X

Lihat Segalanya Lebih Dekat

Gara-gara tulisan tentang “Namanya IKEA, Kelakuan Indonesia” yang jadi trending topic kenapa jadi pada judgemental begitu, ya? Hehehehe.

Mental Indonesia katanya. Mental minta dilayani.

Sebenarnya sih, itu bukan mental Indonesia. Lebih tepat jika dikatakan sebagai “mental yang ada di negara berkembang pada umumnya” . Enggak cuma di Indonesia sajalah gaya hidupnya macam begitu. Di India juga sami mawon 😀.

Salah satu pembeda utama antara negara maju dan negara berkembang adalah kesenjangan sosial-ekonomi sepertinya. Kita selalu mencap negara-negara maju adalah negaranya orang-orang tajir. Kurang tepat lagi.

Jakarta yang glamour ^_^

Karena di negara maju yang menonjol itu justru kalangan menengah-nya. Dan mungkin akan sedikit sulit menemukan kelas masyarakat yang mesti sampai mengais sampah untuk cari makan *hiks*.

Kalau mau cari orang-orang kaya yang petantang petenteng, nah, di negara-negara berkembang itu baru gampang dapatnya . Tapi biasanya kontras. Ibu-ibu yang pakai Hermes ada, tapi ibu-ibu yang modal kantong plastik buat naruh dompet dan segala macam juga ada hihihihihi .

Dari segi gaji saja, mari mengambil contoh Indonesia-Arab Saudi dan Irlandia. Tiga negara yang cukup lama pernah kami diami 😀.

Di tahun 2008 itu, kalau kalian tahu berapa gaji telco engineer di INdonesia pasti sesak nafas. Termasuk saya yang dulu masih bekerja sebagai IT Business Analyst di salah satu consumer goods paling yahud seNusantara. Ihiiiiyyy :D.

Mengamuk dong ah melihat slip gaji suami. Untung suami sendiri ya. Hahahahahaha. Gaji suami di Jakarta dulu jauuuuhhh lebih besar daripada pendapatan perkapita rata-rata penduduk di Indonesia.

Di Arab Saudi, hampir sama. Melihat biaya hidup di Jeddah, compare to the salary, saya sempat takut itu kalau suami pasti mau seumur hidup kerja di Jeddah! Hahahahhahaha. Untunglah, Tuhan mendengar doa saya :p.

Penghasilan rata-rata seorang telco engineer di Arab Saudi juga di atas pendapatan perkapita rata-rata penduduk di sana. Walau tidak ‘sejomplang’ seperti di Indonesia sih ya.

Nah, di Irlandia baru agak berbeda. Gajinya sih tetap di atas rata-rata. Tapi enggak yang jomplang banget kayak di Indonesia dan Arab Saudi. Malah saya melotot pas dikasih tahu suami penghasilan seorang karyawan toko di Irlandia. Wah, pengeeeeennnn, hahahhaha.

Dan mengapa toko-toko pada tutup kalau hari Minggu (atau ada juga dari sabtu udah tutup). Karena tenaga manusia di Irlandia … mahaaaaalllll. Di Jakarta sih, justru hari minggu toko-toko ramai dan pada buka semua.

Apalagi kalau kerja di hari libur mingguan itu (di negara maju). Gajinya harus ekstra.

Di rumah-rumah makan, jumlah pegawainya pas-pasan. Ya seringnya, dia yang kasir, dia yang ngantar makanan, dia yang beres-beres meja, dia yang nyapu-nyapu. Ya karena itu tadi, gaji mereka mahaaaaallll . Manusia itu sangat dimanusiakan di negara-negara maju .

Makan di resto itu harganya bisa selangit ketimbang beli bahan dan masak sendiri. Di Saudi dan di Indonesia? Seringnya sih mending jajan daripada masak sendiri hahahaha. Harganya paling beda tipis . Belum kalau jajannya di ‘kaki lima’, murahnya suka keterlaluan ya *hiks*. Di eropa, enggak ada gitu-gituan huhuhu.

Beda dengan negara-negara berkembang di mana si kaya dan si miskin itu punya tembok yang sangat sukar dirobohkan . Kita bisa mempekerjakan simbok yang jam kerjanya enggak jelas juga secara kan simboknya tinggal di rumah . Gajinya? ya gitu deh hehehehe.

India yang Glamour ^_^ (gambar : hindustantimes.com)

Di Saudi juga begitu kok. Penghasilan pekerja-pekerja domestik ya ala kadarnya. Makanya, banyak keluarga yang memanfaatkan jasa mereka.

Di Eropa? Ya mikiiiiirrrr hahahahaha. Konon, satu jam beres-beres rumah mintanya 20 euro. 20 euro mah bisa buat belanja di Aldi tuh untuk kebutuhan makan satu minggu hahahaha. Iyaaaaa, jangan kau kira Eropa ini mahalnya ampun-ampun. Enggak juga kok . Kapan-kapan saya bahas terpisah ah .

Pssttt…daging di sini lebih murah daripada di tanah air. Jangan garuk tanah yak hahahahaha.

Makanya, jangan heran, kalau orang-orang di negara maju otomatis ya harus menguatkan diri untuk semandiri mungkin. Bukan karena dari lahir mereka sudah top atau pendidikannya gimana-gimana. Enggak juga kok. Lebih karena situasi dan kondisi . Janganlah terlalu menganggap rendah bangsa kita sendiri.

Karena asal tahu, orang-orang Indonesia kalau dilempar ke Eropa ya umumnya bisa beradaptasi dengan baik kok . Dan kalau emak-emak bule itu kau kirim ke Jakarta, ya mereka pasti pakai simbok begitu tahu ‘gaji’nya cuma ‘segitu’ .

Saya pernah menjadi tutor di 4 keluarga asing berbeda (ada yang asal Inggris, US dan kawin campur Asia-Eropa) di Jakarta pas masih kuliah dulu. Mereka ngaku kok senang tinggal di Jakarta. Enggak capek. Sama kantor disediakan supir 2, asisten rumah tangga 2, plus tukang kebon 1 hihihihi.

Yang tinggal di apartemen ada. Di Dharmawangsa. Apartemen imut-imut begitu, ya tetap pakai asisten rumah tangga tuh 😉. Pan judulnya tinggal di Jakarta. Pakai simbok? Why not? ^_^.

Masalah penghasilan minimum bagaikan buah simalakama. Macam tempo hari buruh-buruh perempuan minta dana kosmetik, ibu-ibu kantoran pada ngamuk dan nyinyirnya minta ampun hahahahaha. Sadarilah, kita sendiri tidak siap bukan melepaskan diri dari kesenjangan ekonomi yang sudah terlanjur ada sekarang? . Tanpa sadar, kita ikut “menikmati”.

Bayangkan kalau simbok minta gaji minimal 2.5 juta. Pingsan kan? Karena pegawai kantoran di Jakarta juga gajinya enggak segede itu. Kita sudah terbiasa dengan paradigma, “Ya masa gaji gue beda-beda tipis sama pembantu?”

Well, heloooooo, itulah yang terjadi di Eropa yang kalian puja-puja itu . Jangan mau makmurnya saja, tapi enggak mau bagian ‘susah’nya :p.

Imbasnya juga ke pendidikan. Nih, suami baru dari Cina, assignment 6 minggu di sana. Dia cerita terkaget-kaget mendengar anak SMP di sana pulang sekolahnya bisa hampir malam gitu hahahhahha. Di India pun ternyata kurikulumnya termasuk ‘disiplin dan keras’.

Sisi lain India (gambar : blogs.sacbee.com)

Di negara-negara berkembang, persaingan sangat tinggi. Umumnya kan negara model begini, jumlah penduduknya membludak. Jadi, wajar bila anak-anak kita harus dikondisikan seperti itu . Maksud saya, tidak sepenuhnya karena pemerintah kita enggak peduli. Ada faktor situasi dan kondisi di sini.

Jangan lupa, profesi-profesi non formal di negara-negara berkembang, penghasilannya bikin nangis. Beda dengan profesi non formal di negara maju yang tetap memungkinkan mereka hidup layak seperti orang lain pada umumnya .

Jadi, orang di negara-negara maju ya tidak punya tekanan sebesar kita yang besar di negara-negara raksasa macam India, Indonesia dan Cina . Jepang pun jangan salah, ‘sadis’ juga lho kurikulumnya ketimbang kurikulum standar ‘barat’.

Kita harus berusaha keras membuat anak-anak agar siap bersaing dengan keterampilan yang mumpuni. Harapan kita kan pasti profesi-profesi kelas atas. Jangan nyinyir-nyinyir soal memaksakan kehendak kepada anak unless you’re ready when someday they say, “Ah, aku mau jadi pegawai toko aja deh Ma, asyik ya kayaknya. Ketemu banyak orang tiap hari. Kerjanya dinamis lagi.”

Orang bule mah santai saja anaknya entar mau jadi pegawai toko. Toh, pegawai toko di sini ya tinggal di apartemen yang sama, berpenampilan sama, berpenghasilan cukup, dibanding orang-orang lain.

Belum lagi tunjangan dari pemerintah di negara maju macam-macam. Termasuk jika mereka sudah tua. Dari anak lahir saja, child benefit menanti hihihihi. Lumayan banget lho jumlahnya. Kan sudah saya bilang ya, hidup di Eropa itu sesungguhnya tidak bisa dibilang mahal (ya tergantung gaya hidup sih ya :p).

Kesehatan terjamin. Di usia pensiun pun dapat penghasilan. Jumlahnya cukup untuk hidup normal tanpa harus bekerja sama sekali. Kalau ada yang bekerja itu karena mereka bosan saja. Tidak semata-mata cari duit. Jangan heran, aki-aki dan nenek-nenek di sindang, kerjaannya nongkrong di kafe pagi-pagi. Ketawa-ketiwi sesamanya hihihihihi. Ikut dong, Neeeekkkk 😀.

Dun Leary – Irlandia

Coba di Indonesia? Apaaaa kamu mau jadi petugas pemadam kebakaran? Orang tua bisa langsung pingsan tuh! Hahhahahahahha. Padahal di negara-negara maju, petugas pemadam mah dianggap “normal” lho 😉.

Ya karena hidup di Indonesia itu keras, Bung!

Tempat nongkrong di negara-negara yang kesenjangan ekonominya tinggi juga bisa beda. Ada warteg untuk kalangan menengah ke bawah, ada cafe dan resto-resto mahal untuk yang tajir-tajir. Sangat mempengaruhi gengsi kan itu? Ayolah, kita semua manusia biasa . Wajar itu. Kondisi bisa membuat kita menjadi egois.

Sementara di negara-negara maju, enggak segitu-gitunya perbedaannya.

Dengan tantangan masa depan seperti itu, bekal yang harus dipersiapkan ke si anak memang harus ekstra. Gak bisa dikit-dikit lihat negara maju, dikit-dikit lihat negara maju. Kecuali ya itu tadi, kita mau melihat segalanya lebih dekat.

Industri kreatifitas di Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya belum mendapat tempat. Jujur saja, kita akan lebih ‘tenang’ jika anak-anak kita memilih profesi macam dokter, insyinyur, pegawai bank ketimbang mereka tiba-tiba bilang, “ingin mengejar cita-cita menjadi pemain drum kawakan” atau “mau menjadi pemain bola kayak Ronaldo.”

Jujur saja. Are we ready?

Aduh, kok kayak nakut-nakutin? Hahahhahahaha. Enggak kok, ya. Biar bisa lebih luas saja daya jangkau pemahamannya. Saya ini tetap orang Indonesia lah biarpun tinggalnya sedang tidak di sana. Tersinggung juga kalau dibilang “kelakuan Indonesia”. Sementara saya sepakat jika seringkali karakter kita sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dan lingkungan. Baca buku Tipping Point tuh .

Peer pemerintahan kita banyak banget memang. Revolusi mental itu adalah jalan panjang yang belum tentu akan selesai dalam 5 atau 10 tahun. Ya sebelum melihat Eropa sekarang, coba saja baca-baca sejarah mereka dulu. Penuh drama dan air mata macam sinetron-sinetron hahahahaha.

Entah mana yang harus jadi prioritas? Penegakan hukum kah? Masyarakatnya kah? Membasmi korupsinya kah? Membersihkan jajaran pejabat pemerintahan dari tangan kotor kah? Mengusir kepemimpinan asing kah? Menghalau konspirasi kah?

Banyak. Teramat banyak. Ruwet. Tumpang tindih. Karena kalau ngomongin kelakuan suatu penduduk di wilayah tertentu itu faktornya tidak hanya sekadar individunya yang memang rusak atau gimana-gimana. Faktornya super duper akeh lho Mas-mas dan Mbak-mbak!

Pemerintah terlibat. Lingkungan terlibat.

Dengan hal yang sebegitu sulitnya, masih juga kau maki-maki presiden kau! Hahahhahahahaha.

Ya semoga penegakan hukum di negara kita bisa terus membaik karena kedisiplinan masyarakat agak sulit dikejar kalau penegakan hukum lemah. Macam buang sampah sembarangan. Undang-undangnya sih komplit. Tapi siapa yang mengawasi? Kalau yang mengawasi jujur? Lah, kalau bisa disogok juga? Bubar toh yaaaaaa 😀 😀 :D.

Memang kalau dipikir malah mumet. Serba tidak berdaya. Mulai dari mana saja enggak kebayang hihihi.

Saya sih memilih optimis. Walau mungkin ada faktor karena saya fansnya Pakde dari dulu. Tapi ya, pesimis enggak bakal bawa kita ke mana-mana kok ya ;).

Kalau pun hasilnya nanti nihil, ya tetap lebih baik daripada maki-maki toh, ya. Capek wooiii, capeeeeekkkk :D.

Jangan berputus asa. Kalau pun berputus asa, berusahalah dalam keputusasaan itu. Doakan saja yang baik-baik. Siapa yang tahu doa-doa yang indah, dukungan positif kepada pemerintahan yang baru, harapan-harapan bagus, akan menjelma menjadi keajaiban tersendiri. Saya pernah dengar, doa yang baik bisa menghalau malapetaka yang akan terjadi. Mudah-mudahan benar ^_^.

Gambar : oprah.com

Untuk Indonesiaku, selamat menempuh hidup baru ^_^. Semoga sakinah, mawaddah, warrahmah :D.

“Bermimpilah setinggi langit. Jika pun terjatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang.” -Bung Karno-

***

davincka@gmail.com:

View Comments (5)

  • Hi, setuju sama tulisannya. Dulu setelah selesai sekolah, saya pernah balik ke Jakarta beberapa tahun. Kerja di bank jadi Analyst. Gajinya 10 kali lipat dari gaji Customer Service tapi gaji saya sebulan 'hanya' bisa beli sepatu tiga biji saja. Semua tergantung gaya hidup. Sama dengan pekerja ilegal di USA. Apakah kita sanggup nanti makan di restoran yang jadi lebih mahal, biaya potong rumput, dan semua barang produksi lokal akan naik. Harga tomat saja yang naik beberapa puluh cent di protes sama orang karena ngak ada yang mau kerja petik tomat (setelah perkebunan di razia imigrasi).

    Waktu di Indonesia kalau kesel sama pelayanan apapun saya hanya mikir, what do you expect. Kasian juga mereka gajinya kecil sesuai deh dengan apa yang kita terima. Kalau memang misalnya pelayan restorannya pintar, maka mereka either cari kerja lain atau gajinya akan naik lebih tinggi.

  • Ihiyyy.. aku termasuk yang ngikut nyinyirin tentang "kelakuan Indonesia" ituuuh... sirik terselubung karena belum pernah ke IKEA di tangerang sonooo.. :P

    susah ya bersikap adil sejak dalam pikiran :))

    thanks buat postingannya ya jihan..

  • Padahal mendengar orang kalau ke luar negeri itu terlihat sangat keren. Ternyata ada beberapa hal yang harus difikarkan juga ya.

    Indonesia yang timpang sekali dari segi kehidupan masyarakatnya. Semoga semakin beranjak lebih maju apalagi dari sisi ekonomi.

    Terima kasih infonya mba :)

  • Habis baca tulisan ini, jadi mikir. Bener juga ya... Ini bukan karakteristik Indonesia semata, namun lebih mendasar pada negara berkembang pada umumnya.

    Mau berbuat untuk berubah, susah juga. Kalau tidak mulai dari diri sendiri, siapa lagi? Iya kan, setuju banget ama mbak Jihan. Tetep optimis!