Please Be Careful With Your Heart ;)

“Pulang, Bang! Gila ini, sih. Sudah kacau banget. Pulang aja mendingan.” Saya ngomong di telepon ke suami sambil melotot melihat tayangan berita di televisi.

“Apaan sih? Baru jam segini. Iya, entar pulang. Jam 5 kayak biasa.”

“Wah, kacau, kacau! Pokoknya pulang. Coba nonton berita! Sekarang!”

Terus saya menonton berita lagi dengan khusyuk. Kerusuhan di beberapa tempat sampai ada korbann tembak segala. Makin tidak tenang karena suami kagak pulang juga *pijetKening*.

Saya telepon lagi.

Karena jengkel suami ngomongnya mulai ketus, “Hadeeeeeh, mending sana jalan-jalan ke luar gih. Kayak orang gila aja. Atau intipin di jendela ada ribut-ribut, gak?”

Oiyaaa, kenapa enggak kepikiran ya? Hahahaha.

Hati-hati menjaga hati
Gambar : pixabay.com

 

Pertengahan tahun 2009, saat tensi ketegangan Iran dengan US dkk lagi hot-hotnya, saya menyusul suami ke Teheran, Iran. Saya sendiri sudah berantem duluan dengan suami di telepon hahaha. Maklum waktu itu masih cupu soal gini-ginian.

Beberapa hari setelah saya mendarat di Bandara Internasional Imam Khomeini, Pilpres Iran 2009 berlangsung tanggal 12 Juni 2009. Pertama kali merantau kena tipu agen pula (hahaha), masalah politik internal Iran membuat situasi kami makin tidak terbayang .

Kemenangan Ahmadinejad memang memicu ketegangan dari pihak lawan. Ada demo-demo memang. Tapi yaela, di Al Jazeera-BBC-CNN beritainnya di Teheran udah kayak perang!

Tololnya, SAYA tuh ya, yang jelas-jelas tinggal di apartemen di salah satu area jantung kota Teheran, bisa-bisanya lebih percaya berita ketimbang mata saya sendiri! Hahahaha *toyorKepalaSendiri*.

Ketika saya sudah berhasil menguasai ketakutan, akal sehat mulai mengalir kembali. Barulah saya membuka jendela kaca yang menguasai seluruh dinding ruang tengah yang mengarah ke arah jalan raya.

Krik, krik, krik, kerusuhan apaan cobak. Kehidupan berlangsung dengan normal. Saya melongokkan kepala dengan takut-takut. Soalnya kami tinggalnya di lantai 4 apa 5 gitu. Melihat jauh ke arah jalanan besar di perempatan sana, Vanaak Street. Ya memang enggak ada apa-apa, sih.

Mana reporternya berbicara dengan suara terengah-engah gimanaaaaaa gitu. Jadi pengin nyodorin air putih hahaha. Iya, sekarang ketawa lo! Padahal waktu nonton juga ketakutan setengah mati minta segera pulang ke Jakarta saat itu juga! Zzz -_-.

Bareng si sulung yang masih setahun hehehe (Teheran, 2009)

 

Akhirnya saya bertahan di Disney-Channel aja nemenin anak sulung saya yang waktu itu usianya masih setahun nonton Barney dan Thomas hihihi.

Sambil sibuk menenangkan keluarga dan teman-teman yang terus memborbardir kami dengan email dan pesan, “Eh, gimana di sana? Baik-baik aja, kan? Udah ngeri gitu.”

Tempo hari membaca tulisan Kang Maulana, saya fokus pada  beliau yang khawatir dengan salah satu kerabatnya yang memiliki tingkat pendidikan mumpuni yang terjebak dengan berita-berita hoaks.

Lucunya, kerabat tersebut punya grup WA yang isinya kalangan akademisi semua. Mereka asyik saling memposting berita-berita hoaks penuh kebencian terhadap orang/kalangan tertentu.

Fenomena yang mengagetkan. Padahal kerabatnya kalau meriksa tugas mahasiswa galaknya minta ampun memeriksa sumber tulisan bla bla bla. Kok bisa malah percaya begitu saja tanpa klarifikasi dengan hoaks yang sumpah masuk akalnya enggak kira-kira?

Benarkah pengaruh HOAX tergantung tingkat pendidikan dan kecerdasan bahkan pergaulan?

Tet toooooooooot.

Tidak ada hubungannya!

Saya juga baru sadar kok setelah mengingat-ingat KETOLOLAN saya pas di Teheran tahun 2009 silam itu hahahaha.

Kurang bodoh apa, ada orang yang bercerita betapa hancurnya kota X terus kita terpengaruh begitu saja. Padahal kita TINGGAL di KOTA X!! *tutupMuka*.

Kita paling sering dimanipulasi oleh ketakutan kita sendiri. Sejak awal, saya sudah memelihara penyakit hati masalah Iran ini.

Sebelum berangkat, saya sudah mules-mules membaca berita soal Iran. Makanya pas mendarat dan naik taksi ke apartemen saya benar-benar kaget pas melihat betapa cantiknya Kota Teheran. Padahal suami saya sudah sering cerita via telepon .

Saya kurang menyimak. Karena ya itu, fokus pada prasangka buruk yang berujung ketakutan. Dari takut jadi marah, marah jadi benci. Begitu seterusnya. Persis seperti kata Yoda, dia lagi dia lagi hahaha. Gak ada quote lain apa, Ceu? .

Gambar : pixabay.com

 

Padahal sudah diperingatkan ya kita oleh ayat-ayat suci. Jangan dipelihara itu penyakit hati. Makin dipiara makin ditambahkan kadarnya. Terus bertumbuh. Hingga akhirnya kita sendiri yang menjadi korban, bahkan lebih jauh, mengorbankan orang lain karena kita dengan giatnya menyebarkan kebencian itu.

Sebenarnya membenci sesuatu ya wajar. Memangnya situ malaikat yang hatinya seputih kapas hihihi.

Cuma kontrolnya yang harus kita jaga. Karena membenci vs menyebarkan kebencian JELAS 2 hal yang BERBEDA.

Jadi kalau mau jujur, produsen/pembuat/penggiat/atau siapa pun yang hobinya bikin hoax (hihihi) BUKAN satu-satunya penyebab penyebaran berita hoax.

Ibarat kata, bensinnya sudah tercecer duluan. Sisa-sisa bensin yang tidak pernah bersih ya tinggal dipercikkan api sedikit ya langsung membesar apinya.

Coba saja, kalau kita tidak memelihara penyakit hati, mau dikasih berita apa saja, akal sehat kita seharusnya akan “bekerja” dengan baik.

Taman Sai di Teheran, Iran (gambar : panoramio.com, by Behrooz Rezvani)

 

Kalau sudah ada benih-benihnya -terus menerus dipiara- pula, dapat berita paling konyol sekali pun, jika itu memuaskan pohon kebencian/kecurigaan yang dipupuk dalam hati ya pasti kita otomatis percaya. Refleks aja gitu .

Memang susah dilawan. Mungkin bisa dimulai dari langkah kecil ini, kalau tidak suka sama orang/sesuatu/apa pun, hindari! That’s the best way, hindari saja dulu. Mau berita bagus berita jelek, cuekin!

Jangan berusaha mencari-cari kesalahan apalagi sengaja nge-like akun/fanpage yang hobi menyebarkan kesalahan orang/sesuatu/apa pun yang kita tidak suka.

Bertahan saja. Coba beberapa bulan. Lama-lama kita jadi sadar, tanpa kita ngapa-ngapain pun ya dunia tidak akan hancur kok hahaha. Kita sering merasa kita harus ikut share/membagikan pesan atas nama kebaikan/rasa waspada bla bla bla.

Itu kamuflase saja. Sebenarnya kalau melakukan hal itu, kita ya sedang menyuapi ego kita sendiri. Beuh, apalagi kalau pakai alasan bela agama. Padahal yang kita turuti ya hawa nafsu sendiri saja.

Don’t worry, kita bisa kok menyembuhkan penyakit hati ini. Penyakit beginian kontrolnya 100% ADA PADA DIRI SENDIRI ;).

Omong kosong kalau terasa diri lebih bahagia kalau amarah dan kebencian terus dipelihara dalam hati. Mau pakai alasan agama? Tuhan mana itu yang memerintahkan hal-hal begitu?

Plesetin sedikit judul lagu lawas, “Please be careful with your heart” <3. Jadi hati-hati menjaga hati, ya :).

Hati-hati menjaga hati
gambar: pixabay.com
9 comments
  1. Setujuh Jiiii, ini kutambahin yang dari ayat alkitab (nambahin yg bagus gapapa kan ya, anggap aja tambahan referensi macam di daftar pustaka gituh) , Amsal 4 :23 Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.

    1. Terima kasih tambahannya, Dear ^_^. Btw, masih senang-senang di UK kah? 😀

      1. hahaha ampe akhir agustus Ji, menghitung hari ini, udah nyiapin diri dan anak anak biar reverse culture shocknya kagak parah parah amat (liat temen yg pulang tahun lalu masih belum bisa move on hahahaha).

  2. Jadi parno gitu ya?
    Sedikit-sedikit kriminalisasi bla..bla..bla…
    Perasaan terbakar terus jadinya wkwkwk

    1. Itu emang defaultnya benci sih hehehe. Jadi salah terus 😀

  3. Suka dgn pertanyaan:
    “Benarkah pengaruh HOAX tergantung tingkat pendidikan, kecerdasan bahkan pergaulan?” ?

    1. Udah lihat semuanya kok. Yang gaul share hoax ada, yang pendidikan tinggi share hoax lebih banyak lagi hihihihi. Yang tergolong cerdas di kampus ya kena juga 😀

  4. Btw Kang Maulana knp nih ka ji?

    1. Ya itu, Kang Maulana pusing lihat kerabatnya suka share hoax hihihi

Comments are closed.