The Seven Good Years

“Kakak Perempuanku yang Hilang”, salah satu tulisan berkesan dari buku memoar ini.

Penasaran, yes?

Setelah membaca 2-3 kalimat di awal tulisan jadi paham “hilang”nya bagaimana. Kakak perempuan penulis bergabung dengan sekte ultra-ortodoks Yahudi dan tiba-tiba berganti penampilan dan kebiasaan hidup terutama setelah menikah.

Kaum perempuan biasanya menggunakan baju panjang yang menutup kepala hingga mata kaki, yang laki-laki tiba-tiba berjenggot dan “menghilang” dari pergaulan menghabiskan banyak waktu untuk berdoa dan berkumpul dengan “sesama mereka” dst dst.

Langsung merasa relate dengan kisah ini. Teringat fenomena “hijrah” di tanah air yang juga membuat saya juga merasa “kehilangan beberapa teman terdekat” .

the seven good years review buku Indonesia
Perempuan dari kelompok ultra-orthodoks Yahudi sedang membaca ( Gambar : dailymail.co.uk)

 

Mirip banget yah deskripsi “kembali ke agama” ala Yahudi-Ortodoks dengan tradisi “hijrah” edisi muslim terkini, setidaknya di tanah air kita.

The Seven Good Years, kumpulan tulisan seorang penulis Yahudi yang tinggal dan bermukim di Israel.

Bukan kisah-kisah parenting. Melainkan pengalaman-pengalaman ringan yang dihadapinya dalam rentang waktu 7 tahtun pertama kehidupannya setelah memiliki anak laki-laki, Lev.

Dari tulisan Keret, terbayang betapa sebenarnya semua pihak sama menderita dan tersiksanya akibat warisan kebencian yang turun temurun selama ratusan tahun ini .

Sebagai seorang Yahudi, seringkali Keret merasa tertekan dan penuh curiga saat berada di Eropa.

Di sebuah pub, Keret pernah terlibat perkelahian dengan seorang Jerman yang sedang mabuk hanya karena salah dengar. Prasangka buruk Keret mengira laki-laki tersebut sedang menghina orang Yahudi tapi ternyata TIDAK sama sekali.

Sekali lagi, cuma salah dengar.

Keret juga sering bertukar cerita dengan teman sesama Yahudi-nya tentang ketakutan-ketakutan mereka jika kelak dunia akan kembali dipenuhi semangat anti-Semit. Bagaimana mereka akan menabung sebanyak mungkin agar bisa lari ke tempat yang aman dan nyaman.

Bagaimana ritual mereka untuk tetap membuat sang anak nyaman saat bunyi sirine tanda bahaya berbunyi saat mereka lagi mengendara di jalan. Di Israel hal seperti ini sangat umum.

Sirine tanda bahaya bisa tiba-tiba berbunyi dan semua orang harus tiarap dan bom pun jatuh berdentum, entah di mana. Bisa dekat, bisa jauh.

Keret juga merasa sangat tidak nyaman saat berada di taman bermain dan mendapati ibu-ibu saling bertanya, “Apakah anakmu kelak akan jadi tentara?”

Ternyata, pembicaraan semacam ini sangat biasa di Israel.

Israel, satu diantara sedikit sekali negara di dunia yang memiliki aturan WAJIB MILITER bagi seluruh warga negara baik laki-laki dan perempuan.

Beberapa tulisan juga membahas mengenai asal usul orang tua Keret yang berasal dari Polandia. Bagaimana kedua orang tuanya terusir dari sana pasca melewati hari-hari yang berat di masa Jerman-Nazi menyerbu ke negara-negara tetangganya termasuk Polandia.

Dari tulisan-tulisan ringan ini juga kita mendapatkan informasi mengenai hari-hari suci umat Yahudi seperti Yom Kippur dan Sabat.

Ada juga catatan ringan mengenai perdebatan Keret, istrinya, anak mereka dan ibu Keret tentang game Angry Birds hehehe.

Keret menyesalkan sikap ayahnya yang dianggapnya terpenjara dengan cerita turun temurun mengenai kebencian. Keret ingin kita semua lebih proaktif menciptakan masa depan yang lebih cerah, alih-alih mengenang masa lalu yang sudah usang.

Keret salah satu penulis Israel yang giat mengkritisi pendudukan Israel di tanah Palestina. Karena keberpihakannya pada perdamaian di tanah konflik Timur Tengah, Keret lumayan bisa diterima di negeri-negeri mayoritas muslim. Pernah diundang ke Bali segala, lho .

We need to read something like this. Melihat dari sisi lain. Banyak miripnya ajaran Yahudi dengan Islam secara agama.

Etgar Keret (gambar : huffingtonpost.com)

 

Misalnya ada kosher, daging/makanan halal versi Yahudi. Kosher ini oleh sebagian ulama Eropa dianggap HALAL pula buat kaum muslim .

Kembali ke tulisan “Kakak Perempuanku yang Hilang”, Keret menunjukkan satu pesan penting. Meski didera ketakutan mengenai perubahan ekstrim yang terjadi bagi orang-orang yang dianggap “hilang”, Keret punya sudut pandang sendiri.

Menurut Keret, “Aku tidak punya Tuhan, tetapi kakakku punya, dan aku mencintainya, jadi aku mencoba untuk menunjukkan hormat.”

Di masa-masa frustrasi saat ditinggal pergi oleh gadis pujaan hatinya, Keret mendatangi kakaknya di pemukiman Ortodoks. Keret memohon kakaknya untuk mendoakan agar gadis tersebut kembali kepada Keret.

Kakaknya bilang tidak bisa, itu bukan doa yang benar. Tapi kakaknya berjanji akan berdoa setiap hari agar kelak Keret bertemu perempuan lain yang akan membuatnya bahagia.

Sepuluh tahun kemudian, itu benar terjadi. Keret percaya, doa kakaknya telah dikabulkan Tuhan.

We can still love and respect each other terutama dengan orang-orang terdekat kita pasca “perubahan”.

Terlepas dari prasangka dan ketakutan (yang mungkin sebagian besar tidak perlu atau karena tidak paham saja), kita masih bisa berkasih sayang dalam perbedaan .

Semoga lebih banyak orang-orang seperti Keret atau siapa pun yang berupaya untuk berbicara lebih kencang mengenai perdamaian dalam permusuhan panjang di konflik Israel-Palestina.

Saling berbagi apa yang dirasakan, apa yang dilewati, dari sudut pandang masing-masing. Surprisingly, banyak persamaan yang bisa didapatkan.

Siapa pun bisa bersuara yang sejalan, seperti saintis Albert Einstein sekali pun yang pernah berujar, “Peace cannot be kept by force; it can only be achieved by understanding.”

Saling memahami adalah koentji ???.