Dampak Gadget pada Anak Generasi Milenial, Yay or Nay?

Dampak gadget pada anak ini sebenarnya kegelisahan yang sudah agak lama. Sekarang-sekarang jadi rame lagi.

Persoalan pertama mungkin gini. Kita harus paham tiap generasi memang punya masanya masing-masing. Soalnya ada yang ngotot kalau kok jaman dulu terasa lebih indah, lebih syahdu, lebih tidak banyak masalah bla bla bla.

Ya semua juga ngerasa gitu hahahahaa. Ini pernah saya tulis di tulisan yang ini nih ;).

Misalnya kakak sulung saya (lahir era 60 an) hobiiiii banget mencela selera musik saya yang tahun 90 an itu. Dia selalu meracau betapa kerennya musik-musik tahun 70 dan 80 an. read more

mendidik anak milenial

Tantangan Ortu Mendidik Anak Milenial

Mendidik anak milenial buat ortu yang lahir dan besar di era yang berbeda pasti enggak mudah. Mau tinggal di mana juga.

Tapi tinggal di negara-negara maju buat diaspora asal Indonesia, secara garis besar memang menyenangkan kok. Senengnya di atas 50%. Tapi ya harus diakui kalau nyangkutnya di dusun kecil yang orang Indonesianya cuma seupil ini lebih berat tantangannya.

Sudah otomatis kesulitan soal bumbu dapur, beli tempe aja harus online atau harus mencari ke kota-kota besar.

Berusaha mingle dengan ras lain juga kegiatan yang menyenangkan walau harus tabah menghadapi rasa BAPER yang terus melanda hahaahha. read more

Film Netflix yang Bagus : Serial Sex Education

Ada film netflix yang bagus nih. Serial baru, Netflix original. Baru tayang Januari ini. Season pertama, 8 episode doang. Judulnya cetar-cetar gimana gitu. Filmnya apalagiiiiiii hihihi.

Trailernya monggo dilihat di sini :

Aksen (hampir) semua pemainnya British abis tapi lifestyle yang digambarkan kok Amerika banget, ya ?. Tapi istilah Secondary School memang dikenal di UK dan Irlandia. USA kan pakainya junior high school atau Middle School. Penasaran jadinya.

Apa memang UK beda kultur ya dengan Ireland?

Ireland mah di desa-desa model begini, anak-anak umur 10 tahun juga nontonnya masih Peppa Pig cobak ???.

Sampai pernah ngobrol sama suami sambil ngikik-ngikik, anak-anak di Texas kelas 2 SD udah petantang petenteng bawa iPad segala macam, anak-anak di Athlone kelas 6 SD masih main kejar-kejaran di sekolahan, boro-boro bawa handphone mah ???.

Agak kaget dengan episode pertamanya karena super “nganu”. Risih banget karena ceritanya kan tentang remaja usia 16. Tapi sadar karena memang ini 18+ dan ada pesan “sex strong appearance”.

Tapi secara keseluruhan, ceritanya bagus banget sih .

Yang bikin agak ilfeel, pemerannya tua-tua banget. Dandanan juga gak nolong. Untung pemeran utamanya imut-imut, tokoh Otis Milburn yang diperankan oleh Asa Butterfield.

Pemeran utama yang siswi perempuan, Maeve, ampun deh. Jadi mahasiswi juga rasanya udah agak tua -_-.

Film netflix yang bagus seri baru sex education
Masa umur 16 segini sih -_-. Pemeran aslinya berusia 19 tahun padahal.

Si Maeve ini malah terlihat jauuuuh lebih tua daripada pemeran tokoh Eric yang di kehidupan nyata berusia 27 tahun! Woowww. As they said, “Black don’t crack”. Gak rasis lho ini. Malah pujian ;).

Soundtracknya bagus-baguuuusss. Jadi sibuk searching lagu-lagunya jugak hehehe.

Banyak pesan-pesan eksplisit dalam film ini kontroversinya tajam banget untuk ukuran budaya Indonesia. Jadi kalau perspektif agak kaku pasti kurang cucmey sama serial ini hehehe. Tapi fokus ceritanya macam-macam dan banyak masalah parentingnya.

Gaya hidup yang digambarkan sih cocok buat ukuran US. Tapi rasanya di Ireland secara umum masih jaaaauuuuhhhh dari yang model-model begituan. Di Dublin aja, pas main ke park ada yang ciuman kasual gitu-gitu doang, masih banyak bule yang ngomel-ngomel dan berani negur.

Sukaaaaaa sama skenarionya. Urusan skenario, film-film “barat” memang jauh di depan ya. Karena itu kali masih susah move on dari Hollywood, British dan sekitar hihihihi.

Percakapannya mengalir bangeeeetttt. Spontan tapi dalem dan enggak cheesy.

Ada gak ya caranya bikin film tentang “Sex Education” literally yang pop dan asyik  tapi ya jangan gini-gini amat hahahaha. Terlalu vulgar ini. Selain adegan-adegan “itu”nya, ada beberapa pesan-pesan “ya gitu deh” yang disajikan terlalu terbuka.

Me myself, I don’t bother, I’m not against them . Tapi buat diterima di Indonesia, selain adegan nganunya, soal-soal lainnya juga pasti masih ganggu banget ya.

Sudah lama enggak ngikutin serial-serial di televisi. Terakhir kan pas masih di Texas, re-run Grey’s Anatomy dan tergila-gila dengan serial Bones. Makanya, ini semacam haus darah nonton serial keren. Kelar 8 episode dalam 3 hari sajah hehehe.

Season 2 nya katanya mau keluar awal tahun depan atau akhir tahun ini. Jiaaaaahhh…masih lama, yak. Urusan konten, Netflix memang masih terdepan untuk ukuran-ukuran channel sejenis (y).

Kemarin ngobrol di WA bareng emak-emak di sini saling merekomendasikan film Netflix yang bagus, terutama yang serial deh ya biar panjang napasnya. Mau coba nonton serial “Perfume”.

Kalau film lepas, seminggu lalu udah nonton “Bird Box” yang box office versi Netflix. Kurang suka sih hehehe. Terlalu tegang dari awal sampai akhir. Pengin yang agak manja-manja gitu dah biar gak terlalu spaneng nontonnya hahahaha :p.

Oh ya,  cekidot juga ini ada serial Netflix yang gak manja tapi sangat wajib tonton ;).

Buat ditonton sekalian relax dikit dari acara nyapu-ngepel-masak-ngurus anak gituh :D.

film Thailand Terbaik Bad Genius

Film Thailand Terbaik : BAD GENIUS, When An Education is Obtained with Money

Sudah siap dengan film keren edisi liburan leyeh-leyeh di rumah selanjutnya, Gaeeeesssss ???.

Keliling dunia nih kita ?.

Again, rekomendasi dari Kak Ahsan Azhar memang terbaeeeeeee .

Setelah termehek-mehek dengan film India ‘Andhadhum’, giliran film Thailand terbaik – ‘Bad Genius’. Terbaik versi saya sih abis juga belum nonton banyak film Thailand hehehe.

film thailand terbaik Bad Genius
Gambar : bangkokpost.com

Keringat dingin nontonnya walau tidak ada adegan tembak-tembakan dan jejeritan. Hanya urusan menyontek saat ujian bisa menjadikan film ini menjadi perbincangan hangat di tahun 2017 silam.

Peran-peran utama dimainkan oleh para remaja usia SMU. Tapi penonton utama seharusnya ADALAH PARA ORANG TUA.

No worry, no spoiler here .

Plot-nya rapi. Jauh dari hal-hal bombastis, unsur kejutannya lumayan banget. Sebagian problem yang muncul dalam film bukan yang gimana-gimana tapi banyak yang tidak terduga dan bikin saya bengong dan tepok jidat, “Hastagaaaaa, bisa kek gitu yak…”

Apa yang terjadi pada Lynn, Bank, Grace, atau Pat dkk mungkin mewakili problem pendidikan di kebanyakan negara-negara Asia.

Ini kalau wong-wong yurop yang nonton pasti pada bakal lebay dah, “Alamaaaakkk, ancur banget deh ini negara-negara Asia…” hehehe.

Saya suka kisah pertemanan yang diangkat bisa menggeser bully-bullyan ‘klasik’ ala-ala cerita Hollywood di mana si cantik atau si tampan dkk akan membully si nerd yang jelek dan tidak populer.

Justru Bad-Genius menggambarkan pertemanan win-win solution bagi dua kelas sosial ekonomi. Yang mana efeknya justru jauh lebih serem ketimbang adegan klasik si gorgeous menertawakan si nerd yang bajunya kampungan *ngelapKeringat*.

Di dunia nyata kondisinya lebih “menyedihkan” .

Stereotip anak-anak orang kaya pasti males dan dungu itu sangat-sangat salah, lho. TK-SD di sekolah swasta, saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri, yang peringkatnya bagus-bagus itu, sebagian adalah murid-murid yang ortunya punya mobil bisa lebih dari satu.

I saw them. Spoiled but so damn smart! Literally. Mampus gak lo? ?.

Richie Rich ternyata ada di dunia nyata :D.

Di kampus lebih gila lagi. Di Fakultas Ilmu Komputer – UI, saya bayangkan akan bertemu dengan teman-teman kuliah berkacamata dan culun. So-so-so wrong.

Yang cewe banyak yang modis dengan penampilan terkini dengan kemampuan akademis sangat lumayan. Yang lakik apalagi.

Yoih, ada yang benar-benar sepaket macam Dekisugi di Doraemon. Pinter-ganteng/cantik-tajir.

On the other hand, waktu sekolah di sekolah negeri SMP dan SMA, saya bertemu dengan teman-teman lain dari keluarga pas-pasan yang kemampuan akademisnya lebih pas-pasan lagi .

Dengan kecerdasan kognitif yang lemah, mereka masih harus membantu orang tua mencari nafkah *kisahNyata* .

Penokohan film Bad Genius terlalu terikat pada stereotip miskin-pinter vs kaya-oon.

Walau semua kasus intinya bermuara pada pesan yang sama, “We should stop setting the universal standard for being a so-called SMART/SUCCESS/ETC!”

film Thailand Terbaik Bad Genius
Para pemeran utama di film Bad Genius (gambar : mid-day.com)

Generasi setelah kita mungkin lebih beruntung. Era digital menawarkan banyak alternatif profesi yang menjanjikan yang tidak melulu berurusan dengan ijazah sekolah formal .

Anak-anak kalian yang laki-laki pada pengin jadi -Dan TDM- gak, sih? ??

Bad-Genius juga memperkuat pesan Gandhi, “Poverty is the worst form of violance.”

Sementara di negara-negara berkembang di kebanyakan wilayah Asia yang penduduknya segabruk itu masih seputaran korupsi birokrasi yang sangat kronis *lingkaranSetan*.

Peralihan karakter tokoh Bank juga membuktikan bahwa value yang ditanamkan secara kuat dalam internal keluarga akan seberapa kuat sih menghadapi tekanan lingkungan? .

“Even if you don’t cheat, life cheats on you anyway.” — Lynn, Bad Genius (2017)

Makanya kaaaaannn “It takes a village to raise our youngs”.

Dalam buku Tipping Point ada hasil penelitian bahwa anak dari keluarga broken home yang dibesarkan dalam lingkungan baik-baik LEBIH SELAMAT daripada anak dari keluarga baik-baik yang dibesarkan dalam broken society.

Tapi ingat teori bandul ya, jaga keseimbangan agar selalu di tengah. Jangan juga ujug-ujug berpikir semua anak-anak kudu cuek sama rengking-rengkingan segala macam. Maksudnya bukan begituuuuuu.

Ini bisa panjaaaaannggg ceritanya . Sudah pernah saya bahas di tulisan “Battle Hymn of The Asian Parents”.

All in all, film Bad-Genius menjabarkan pesan dari Socrates, ““An education obtained by money is worse than no education at all”.

Filmnya menghibur banget, kok. Karakter Lynn yang kuat, Bank yang “menukik”, Grace yang culun tapi jujur (sukak banget sama pemerannya yang cantik manis manja , Pat yang rada tengil tapi setia kawan.

It’s going to worth your 2 hours 10 minutes time lah pokoknya mah .

Selamat menonton … minimal trailernya dulu laaaahhhh ???.

Ada rekomendasi film thailand terbaik selain yang Bad Genius ini?

Inside Out : How a Child Deals With The Emotion(s)

Ini anak bungsu saya, he turned 3 this year.

review film inside out

Itu kenapa ngambek? Karena kami memintanya untuk berfoto tanpa nyengir untuk keperluan pasfoto.

He was my-selfie-buddy since he was born . Kalau difoto, oleh emaknya dia sudah terbiasa diajarin ekspresif dengan cengiran super gantengnya itu lhoooooo hihihihi.

Makanya dia sangat kesal mengapa dia tidak boleh tersenyum sedikit saja.

Sebagai balasannya, dia pasang tampang manyun begitu hahaha.

Ya tapi anak-anak sih gitu, dipeluk sedikit, dibecandai sebentar, dia sudah lupa dan langsung ceria lagi.

Sudah terpikir mau menulis soal ini waktu seorang teman posting soal buku cerita anak-anak yang menurutnya enggak apa-apa ada cerita sedihnya. Anak-anak juga perlu merasa sedih.

Yang langsung saya ingat adalah film INSIDE OUT, salah satu film animasi terbaik menurut saya.

Film Inside Out tidak asal bikin. Film ini berdasarkan teori dan pengamatan oleh pakar psikologi yang menjadi bagian dari tim produksi.

[Spoiler alert !!!]

review film inside out
Gambar : imdb.com

 

Sebenarnya, ada 6 emosi yang dikenali secara universal pada tiap manusia : Happiness, Sadness, Anger, Fear, Disgust, dan Surprise. Tapi Suprise tidak muncul di film INSIDE OUT.

Film ini bercerita tentang Riley, anak perempuan usia 11 tahun yang “struggle” saat harus berpindah tempat tinggal. Meninggalkan teman-teman dan segala macam di tempat yang lama, buat yang gede-gede kayak kita saja bisa baper yes? Apalagi anak-anak.

Yang suaminya suka gatel pindah kerja sana sini mana suaranyaaaaaaa .

Tapi fokus film justru bukan pada Riley. Fokusnya ke Joy (Happiness), Sadness, Anger, Fear, dan Disgust. Kelima tokoh emosi yang ada pada diri Riley.

Joy yang menjadi narator di sepanjang film. Hanya ada Joy yang menemani di hari kelahiran Riley. Sebagai penggambaran bahwa Happiness (Joy), emosi pertama yang dimiliki manusia dan satu-satunya emosi yang ada hingga usia tertentu.

Lalu mulailah Joy memperkenalkan kita kepada Anger, Fear, Disgust, dan tugas mereka masing-masing. Joy cukup lincah menjelaskan peranan ketiga emosi ini, tapi gagal mengenali peran Sadness.

Mereka berlima selalu berkumpul dalam semacam ruang kontrol untuk mengawasi Riley. Sebuah meja yang berisi banyak tombol ada di tengah ruangan yang DIKENDALIKAN SEPENUHNYA oleh Joy.

Secara khusus terlihat Joy ekstra hati-hati terhadap Sadness. Sadness nyenggol bola-bola memori sedikiiiiittt saja, Joy langsung panik.

Kita bisa lihat SADNESS ini memang spesial. Hanya Sadness yang bisa mengubah warna dari bola-bola memori tadi.

Yang unik, bola-bola memori Riley selama ini memiliki satu warna saja yang mewakili satu emosi yang dirasakannya.

Di usia-usia peralihan seperti Riley, digambarkan bagaimana Joy mati-matian berusaha mengendalikan Sadness yang makin hari makin kelihatan pengin tampil.

Anak-anak memang lebih banyak dikuasai kebahagiaan. Itulah mungkin mengapa ada jargon, “Ingin rasanya kembali ke masa kecil.”

Seolah hanya ada kebahagiaan demi kebahagiaan di masa kanak-kanak dulu no matter where we are . Padahal secara emosi ya memang begitulah adanya hehehe.

Makanya, saya termasuk tim yang menolak cerita sedih-sedih buat anak-anak di bawah 10 tahun. Bukan waktunya .

Kenyataan bahwa ada banyak kesedihan yang terjadi di sekitar mereka itu MEMANG BENAR. But emotionally, mereka belum bisa benar-benar terhubung secara “baik dan benar” dengan si SADNESS ini.

Santai saja. Pada masanya nanti, pertarungan emosi PASTI akan terjadi. Di kasus Riley mungkin karena pindah tempat tinggal. Tapi secara umum, masa-masa pra abege ini adalah periode perkembangan emosi yang lumayan pesat yang akan terjadi pada tiap anak.

Klimaks filmnya ya di sini. Hebohnya emosi-emosi dalam diri Riley saat banyak guncangan terjadi pada kenangan masa kecil yang digambarkan dengan core memory bola-bola emas yang terhubung ke pulau-pulau memori utama.

Bagaimana Joy memimpin perjuangan jatuh bangun mempertahankannya.

Akhirnya, satu persatu pulau-pulau kenangan itu MEMANG HARUS RUNTUH. Berganti dengan core memory lain yang lebih berwarna.

Sejak Joy akhirnya bisa melihat dan menerima bahwa SADNESS punya peranan penting agar Riley bisa melewati saat-saat terberatnya, Riley mulai memproduksi bola-bola memori yang multiwarna .

Joy, dalam situasi bagaimana pun, pada waktunya, harus berbagi tombol kendali dengan emosi-emosi yang lainnya.

Kelihatan kan bedanya ruang kontrol emosi antara orang dewasa dan anak-anak via INSIDE OUT. Tombol papan di Riley dikuasai oleh JOY. Sementara di orang dewasa, TIAP EMOSI PUNYA PAPAN PANEL MASING-MASING.

Kalian harus nonton deh film ini .

Katanya sih ada sekuelnya di tahun 2019 nanti. Can’t wait, can’t wait .

Tapi Dear Aimar, kalau bikin pasfoto memang mukanya sebisa mungkin lempeng enggak boleh ada happy-happynya sama sekali ya, Sayaaaaanggggg hihihihi.

Naaaahhh ini baru beneeeerrrrr :D.