Wanita … (Bukan Lagi) Perhiasan Sangkar Madu

Blusukan ke news feed di Facebook barusan menghasilkan kesimpulan : ada 2 topik ala emak-emak yang lagi ramai hihihi.

Politik istirahat dulu yaaaaa, lagi gak mood nih bahas politik hahaha :p.

Topik 1 : heboh soal melahirkan via SC. Ini gara-gara ada seorang bapak-bapak yang terekdungces banget komentarnya soal SC. Tapi pas ngecek di blog, waduh, belum pernah dibahas topik ini. Jadi lewati dulu :D.

Topik 2 : heboh Post Partum Depression. Menangkap kekhawatiran beberapa teman, saya cukup sejalan. Jangan-jangan nih pada enggak bisa bedain antara baby blues vs Post Partum Depression :D.

Nah yang ini lebih pas. Karena sudah pernah dibahas di blog hihihi. Jadi mari kita buka dengan share link ini :p

Baca : “Baby Blues Pasca Melahirkan”

Baby Blues / Post Partum Blues sebenarnya bukan hal baru. Tapi bersyukurlah dengan era yang terus berlari dan maraknya informasi maka kesadaran tentang kondisi ini sudah mulai banyak dirasakan oleh ibu-ibu :).

Karena jujur, saya enggak gitu paham soal Baby Blues ini pasca melahirkan anak pertama. Jadilah waktu kena Baby Blues ya enggak nyadar dan malah takut dan bingung.

Gambar : pixabay.com
Gambar : pixabay.com

Kok rasanya macam perempuan terkutuk ya? Abis lahiran kok malah galau? 9 bulan jungkir balik, malah jelang-jelang anak lahir sibuk belanja sana sini dengan perasaan gegap gempita kok begitu lahir malah jadi berasa kayak mau gila gini? Ada apa dengan saya? huhuhu.

Terus, curhatnya ke tempat yang “salah” pula. Ealah, malah dinasihati panjang lebar. Itu katanya karena kurang bersyukur, iman lemah, terlalu manja, minta diperhatiin, dsb. Disuruh merenung soal kehidupan orang miskin yang enggak bisa beli susu buat anak sendiri, kehidupan para janda dsb. Apa hubungannya ya? -_-.

Walah, makin stres dah hahaha.

Saya terus terang enggak berani cerita ke suami. Jadi ya saya simpan sendiri saja. Malam-malam saya terbangun, saya injak-injak popok anak saya di kamar mandi sambil nangis-nangis. Itu suami pules aja hahaha, padahal pintu kamar mandi dekat tempat tidur.

Saya terselamatkan karena akhirnya saya memutuskan cepat-cepat masuk kerja lagi! Untunglah saya cepat menguasai diri walau saya tetap tidak paham ini gejala apa.

Cutinya saya pangkas. Sampai-sampai teman-teman kantor bingung kenapa saya cepat banget masuk kantor lagi hihihi. TIdak ada yang benar-benar ingat jadwal cuti saya kecuali HR. Saya berbohong ke suami, bohong ke mertua, bohong ke Pak Bos sekaligus hahahaha.

Yang lucu, mbak sekretaris divisi menghampiri saya di meja dan bertanya, “Jee, mau gue urusin biar cuti lo diperpanjang?”

Saya menjawab panik, “Jangan, jangan Mbak!” Hahaha.

Gambar : huffingtonpost.com
Gambar : huffingtonpost.com

Alhamdulillah, pas masuk kerja, lebih tenang :p. Mulai kerja lagi kayak biasa ketemu teman-teman lagi, tidur normal lagi karena sudah ada baby sitter (hihihi).

Minggu pertama masuk kerja, begitu mobil keluar dari halaman rumah dan saya tentunya harus buka kaca dan pura-pura melambaikan tangan ke anak bayi dengan akting murung depan mertua, padahal dalam hati saya malah lega banget, “Yes, I’m free!” –> mamak durhaka! 😀

Anak kedua masih baby blues. Tapi sudah ada pengalaman dan saya sudah tahu, “Everything will be over.” Somehow, walau masih malas googling, saya sudah merasa “rasa mellow dan gampang mengamuk” pasca melahirkan itu adalah hal yang wajar.

Pasti akan lewat. Jadilah sebentar aja baby bluesnya pas anak ke-2.

Anak ke-3? Alhamdulillah sampai sekarang, hasilnya negatif hihihi. Artinya, tidak kena baby blues seujung kuku pun tongue emoticon. Iyalah, untuk kelahiran ke-3 ini, kami mengimpor Mama langsung dari Jakarta hahahaha.

Suami saya kayaknya kapok! Dia yang maksa-maksa biar Mama datang menemani saya :D.

Well, happy ending buat semua pihak, ya. Termasuk Mama saya. Saya terharu lho pas Mama sempat bilang, “Seumur-umur gak nyangka bakal bisa ke Eropa. Dulu berdoanya buat anak-anak saja yang bisa ke luar negeri.”

Saya lebih rileks sih emang. Selain karena memang sudah pengalaman ke-3, support systemnya sudah “dipersiapkan”. Dan berbekal yang dulu-dulu, dari jauh-jauh hari sudah sering berdiskusi panjang lebar dengan suami.

Saya sudah lebih berani menyuarakan isi hati. Tentu saja sudah disertai kesadaran penuh soal “kewajaran” kondisi Baby Blues ini. Suami disiapkan, diri sendiri disiapkan.

Itulah mungkin mengapa susahnya ya boooo menurunkan berat badan sekarang ini dibanding kehamilan 1 & 2. Dulu-dulu tuh, sebulan abis melahirkan, semua lemak lenyap tak bersisa :D. Pasti pada sirik kan lo, padahal cepat kurusnya lebih karena stres hahaha.

Sekarang nih? Butuh 5 bulan buat balik ke berat badan sebelum hamil hahahaha. Ini juga sekarang kudu ditambah ekstra olahraga untuk nendangin sisa-sisa lemaknya. Terima kasih Kayla Itsines dan Blogilates, jadi bisa ngegym di rumah dengan gratis dan nyaman hihihi.

Sekarang malah kalap pengin berat badan ada di kepala 4 lagi *benerinMatras*.

Gambar : pixabay.com
Gambar : pixabay.com

Yah jadi perempuan memang kadang serba salah, ya. Diharapkan ini itu dan mudah sekali mendapat tudingan sana sini. Disuruh harus kuat buat anak-anak tapi kita pada dasarnya ya serba baper hihihi.

Begtu ada kaum perempuan nunjukin kekuatan dikit aja langsung dihakimi, “Perempuan tuh ya kodrat sebenarnya tuh kudu …nganu, nganu, nganu”

Kalau nangis tapi dibilang cengeng dan dituduh hendak memanipulasi.

Kalau kita protes minta “kesetaraan” langsung disindir, “Perempuan banyak maunya. Minta dimengerti lah minta ini lah minta itu lah. Lebay!”

Sekarang saya jadi paham tuh sebuah quote yang pernah dipopulerkan oleh seorang teman (laki-laki lho padahal) di kampus di milis angkatan kami, “Hanya wanita yang mengerti wanita.” Hahaha :p

Pengaruh hormon saat kita menghadapi berbagai situasi “istimewa” memang tak bisa dihindari. Entah saat menstruasi yang datangnya malah bulanan ;), saat perubahan tubuh di awal kehamilan, dan kembali tubuh kita beradaptasi selepas melahirkan.

Mungkin justru di situ letak kekuatan spesial kita? Apaan tuh? Ah, sudah pernah ditulis panjang lebar di sindang, baca lagi dong  –> “In Her Shoes” 

Bersyukurlah kita, perempuan, hidup di era yang tidak lagi terlalu timpang memandang masalah antara perempuan dan laki-laki. Satu generasi di atas kita saja, generasi ibu-ibu kita, masih terasa benar bedanya, kan?

Ibu saya masih enggak paham-paham juga kalau dijelasin soal Baby Blues ini hehehe :p.

Hm, masih merasa ingin kembali ke masa lalu? Masih merasa kecanggihan teknologi hanya menawarkan efek negatif saja? ;).

***

5 comments
  1. kalo ibu2 kita kok gak percaya ya sama yg namanya baby blues?! pasti bilangnya manja lah, kurang bersyukur lah, dll 🙁 apa jaman dulu emang gak ada yang ngerasain baby blues?

  2. Kayanya istri saya dulu gak pernah mengalami baby blues, deh. Atau saya yang gak tahu ya??? Yang jelas istri saya jadinya susah utk menurunkan berat badan seperti Mbak Jihan… 😆

    1. Hahahaha. Bisa jadi enggak tahu. Memang normalnya hilang sendiri kok :). Di Indonesia, kebanyakan masih takut mau mengakut. Takut dituduh macam-acam hihi. Padahal baby blues itu GEJALA NORMAL ^_^

  3. Hai Mbak Jihan, Salam kenal lagi, saya yang email kemarin 🙂
    Kalau membaca tentang Baby Blues ini, suka pengen nanya ke Ibu apakah dulu mengalami juga trus cara menanganinya bagaimana. Kok nampaknya kalem2 aja, jangan2 mendem njero kata orang Jawa. Padahal kalau dipendem sendiri yang lebih bahaya ya, kayak bom waktu gitu ga tau meledaknya kapan. Thanks Mbak sudah sharing pengalamannya, bisa belajar dari pengalaman yang pernah mengalami *duh, kok mbulet ya kata2ku 😀

  4. Aku kok gak merasa bb ya mba…
    Apa gak nyadar ya…
    Santai2 aja gitu.
    Emang pas lahiran ibu n mertua diimpor dari kampung. Jadi kerjaan nya dirumah menyusui anak doang ma makan 🙂 .
    Malah pas harus masuk kerja sedihnya bukan main.

    Udah lama gak nengok blog nya, ternyata dah anak ke-3. Selamat ya mba

Comments are closed.