(Never) Judge a Book by Its Cover

“I can’t find halawa here. Do you know where I can find one?” Saya bertanya sesopan mungkin pada seorang wanita arab di sebelah saya. Kami berdua sedang berada dalam supermarket. Sibuk berbelanja di rak yang sama.

Dia bengong sebentar, nampak tidak mengerti.

 

Baiklah. Mari berbahasa arab. Saya gelagapan karena bisanya cuma pas-pasan, “Halawa, halawa. Ummm…sukkar. Fen halawa? Ma’alish, mafi arabic.”

Barulah dia mengangguk-angguk. Dia menjelaskan dengan bahasa arab sambil tangannya sibuk mengarahkan. Saya mengangguk-angguk kecil padahal sebenarnya “Sumpah, gue gak ngarti.” Hehehehehe.

Saya akhirnya memilih pergi saja. Tiba-tiba dia kembali memanggil, saya menengok.

Dia seperti penasaran, “Filipino? Malayzi?”

“Indonezi.”

Main sama bocah di Corniche - Jeddah, 2012
Main sama bocah di Corniche – Jeddah, 2012

Matanya membesar sambil menepuk bahu saya. “Indonezi? Speak English? Masya Allah!”

Yup, begitulah (mungkin) pandangan sebagian besar orang-orang di Jeddah terhadap perempuan Indonesia. Seorang perempuan Indonesia yang bisa berbahasa Inggris (apalagi tidak bisa berbahasa Arab) akan dianggap sesuatu yang istimewa.

Setidaknya saya sudah kenyang banget dengan pengalaman, “You Indonezi? Speak English? Masya Allah!”

Pengalaman saya tidak terbatas kepada perempuan-perempuan arab yang ternyata banyak juga yang tidak fasih berbahasa inggris. Tapi pengalaman persis pernah saya dapatkan saat berobat ke bagian emergency rumah sakit Bugshan.

Dokternya adalah laki-laki yang sangat ramah dan sopan, asalnya dari Mesir. O ya, katanya sebagian besar dokter di Saudi memang berasal dari Mesir.

Kami sudah mengobrol dengan akrab selama hampir setengah jam dalam bahasa inggris. Mungkin Pak Dokter berusaha mencairkan suasana. Dia pasti melihat jelas kalau saya ketakutan dan gemetar padahal cuma operasi kecil saja di bagian jari tangan :P.

Dia kaget sekali ketika saya bilang saya dari Indonesia. Sedari tadi dia berpikir saya orang Filipina atau Malaysia. Secara fisik, memang terdapat banyak kemiripan antara kita dan kedua negara tetangga tersebut.

Sudah pakemnya di Jeddah, perempuan yang bisa berbahasa Inggris itu PASTI dari Filipina atau Malaysia. Perempuan Indonesia? Harusnya lancar berbahasa Arab dan profesi mereka pastilah TKW :). Diskriminatif? Tidak juga. Ini lebih karena kondisi lingkungan.

***

Meskipun saya tidak punya data akuratnya, tapi terlihat jelas bahwa sebagian besar perempuan Indonesia yang datang ke Saudi berprofesi sebagai TKW. Menguasai sektor domestik, pekerja rumah tangga atau pengasuh anak.

Memangnya yang dari Filipina enggak ada? Malaysia? Bangladesh? Pakistan?

 

Filipina memang ada. Banyak juga jumlahnya. Tapiiiii…mereka mendominasi di beberapa sektor formal. Saya nyaris tak pernah bertemu suster yang berkebangsaan BUKAN Filipina di rumah sakit besar di Jeddah.

Admin-admin rumah sakit pun didominasi oleh mereka. Dari petugas lab, petugas apotik, hingga customer service. Perempuan Indonesia ada juga. Tapi kebanyakan menjadi petugas kebersihan.

Malaysia? Jangan sirik. Tak ada TKW Malaysia di sini. Ditambah lagi, menurut suami, tenaga kerja laki-lakinya datang rata-rata dengan status mohandis (engineer). Jadi, para madam asal Malaysia, bisa dipastikan istri mohandis (atau di atasnya mohandis) :P.

Ketambahan lagi mereka rata-rata fasih berbahasa Inggris, bahasa kedua di Negeri Jiran tersebut.

corniche weekend

Bangladesh konon tidak mengirimkan TKW secara legal. Pakistan juga. Tapi ada juga perempuan asal negara-negara tetangga India yang bekerja di sektor domestik. Kemungkinan tidak legal dan jumlahnya terbatas.

Saya tidak marah kepada para TKW. Hormat saya setinggi-tingginya kepada perempuan-perempuan luar biasa ini :). Saya berdiri di barisan penentang moratorium.

Menurut saya pribadi, pemerintah yang gagal melindungi mereka di sini. Tak kuasa menyediakan lapangan kerja di tanah air tapi melarang mereka mencari rezeki di negeri orang.

Tidak seperti Filipina. Negara tetangga satu ini mungkin paham betul kekurangan mereka untuk menghidupi seluruh rakyatnya.

Mereka dengan sigap membaca kesempatan di luar negeri, mengirimkan warganya, tak lupa memberikan jaminan dan perlindungan penuh beserta keterampilan yang mumpuni.

Ketika masa melahirkan, saya menggunakan jasa seorang bibik asal Madura. Dia pernah menunjukkan dengan bangga foto anaknya mengenakan seragam SMP.

Dengan riang dia berujar, “Saya yang ngongkosin dia bisa sekolah setinggi ini, Ning.”

Proud of you, Mbak :). (Ning, sebutan untuk Neng dalam bahasa Madura. Bener gak sih? :D).

***

‘Posisi’ saya cukup diper’sulit’ oleh penampilan fisik suami. Biarpun perawakannya tidak sebesar orang-orang Arab pada umumnya, tapi tingginya mencapai 180 cm. Hidungnya tidak pesek, berjanggut, dan berkumis. Pasrah deh, (mungkin) akan sering disangka “TKW yang sukses menikahi majikan arabnya.” Ahahahahahaha.

Misalnya di masjidil haram. Sebagian besar petugas kebersihan di sana perempuan Indonesia, lho ;). Mereka bercadar semua soalnya.

Anak sulung saya adalah fotokopi bapaknya. Rambut kecoklatan, kulit kuning langsat cerah, hidung tidak pesek, dan ‘berangasan’ kayak anak-anak kecil arab ihihihihihihi.

Seperti biasa ya, eyke paling enggak tahan kalau enggak hosip-hosip :P. Jadilah, suka mengobrol juga dengan para petugas kebersihan di Haram. Ketika asyik mengobrol, ada yang pernah berkata :

“Kamu dapat orang sini, ya?” (Mereka suka berkamu-kamu ke kita, jangan tersinggung hehehe).

“Ha?”

“Itu anaknya arab begitu.”

“Bukan, bukan. Suamiku orang Indonesia juga, Mbak.”

“Oooohhh…”

Tapi entahlah apa yang ada di pikirannya waktu melihat suami saya datang ke arah saya :P. Otak saya yang suudzon berpikir, mungkin dalam hati dia gondok, “Dasar tukang bohong. Suaminya memang orang Arab. Malu kali ketahuan kawin ama majikannya.”

Ahahahahaha. Cukur jenggotmu, Baaaaaaaannngggg.

***

Meng-upgrade penampilan mungkin cukup menolong.

Manusia memang tak mudah lepas dari stigma sosial. Saya pun dulu berpikir perempuan Saudi pasti congkaknya minta ampun. Sampai akhirnya saya berobat dan dapatnya dokter perempuan.

Kata suami, melihat namanya, dia pasti orang Saudi asli. Mungkin saja. Penampilannya bercadar pula. Biasanya perempuan arab berkebangsaan lain tidak banyak yang bercadar.

Masya Allah. Dokternya sangat ramah. Padahal saya sudah berburuk sangka ketika dia menanyakan kebangsaan kami. Saya sudah pasrah, begitu bilang orang Indonesia, pasti dia langsung gimanaaa gitu. Ternyata enggak, lho. Baik banget.

Beliau dokter kulit. Dengan sopan, dia meneliti sela-sela jari saya yang kena semacam kudis (tutup muka menahan malu :P). Dia menjelaskan panjang lebar, kalau mungkin kulit saya sensitif. Menyarankan menggunakan sarung tangan.

Saya bertanya, “Is this contagious?”

Dia menggeleng-geleng sambil tersenyum. I can see thru her eyes :).

Saya iseng mengusap-usapkan tangan saya ke suami. Suami langusng menghindar. Dia jijik gitu memang hihihihihi. Kami berdua cekikikan di depannya. Dan Ibu Dokter pun malah ikut tertawa-tawa, mudah-mudahan enggak kapok kedatangan pasutri gila ini :P.

Saya selalu berprasangka perempuan arab asli Saudi sombongnya minta ampun. Kaku. Apalagi jika menghadapi ‘kasta rendah’ macam perempuan Indonesia, yang datang membawa penyakit kulit di sela-sela jarinya (ketauan kan di rumah kerjanya kalau gak cuci piring ya ngepel, ahahahahaha).

Salah satu foto bersama teman-teman di Jeddah, 2012
Salah satu foto bersama teman-teman di Jeddah, 2012 (6 orang diantaranya sudah hengkang dari Jeddah hehe)

***

Sedihnya, stigma yang sama juga datang dari jemaah haji asal Indonesia. Mungkin tidak semuanya. Tapi heran juga, “Kenapa gue melulu deh yang kenaaaaaa”. Padahal rasanya pas masih di Jakarta, tampang eyke beda-beda tipis dengan artis ibukota (dilihat dari monas mungkin? :P).

Sewaktu Ibu saya datang umrah dengan membawa puluhan buku-buku “Bunda of Arabia”, saya sudah siap mental melakukan direct marketing.

Penuh percaya diri mengajak suami ke Masjid Apung di Corniche. Mantap menyambangi para jemaah haji asal Indonesia yang bisa dipastikan absen ke sana tiap ke Jeddah.

“Permisi Bu, mau beli buku “Bunda of Arabia”? Isinya tentang pengalaman ibu-ibu Indonesia yang tinggal di Jeddah.”

Sebagian ada yang tertarik dan mendekat. Melihat-lihat sampul sambil berkata, “Kok bisa keluar rumah?”

“Bisa dong, Bu.”

“Ooohh, dapat libur juga, ya. Baik majikannya, ya.”

Huhuhuhuhu. Ini padahal sudah pakai kacamata hitam yang trendy punya, lho *langsungLemes*.

Terus dong, mereka enggak beli! Sibuk berempati tidak jelas. Jadi, saya pindah ke grup lainnya. Dimulai dengan kalimat yang sama.

Kali ini dijawab dengan, “Ikut suami apa bagaimana, Mbak?”

Wah, ada harapan, pikir saya. “Ikut suami, Bu.”

“KOk bisa ya bawa istri? Katanya susah, lho. Kemarin saya diceritain supir taksi katanya susah bawa istri.”

Belum sempat jawab, temannya menyambar, “Ada yang bisa kali. Kan tergantung majikan. Supir kan juga macam-macam.”

Siyaaaalllll. Ahahahahahaha. Sekali itu saja saya nekat ke Masjid Apung. Suami terus sibuk membujuk, katanya latihan mental. Atau kata dia, “Pinjam abaya ibu-ibu lain kali. Kamu, sih, abayanya kumel gitu.” Hehehehe.

Di Masjidil Haram juga anak saya pernah dikasih uang oleh salah satu jemaah perempuan asal Indonesia. “Belajar yang rajin. Ingat kerja keras Ibu.” Ihiiyyyy, kerja keras Ibu :P.

Etapi dapat rezeki kok sakit hati. Senang malah :). Syukran katsiran doanya, Bu :).

***

Tentu saja, hidup itu intinya belajar. Mengambil hikmah dari tiap pengalaman. Biarpun tidak sepenuhnya marah dan sakit hati, setidaknya saya belajar kalau diperlakukan seperti itu rasanya tidak menyenangkan.

Then, don’t do that to others! :).

Toh, ternyata perempuan-perempuan arab banyak yang menyenangkan. Ketika hajian kemarin satu tenda dikepung perempuan arab semua, rasanya kayak keluarga. Mereka sopan dan ramah.

Perempuan asli Saudi ternyata ada juga yang menyenangkan. Pakai cadar tapi bisa berbicara dengan bahasa yang jelas. Tadinya saya suka mengeluh kalau berhadapan dengan perempuan bercadar yang ngomongnya kayak kumur-kumur.

Bukan cadarnya, tapi cara berbicara tiap orang yang berbeda.

Urusan upgrade penampilan bukan hal yang sulit buat saya. Kalau mau, segala merek bisa dibeli (suami langsung stres, ahahahahahaha). Sombong amat sih, lu :P. Serius iniiihhh. Penghasilan sebagai ekspat engineer di Jeddah tidak sedikit. Tanpa pajak pula.

pengalaman di Jeddah
Kumpul-kumpul di salah satu rumah teman di Jeddah, 2011 😀

Tapi, jangan lupa pepatah salah satu orang terkaya di dunia, Warren Buffet, “Manusia yang membuat barang.” Jangan sampai kita yang didikte oleh barang. Saya tak pernah sudi dinilai berdasarkan apa yang menempel di badan saya :).

Therefore, saya pun tak pernah menimbang-nimbang lawan bicara saya berdasarkan ‘harga’ di sekujur tubuhnya ;).

Sebagai muslim, kita percaya bahwa Allah sudah menetapkan parameter kesempurnaan tiap insan :“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)

Lagipula, sebuah pepatah mengatakan, “Kalau Anda hanya menilai orang lain hanya dari penampilan (atau suku bangsa :P), Anda akan kehilangan banyak kesempatan bertemu orang-orang hebat.”

Tapi ada juga sih, orang hebat bukan, penampilan dekil iya *tunjuk diri sendiri* hahaha.

***

2 comments
  1. Masya Allah.. sebegitunya. Kalau saya yang ngalamin pasti udah di ubun-ubun lalu merengut seharian 😀

    1. Masa sih? Kalau sudah di sana ya jadi biasa aja sih 😀

Comments are closed.