Peganglah sebilah pisau. Raba ujungnya yang tajam. Bayangkan bila darah mengucur dari jari bila teriris oleh permukaan tajamnya. Berarti, pisau itu benda yang berbahaya?
Tapi … bayangkan bila tidak ada pisau. Bagaimana caranya ibu-ibu rumah tangga seperti saya ini menyelesaikan urusan masak memasak? Memotong-motong sayur dan buah pakai apa, dong? Masa daging segar sekilo yang bentuknya masih utuh harus saya gigitin menjadi potongan keci-kecil? Hehehe.
Pisau, bisa berbahaya, bisa berguna. Demikian pula dengan kebebasan pers dalam setiap negara. Meroketnya internet sebagai buah dari kemajuan era digital memicu kemunculan media-media sosial online, misalnya blog. Lengkap dengan penulisnya yang berhak menyandang predikat blogger.
Kehadiran para blogger, berita dalam bentuk status di facebook, kultwit-kultwit via twitter, menghadirkan istilah “jurnalis warga.” Kadang ya, sebelum muncul di media nasional (yang online sekali pun), beritanya sudah lebih dahulu bergemuruh di berbagai akun pribadi dari rupa-rupa media sosial tadi. Ditambah lagi dukungan penuh dari kecanggihan smartphone yang dilengkapi fasilitas kamera/perekam video yang makin cihuy, berita makin seru dengan adanya foto-foto/video penunjang.
Penyebaran informasi atau berita sudah bukan dominasi media cetak saja. Malah, soal kecepatan dalam penyebaran gosip eh … berita, kayaknya sekarang ini twitter, ya, juaranya ;).
Filipina, Negeri no,3 Paling ‘Mengerikan’ Buat Para Wartawan?
Menjelang terbentuknya Komunitas ASEAN 2015, masalah penyebaran informasi tentu berperan penting. Sudah selayaknya porsi kebebasan untuk para jurnalis baik yang formal maupun yang menghuni ranah pribadi seperti para blogger dsb, mulai terus ditingkatkan. Ingat, salah satu kekuatan para pengendali dunia adalah penguasaan sekaligus penyebaran informasi.
Namun, hasil dari daftar peringkat “Indeks Kebebasan Pers Dunia” 2013 yang dikeluarkan oleh badan internasional RSF (Reporters Without Borders) menunjukkan gejala yang kurang menggembirakan. Walau Indonesia sendiri memperbaiki peringkatnya, naik ke 139 dari 146, sebagian negara ASEAN merosot ke peringkat bawah.
Misalnya saja Filipina, bertengger di posisi 140 di tahun sebelumnya, kini berperingkat 147. Tidak cuma itu, Filipina kembali berada dalam peringkat 3 besar dalam indeks impunitas yang diterbitkan oleh organisasi Amerika Serikat Commitee to Protect Journalists. Gelar yang sudah disandang selama 4 tahun berturut-turut.
Yang berarti, Filipina termasuk dalam 3 negara paling ‘menyeramkan’ bagi para wartawan. Serikat wartawan nasional Filipina menyiratkan fakta ini sebagai cerminan kegagalan pemerintah dalam menghadapi kekerasan terhadap pekerja media dan menghukum sang pelaku.
Sebagai informasi pembanding, berikut ada pendapat dari salah satu pakar media di Indonesia, Agus Sudibyo. Menurutnya, peringkat yang dikeluarkan RSF dianggap tidak merefleksikan kenyataan sesungguhnya. Kebebasan Pers Indonesia dianggap jauh lebih baik dari yang digambarkan RSF.
Agus mengkritik RSF yang hanya mendasarkan tingkat kebebasan pers menurut jumlah kekerasan yang dihadapi para jurnalis di negara masing-masing tanpa mempertimbangkan kondisi geografis dan demografis. Saya cenderung setuju dengan pendapat Bapak Agus. Salam kenal, Pak Agus 😀 *sungkemDulu*.
Secara geografis dan demografis (kependudukan), Filipina relatif mirip dengan Indonesia. Sama-sama berbentuk kepulauan dan memiliki penduduk yang tidak sedikit dengan sebaran kependudukan yang tidak merata di seluruh wilayah.
Makanya, agak sulit juga menilai relativitas dari indeks peringkat tersebut dengan kenyataan di negara bersangkutan. Apakah mungkin stabilitas dalam negeri yang mengalami beberapa guncangan adalah salah satu sebab tingginya kriminalitas terhadap para jurnalis di Filipina?
Tautan berikut menerangkan mengenai masalah besar berupa ancaman oleh gerakan separatis Bangsamoro di sebelah selatan Filipina, Mindanao. Ditambah lagi pemberontak-pemberontak dari Tentara Rakyat Baru (New People’s Army) yang berpaham komunis di pedesaan. Belum lagi maraknya kerusakan lingkungan seperti penebangan hutan dan polusi laut.
Saya sih bukan ahli politik atau hukum. Tapi logikanya, dalam situasi seperti tadi, apakah bijaksana membiarkan lalu lintas pemberitaan lalu lalang sesukanya? Buah simalakama untuk pemerintahan mana pun yang tengah menghadapi gejolak stabilitas dalam negeri. Di satu sisi ingin melindungi pihak-pihak yang ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan. Di sisi lain harus melukai kebebasan berpendapat warganya sendiri.
Fakta-fakta Positif Filipina
Walau tingkat kebebasan persnya tengah mendapat sorotan tajam, hampir 100% warga Filipina dinyatakan bebas dari buta aksara. Termasuk salah satu yang tertinggi di Asia. Wow! Sumber yang sama juga mengungkapkan fakta bahwa sebagian besar rakyat Filipina mampu bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dan gaya hidup negara satu ini paling kebarat-baratan di Asia.
Juga dari sumber ini disebutkan mengenai pertumbuhan ekonomi moderat Filipina yang mendapat banyak suntikan devisa dari pekerja-pekernya yang melanglang buana ke hampir seluruh penjuru dunia. Belum lagi kemajuan teknologi informasinya.
Soal bahasa Inggris dan banyaknya pekerja Filipina di berbagai belahan bumi, saya sanggup bersaksi secara langsung :D. Di Jeddah, pekerja pendatang yang lumayan banyak ya pekerja Filipina. Apalagi di rumah-rumah sakit. Mulai dari perawat, petugas administrasi, petugas farmasi, petugas lab, didominasi oleh para Pinoy.
Satu lagi nih, “bahwa wikipedia berbahasa Waray-Waray atau Winaray yang merupakan salah satu bahasa daerah di Filipina saat ini memiliki 429 lebih artikel.”
Kalau memang ada pengekangan terhadap kebebasan pers, termasuk para “jurnalis warga”, kok kayaknya tidak berdampak seperti negara-negara yang terbelakang soal urusan informasi, ya? Rakyatnya malah kebarat-baratan, dapat informasinya dari mana coba? Akses ke wikipedia pun bebas-bebas saja. Malah menunjukkan keaktifan cukup hebat dengan adanya ratusan artikel berbahasa daerah selain bahasa nasional mereka, Tagalog.
Apa kebebasan pers dalam urusan politik saja kah yang dimaksud? Wallahualam. Jangan-jangan blogger di Filipina asyik-asyik saja :D.
Hitam atau Putih?
Walau peringkat Indonesia dan Filipina masing-masing terlempar jauh dari peringkat 100 besar, pertimbangan dari Pak Agus yang saya uraikan di atas bolehlah kita simak lebih jeli. Bahwa kebebasan pers di Indonesia sendiri dianggap mengalami surplus kebebasan.
Untuk saya pribadi, rasanya sulit untuk mengelak dari ucapan Pak Agus tersebut. Saya termasuk yang mengkhawatirkan betapa mudahnya opini publik dibentuk atas dasar penyebaran berita yang sensasional tanpa didasari sumber yang akurat. Sering pula menyentuh wilayah sensitif semisal menyerang kepercayaan beragama orang lain :(.
Jangan-jangan ini pula yang terjadi di Filipina? Secara peringkat mengejutkan tapi pada kenyataannya ya bebas-bebas wae. Hehehe. Mungkinkah?
Tautan yang ini, mungkin bisa memberi pencerahan, yang bersumber dari Kompas Edisi Cetak 8 Juni 2013. Membahas mengenai etika jurnalistik. Bahwa kebebasan pers bukannya tak berbatas. Pers pun harus terbuka pada kritik yang ditujukan kepadanya. Berani berbuat, berani bertanggung jawab ;).
Kecanggihan teknologi masa kini yang memungkinkan banyak pihak beropini dalam berbagai media sosial pribadi seperti layaknya sebilah mata pisau. Marabahaya yang diundangnya jika kita membiarkan tajamnya belati berada di tangan seorang balita. Tapi di tangan seorang juru masak yang sibuk meracik menu di dapur, benda tajam ini mendatangkan manfaat yang tidak sedikit.
Mana ada ,sih, hal-hal di dunia ini yang mengandung manfaat saja? Air putih yang sudah sangat nyata khasiatnya buat kesehatan, bila dikonsumsi sekaligus dalam jumlah banyak, apa tidak membuat perut kembung?
Kebebasan apa pun memiliki banyak warna. Dalam banyak hal, warna hitam digambarkan sebagai hal negatif dan warna putih dianggap kebalikannya. Adalah tugas kita untuk menyematkan warna yang mana yang kita inginkan untuk setiap hal yang kita temui dalam hidup ini. Hitam atau putih?
Demi suksesnya Komunitas ASEAN 2015, tentu saja kita semua yang berada dalam naungan Komunitas ASEAN Blogger, tergabung dalam “Blogger Sayap Putih.” Sepakat? 😉
***
View Comments (15)
hadeu merinding bacanya
Kayak nonton film horor hehehe. Mudah2an isinya enggak horor ya :P. Terima kasih sudah mampir :)
kandidat juara nih, tulisannya keren :)
Hai, hai. Terima kasih ya.
aahh.. keren! :)
Terima kasih :)
sepakat. ;)
Mau nambahin, pekerja2 Filipina juga banyak tersebar di Jepang. banyak juga yang sudah melebur dengan orang Jepang melalui perkawinan dan sudah beranak pinak. hehe.
Iyap. Di Jeddah juga gitu. Di Irlandia juga bertabur pekerja asal Filipina :D.
Kereen mak Jihan. Ulasanmu amat ... apa ya istilahnya ... komprehensif ya? Heu heu ... mudah2an itu istilah yang tepat. Layak lagi jadi juara 1 nih mak. Masih dahsyat saja di hari ke-8 :)
Tulus, saya mendo'akan: moga monang yaa :)
Aih monang mah nama orang ... moga menang maksudnya :)
Hehehehehehehe, dasar penulis. Apa aja bisa dicari padanannya :P. Thanks Mak, good luck for all of us ;).
Komperehensif itu apa, Mak? :D. Semoga semua emak-emakk menang, yaaaa. Aamiiin. Kali hadiahnya ditambahin sama panitia melihat semangat para pesertanya yang ciamik-ciamik sampai hari ini ^_^
satu web referensi yang cukup menarik adalah Freedom House mak (www.freedomhouse.org)....Indonesia sendiri sempet 'turun-naik' peringkatnya :D..bon courage untuk episode berikutnya yaaa....
Parameternya apa beda lagi, ya? THanks referensinya :).
Indonesia kisaran tahun 90an dimana BREDEL - BREDEL menjadi hal yang hmmmmffftt...
Penulis masuk penjara pun seperti jadi sarapan pagi yang teramat wajar..
untunglah sekarang tidak begitu lagi... meskipun tetap harus berhati2..
:)