X
    Categories: Cerpen

[Cerbung] Temanku Cina (Bagian 4)

Tentang Dia (bagian 4)

Oleh : Jihan Davincka

(Bagian sebelumnya cek ke sini, aja :D). 

***

Aku ke dapur. Ibu langsung menengok ke arahku begitu aku masuk. “Makanlah. Bapak sudah makan tadi.”

Aku duduk di meja makan. Makan dengan patuh tapi mataku mengawasi gerak-gerik Ibu. Akhirnya aku tak tahan lagi.

“Ibu, ada apa tadi? Pak Haji kenapa? Ribut-ribut apa di luar?”

Ibu, yang nampaknya sedang memotong-motong sesuatu kembali menoleh ke arahku. Dia seperti berpikir sebentar tapi dia tidak jadi bersuara. Dengan acuh, dia kembali berkutat dengan pekerjaannya.

Aku tak berani kembali bertanya.

Tapi tahu-tahu, Ibu meletakkan pisaunya dan tiba-tiba menarik kursi di sampingku. Duduk disitu dan bertanya padaku, “Apa kau sungguh ingin tahu?”

“Tentu saja. Tadi Bapak melarangku ke rumah ujung. Apa ini ada hubungannya dengan Misye?”

“Misye? Anak cina itu? Tentu saja ini karena keluarga cina kurang ajar itu.” Suara Ibu berapi-api.

Aku menunduk. Sedikit menyesali kenapa tadi aku bertanya. Tapi rasa penasaran mengalahkan rasa sesal. Jadi, aku beranikan untuk menatap wajah Ibu lagi.

Ibu kembali berujar, “Kau tahu Bang Roma? Tukang ojek langganan kita dulu. Yang suka mengantarmu ke sekolah waktu kau masih SD.”

Tentu saja aku ingat. Sampai sekarang, aku masih suka melihatnya nongkrong di perempatan jalan atau di depan toko kelontong Pak Haji. Kalau tidak salah, beberapa bulan lalu, aku dengar-dengar istrinya selingkuh dan dia stres. Suka terlihat mabuk malam-malam di pinggir jalan.

Ibu membuyarkan ingatanku yang melayang barusan, “Bang Roma ditemukan tewas tadi subuh. Tukang ojek lain yang menemukannya. Dia ditikam. Dia pasti dibunuh oleh cukong cina itu.”

“Ibu tahu darimana?” Protesku keras.

“Kau dengar dulu!” Bentak Ibu. “Katanya, kemarin, Bang Roma ngobrol dengan Bik Yunah. Kau tahu dia kan? Dia langganan katering nasi kuning orang kampung kita.”

“Lalu?”

“Katanya, orang cina itu, meminta Bik Yunah untuk membuatkan nasi kotak untuk acara maulid besok di kelurahan. Pak Haji yang memintanya untuk menyumbang dana. Tapi, cina pelit itu tidak mau memberi uang dan malah menawarkan nasi kotak.”

Aku tak tahan ingin bersuara tapi Ibu kembali melanjutkan, “Bik Yunah bilang, dia minta dibuatkan daging babi. Kau lihat kurang ajarnya dia, dia sudah tahu kalau…”

“Bohong!” Aku langsung berdiri dan memotong dengan tegas. ” Memangnya Ibu kenal Bik Yunah? Bertemu saja cuma sesekali.”

“Kau ini kenapa?” Ibu ikut berdiri dengan nada suara meninggi. “Hanya gara-gara bahan kerudung itu kau mati-matian membela keluarga laknat itu.”

“Ibu asal bicara. Tak ada bukti.”

“Bang Roma yang bilang. Dia dengar sendiri dari Bik Yunah. Makanya dia dibunuh. Apa kau tidak mengerti juga?”

“Lalu, Pak Haji?”

“Pak Haji mencoba menghalangi orang-orang untuk menyerang rumahnya tadi pagi.”

“Apa? Rumahnya diserang tadi pagi?”

“Pak Haji itu seperti dirimu. Tak ingat pada peci yang dipakainya tiap hari. Semua orang tahu Pak Haji suka datang malam-malam ke rumahnya. Seperti kau, dia pun suka menjilat keluarga cina itu.”

Aku sakit hati sekali mendengar ucapan Ibu. Tapi entah keberanian dari mana, aku tetap berdiri tegak di hadapan Ibu. “Untuk apa dia menyuguhkan daging babi. Apa untungnya buat dia?”

“Jangan tanya padaku. Tanya pada anak cina itu!”

“Tukang ojek itu sudah dari dulu suka mabuk. Warga kampung cuma mencari-cari alasan saja.”

“Kau menyembah mereka karena mereka banyak uang.”

“Aku sudah bilang. Ibu asal bicara.”

“Terserah kau saja. Asal tahu, rumah mereka sudah dilempari batu. Mungkin sudah remuk semua kacanya. Temanmu itu pasti sudah kabur ketakutan.”

“Tidak mungkin.” Aku berlari ke kamarku.

Ibu mengejar dari belakang. “Jangan berani-berani keluar rumah.”

Sebentar lagi aku pasti kembali menangis. Wajah Ibu menjadi memelas, “Jangan keluar rumah. Selain Pak Haji, orang-orang kampung tahu kau dekat dengan anak cina itu.”

Aku tidak peduli. Dengan panik, aku menarik sebuah kain kerudung dari dalam lemari. Tumpukan kain kerudung berserakan di lantai. Aku menariknya terlalu kasar.

Suara Ibu berubah panik. Mencoba membujukku. “Jangan, Nir. Nanti kau dipukuli orang.”

“Orang macam apa yang mau memukuli anak perempuan.”

“Kau keras kepala sekali.” Suara Ibu makin cemas. Buru-buru ibu keluar dan memanggil-manggil bapak.

Begitu aku selesai memasang peniti di daguku, Bapak muncul di pintu kamar. “Mau kemana?”

Aku menciut. Suara Bapak tidak keras namun aku tahu betul dia tidak akan mengizinkan aku pergi.

“Ibu bilang mereka mengamuk dan melempari rumahnya dengan batu.” Aku mulai terisak-isak.

Bapak memberi isyarat agar Ibu pergi. Aku masih tersedu-sedu.

Sebelum menjauh, Ibu sedikit membela diri, ”Dia tadi bertanya soal itu. Jadi aku jelaskan saja tentang Pak Haji dan Bang Roma yang…”

Dipotong Bapak, ”Keluarlah dulu.”

Ibu masih mencoba mengucapkan sesuatu tapi akhirnya surut melihat pandangan Bapak yang tajam ke arahnya. Ibu pun menjauh.

“Jangan ke sana dulu. Jangan sekarang.” Bapak membujukku lembut.

“Mungkin kaca rumahnya sudah hancur.”

“Kau tahu darimana?”

“Tadi Ibu cerita. Katanya, papinya mau memasak babi untuk orang sekampung. Aku tidak percaya. Aku mau tanya padanya.”

“Bapak tidak bilang semua perkataan Ibumu benar. Tapi, Bapak takut orang-orang akan ikut menyakitimu.”

“Tapi…”

“Kau tidak bodoh. Kau mengerti, kan, maksudnya?”

Kami berdua bertatapan dalam diam. Sangat terasa olehku sorot matanya yang penuh kecemasan. Aku akhirnya mengangguk pasrah. Dan ketika pintu ditutup dari luar, tangisku kembali pecah.

***

Gambar : clker.com

Azan subuh baru saja berkumandang. Aku sulit membuka mataku. Ini tentu karena aku kemarin menangis terus. Rasanya perih. Tapi aku tetap ke kamar mandi, lalu balik ke kamarku, bersimpuh di atas sajadah.

Aku masih belum puas menangis. Tapi, mataku yang sudah tidak sanggup. Selesai salat, aku bingung. Sebelum mengangkat tanganku untuk berdoa, aku bimbang, apa boleh aku menyebutkan namanya dalam doaku? Baiklah, aku tak akan menyertakan papi-maminya. Tapi dia saja. Apa boleh?

Aku jadi mengingat-ingat waktu kecil dulu, semasa masih mengaji di mesjid, Ical suka mengejekku begitu tahu aku suka main ke rumah ujung itu.

“Kata Pak Ustaz, orang cina itu masuk neraka.”

“Kata siapa?”

“Aku sudah bilang, itu kata Pak Ustaz.”

“Terus kenapa?”

“Kalau kau terus-terusan bermain dengannya, kau pun akan masuk neraka mungkin.”

“Kau cuma iri jadi bilang macam-macam.”

“Kenapa iri pada orang yang mau masuk neraka.”

“Aku akan berdoa untuknya.”

“Hahahaha. Percuma saja. Pak Ustaz sudah bilang, dia pasti masuk neraka.”

“Aku mau tanya Bapak.”

“Bapakmu bukan ustaz. Bukan Haji juga. Kalau mau, tanya Pak Haji.”

Tapi, waktu aku berlari ke rumah dan bertanya pada Bapak, Bapak cuma bilang, “Pertanyaan macam itu. Bapak tidak tahu.”

Aku takut masuk neraka seperti yang Ical bilang. Aku ragu-ragu, jadi saat berdoa, aku berusaha keras tidak mengingatnya. Ketika aku sudah melepaskan mukenaku, barulah aku berbisik-bisik memohon keselamatan untuknya.

Maksudku, aku kan sudah selesai salat. Aku tidak pakai mukena lagi. Aku tidak berdoa untuknya. Tapi aku cuma berharap. Itu pun aku tidak berharap dia masuk surga. Aku cuma minta agar dia baik-baik saja. Mudah-mudahan Tuhan mengerti.

Aku membuka gorden ketika sudah ada sedikit cahaya dari luar. Masih sedikit sekali, tapi asal sudah agak terang, aku berani menyibak kain penutup jendela kamarku.

Aku tersentak dan melompat mundur ketika ada sosok berkerudung merah di jendela kamarku. Ya ampun, ada setan subuh-subuh. Aku rasanya ingin kencing. Tapi setan itu malah tertawa lebar dan mencibir, “Dasar penakut.”

Aku kenal suaranya. Aku mendekat kembali dan aku melihat pemandangan yang cukup aneh. Kepala si mata sipit itu berbalut kerudung.

“Kau? kenapa ada disini?”

“Kemarin kau marah-marah. Lama sekali tidak ke rumah. Mana uang hasil jualan kerudungnya?”

Aku buru-buru menyambar segepok uang kertas yang sudah layu di atas meja kamar. “Kau ini sudah gila. Apa yang kau lakukan pagi-pagi begini? Hanya karena mau menagih uangmu?”

Dia tertawa kecil. “Aku pakai kerudung. Ini masih gelap. Orang-orang takkan tahu.”

“Kau baik-baik saja?” Sekarang tangan kami berpegangan. Ingin rasanya kupatahkan besi panjang-panjang yang dipasang di jendela ini. Agar aku bisa menariknya masuk, memeluknya puas-puas.

Biarpun perih, aku merasakan pipiku memanas. Terkena lelehan beberapa butir airmata yang mengalir tak tertahan.

Dia tertawa-tawa lagi. Tapi tidak berisik seperti biasanya. “Apa gunanya kau kemana-mana pakai celana panjang, kalau begini saja kau sudah menangis.”

“Bagaimana rumahmu?”

“Laki-laki akan mudah membodohimu kalau kau gampang menangis.”

Suaraku meninggi, “Cerewet betul kau ini. Bagaimana rumahmu. Kacanya pecah semua?”

“Kau tahu dari siapa? Sudahlah. Papi nanti tinggal panggil tukang. Tapi, hari ini kami mau pergi.”

Aku panik. “Kemana? Pergi ke cina?”

“Sembarangan saja. Kau ini bodoh atau kenapa, sih? Tapi, nanti aku pasti kembali lagi. Rajin-rajinlah lewat rumahku. Kalau kau lihat malam-malam lampunya menyala, besoknya kau datangi aku, ya.”

“Memangnya kau mau pergi lama?”

“Mana aku tahu. Terserah papi.”

“Kalau kau tidak kembali, bagaimana? Aku masih ada yang mau diceritakan. Kau benar. Nora lebih cantik dariku.”

“Aku pasti kembali. Kalau tidak datang lagi, berarti aku sudah mati.”

Aku menyentakkan tangannya, “Kau membuatku takut. Berhentilah bicara aneh-aneh.”

Dia tertawa sebentar sebelummenjulurkan sebuah kantong plastik besar. “Ini kain-kain buat kau jual lagi. Sudah habis kan yang kemarin? Nah, karena marah-marah, kau lupa bilang warna dan motif apa yang kau mau. Aku bingung. Ini aku bawakan seadanya.”

Kami menjejalkan kantong plastik itu melalui jeruji panjang di jendela. Aku menengok dan mengaduk-aduk isi kantong sebentar dan menatapnya bingung, “Biru dan ungu saja?”

“Aku sudah bilang, aku bingung. Takutnya kau marah-marah lagi kalau aku salah bawa bahan. Maksudku kalau biru dan ungu tak laku, kau kan bisa memakainya untuk dirimu sendiri.”

“Aku sudah punya banyak.”

“Sudahlah. Aku tak banyak waktu ini. Ingat, nanti kutagih uang hasil jualannya, ya. Itu isinya sepuluh potong kain.”

“Jangan pergi dulu.”

“Aku tak bisa. Aku juga pegal berdiri disini dari tadi. Sebentar lagi akan terang, kau tahu kan maksudku?”

Aku mengangguk pelan.

“Sudahlah. Soal kain jangan khawatir. Kau beli saja untukmu. Setengah harga.” Dia mengedipkan matanya.

Setelh melepaskan tanganku, dia bergegas pergi. Aku ingin mengejarnya keluar rumah. Tapi aku langsung sadar, Ibu bisa tahu. Jam segini, Ibu pasti sedang duduk-duduk di atas kursi membaca alquran.

***

(Bersambung ke sini)

davincka@gmail.com:

View Comments (4)

  • cerita unik!

    kenapa banyak yang menolak ya? mungkin singgungannya terlalu sensitif?
    boleh aku share ke saudara2 yang sama sipitnya?

    :D

  • Kau curang juga Jihan hihihi harusnya ini tiap hari dong kemarin sempat bolos kan. I loooove the way you write this. Bener kata komen di atas, aku jg mikirnya kok ini bisa gak tembus, menurutku ini sekelas F*mina banget, dan cara bertuturnya masuk banget ke majalah itu. Ngalir banget, lagi. Dan biasanya F*mina tulisannya malah menyesuaikan keadaan di luar sana kan. Atau malah takut dianggap memberi dukungan dan tidak netral ya? *sok mikir*