rantau…
Kalau pun tak sanggup pemerintah memberikan (setidaknya) perlakuan yang layak bagi mereka saat mereka kembali ke kampung halaman setelah lelah ‘bertarung’ di Negeri Orang… walaupun konon, predikat “Pahlawan Devisa” disematkan pada mereka…
Maka…jangan rebut HARAPAN mereka bagi anak-anak mereka. Anak-anak adalah masa depan orang tua. Cukuplah perlakuan tidak adil bagi mereka.
(Mungkin) satu-satunya yang membuat mereka bertahan adalah HARAPAN, untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Tanpa pendidikan, HARAPAN apa yang bisa dibangun? :(.
“Never deprive someone of hope; it might be all they have.” H. Jackson Brown, Jr.
Let’s not kill THEIR HOPE, it might be all they have to continue all these suffering they’re bearing now. Don’t kill that only reason.
***
Note :
Bapak Pujo, walaupun berkepentingan sebagai salah satu orang tua murid di skana, sebenarnya bisa saja tidak peduli. Beliau, dengan jabatan sebagai manajer di salah satu vendor telekomunikasi internasional, tak akan kesulitan sama sekali memasukkan putra putrinya ke sekolah internasional. Tapi beliau ini memilih ikut ‘berjuang’ :). Sekaligus menjadi salah satu narasumber utama dari tulisan ini, selain Ibu Elly Warti sendiri.
***
View Comments (5)
Subhanallah..berat mak tulisannya..semoga dibaca Pak Presiden..
Ini tulisan lama, Maaakk hehe. Alhamdulillah, problem solved. 'Usaha' kami menuai banyak perhatian ;). Sekolah Darul Ulum sudah ditangani langsung oleh instansi terkait :). Terima kasih atas doa bagi semuanya yang sudah share note ini di Facebook dulu :). Barakallah, Allah yang membalas nanti. Aamiin :)
Subhanallah... semoga lancar semua apa yang diusahakan, dan semoga banyak manfaat, aamiiin
Subhanallah.... terus maju, Mak :')
Allahhuakbar....maju trus sob..heeee