Spot The “Light” on Spotlight ;)

Oscar best picture this year : SPOTLIGHT. Congratulation ^_^.

Gambar : crosscut.com
Gambar : crosscut.com

Wah, ini film yang relevan banget dengan salah satu isu di medsos tanah air yang lagi hot-hotnya. Coba nonton trailernya di youtube deh ;).

Saya sungguh berharap orang-orang bisa secara JELAS dan TERANG membedakan isu pedofilia vs isu LGBT. Untuk urusan pedofilia atau perihal kekerasan apa pun kepada anak-anak (enggak peduli siapa pelakunya), saya percaya KITA SEMUA SATU SUARA.

Nih, film Spotlight tentang isu kekerasan terhadap anak di Amerika Serikat, negara yang kalian benci banget itu terkait urusan LGBT :p.

Justru di negara-negara berkembanglah perlindungan terhadap anak-anak ini sangat memprihatinkan :(. Pemaksaan pernikahan di usia dini bagi anak-anak perempuan misalnya :(.

Ini seperti pedang bermata dua. Karena ibu saya adalah salah satu korbannya hehehe. Tapi gimana ya, walau beliau menceritakan dengan santai dan legowo saya tahu pasti… dulu menikahnya dipaksa! :'(. And there was no way she could say NO.

Gambar : malaysiaedition.net
Gambar : malaysiaedition.net

Walau kini terdengar lucu mendengar cerita Ibu bagaimana dulu beliau “melawan” sebisanya, tetap saja saya sedih :'(.

Belum lagi segabruk-gabruk anak-anak (bahkan bayi-bayi) yang beredar di jalanan di depan mata kita sehari-hari.

Anw, film ini tentang child molestation yang terjadi di ruang lingkup sebuah gereja Katolik lokal. Salah satu ujaran di trailernya yang cukup menggelitik, “How do you say NO to God?”

Dari wallnya Narpati nih tentang review film SPOTLIGHT. Dapat 2 tulisan bagus ini :

Review Spotlight : A Great Paean to Powerful Journalism That Breaking Omerta (tenang ini judulnya aja yang “ngeri”, isinya bahasa Indonesia kok hahahaha :p).

Mencari Rumah Ibadah yang Aman

Penasaran jadi emang dari pagi googling film ini terus hehehe. Penasaran dengan topiknya yang sensitif tapi kok rasanya minim kontroversi (untuk versi film ya)

Ternyata memang filmnya disajikan dengan halus dan ala-ala jurnalis banget. Lah ya memang filmnya tentang jurnalis, ya. Cara penyampaiannnya sangat “tenang” hingga orang bisa fokus ke masalah intinya.

Saya baru nyadar kalau isunya memang serius. Kasus di Bostonnya pun (di tahun 2001) ternyata memicu pengungkapan isu yang sama di berbagai Gereja Katolik di berbagai belahan dunia.

Tapi saya jadi mikir lagi, apa ini karena yang terkait adalah agama Katolik yang umumnya mayoritas di negara-negara “maju”? Entah hukum alam apa gimana, makin “sejahtera” sebuah negara makin meningkat ke”atheis”annya. Makanya isunya jadi, mengutip komentar dari

Kalau kejadian di agama Islam kira-kira gimana ya?

Gambar : atheistrepublic.com
Gambar : atheistrepublic.com

Tapi pernah diskusi serius dengan suami. Kalau menurut suami, hard to tell. Karena belum ada negara mayoritas Islam yang bisa mencapai “kesejahteraan” ala-ala negara-negara “barat”. Walau memang ada pihak-pihak yang memuja-muja beberapa bagian di Timur Tengah sebagai perwakilan negara sejahtera ala Islam. Iya, negara sejahtera buat gajinya gede hahahahaha :p. It’s simply a fact, jangan sensi ;).

Kalau umat kristiani tampaknya sudah mulai “meninggalkan” sentimen seperti ini. Umat Islam masih “gini-gini” saja :p. Di tanah air kita sendiri, seperti misalnya maraknya teori konspirasi yang mengiringi para “tokoh saleh/salehah” yang sedang terjerat urusan hukum.

Selalu trauma deh sama teori-teori konspirasi hahaha. It’s tiring yet unuseful.

Belum lagi konspirasi akan melibatkan “racun” penting yang namanya prasangka. Sementara alquran sudah mengingatkan, “Sesungguhnya prasangka tak sedikit pun memberimu kebenaran.”

Bagian “bermain-main dengan prasangka” itulah mungkin yang dihindari dalam penanganan kasus Gereja-Boston ini, baik di dunia nyata maupun di filmnya sendiri. Justru itu bukan fungsi utama jurnalistik? Menyampaikan data dan informasi bukan “menghasut” atau “mengarahkan” audiens/pembaca/penonton.

Bagian hasut-hasutan sama buzzer-buzzeran itu kasih ajalah ke kami-kami para blogger ini hahahaha. Para blogger menulis atas nama pribadi jadi kami tidak punya keterikatan secara profesional dengan institusi mana pun.

Walau kadang perih juga kalau menunjukkan sikap politik yang buat orang terlihat membabi buta pasti langsung kena tuduhan, “Dibayar berapa sih?” Hahahaha. Etapi memang ada job-job yang berbayar sih, gimana dong ya hahahaha lagi aja dah :p.

Sebagai pembaca ya kita memang bukan orang jurnalis. Saya pun sering berat sebelah menilai berita. Misalnya tempo hari, saya marah banget dengan penembakan Paris jadi saya “memaafkan” sebuah headline berita di media mainstream, yang menurut teman-teman lain yang juga mantan jurnalis, sedang melakukan framing. Sempat eyel-eyelan di wallnya Mas Iqbal nih :D. Baru nyadar belakangan jadi saya buru-buru kabur hahahaha.

Ini memang eranya instan sih, ya. Bukan cuma mi atau makanan instan lain yang diburu-buru. Berita pun kudu instan-instan hihihihi. Seperti media juga yang akhirnya ketularan kepengin mendapatkan perhatian dengan cara instan.

Dibikin dah tuh judul-judul provokatif macam, yang saya bilang di kasus penembakan Paris tadi, “Teroris menembaki penonton konser seperti menembaki burung.” –> ini media mainstream lho!

Kalau media-media nganu-nganu kan bisa kita pahami. Kalau ada yang terperangkan sama media-media nganu ya saya enggak nyalahin medianya sih :p.

Tapi media mainstream pun sekarang hobi bener berlebay-lebay ria demi memborong jumlah klik/like/share di dunia maya.

Sudahlah judulnya simeleketehe, isi beritanya pun cuma seucrit. Itu juga orang pun masih banyak yang hanya mentok di judul tidak baca isi hihihihi.

Makanya enggak heran, dikit-dikit histeris, dikit-dikit histeris. Seringkali jadi tidak fokus dengan permasalahan. Fokusnya ke orang per orang. Entah fokus ke si pelaku entah si korban. Jadinya bisa berefek ke kebencian personal. Ish, saya juga sering terjebak kayak gini hahaha *tutupMuka*.

Saya kutip dari tulisan pertama yang saya share linknya di atas itu :

“Itu sebabnya, karakter Marty Baron menolak untuk mengangkat cerita yang hanya mengupas para pastur pedofil. Baginya, mereka juga bagian dari korban, meski tim Spotlight mengajukan fakta tentang puluhan pastur yang melakukan tindak pelecehan seksual.

“ We’re going after the system,” jelas Marty yang menegaskan bahwa mereka tidak berniat menyudutkan perorangan.”

Ya belajar banyak memang dari fenomena film Spotlight ini. Untung menang Oscar ya, jadi saya ikutan kepo deh hihihi.

Saya tipe yang percaya apa pun bentuk konspirasi di dunia itu pada dasarnya urusan manusia per manusia. Bagaimana masing-masing dari kita berusaha keras menaklukkan sifat-sifat dasar manusia yang diantaranya memang cenderung ingin menang sendiri- rakus-angkuh yang sudah saya rangkum juga di tulisan 7even Sins tempo hari 😉

Kita sendiri, orang per orang, yang harus melawan konspirasi itu. Bukannya terus menerus merasa menjadi korban, malas mencari akar masalah dan menyudahi semua kekhawatiran dengan slogan, “Ini pasti konspirasi!”

Have a nice monday, readers ;). Sudah tahu mau nyari download-an mana dari film-film yang merajai Oscar tahun ini? Hihihihi :p.

***