Naik Haji Itu …

Beberapa waktu lalu Kementerian Agama RI mengeluarkan pernyataan mengenai penurunan biaya haji tahun ini. Patut kita apresiasi langkah Kemenag. Dengan melorotnya nilai tukar rupiah (dan juga euro!! –> numpang curcol hahahahaha) terhadap USD, Kemenag masih bisa mencari cara mengefisienkan ongkos naik haji.

Penjelasan mengapa bisa murah dari segi teknis bisa dibaca di sini –> “Penjelasan Menag soal turunnya BPIH” https://www.facebook.com/KementerianAgamaRI/posts/10153012128157928:0

Jangan lupa LIKE page Kemenag ya (itu di awal saya mention pagenya ^_^) untuk informasi-informasi seputar Kementrian Agama :D.

Oh ya Kemenag juga berkeinginan mengatur soal kuota dan pembatasan ketat bagi mereka yang sebelumnya sudah pernah naik haji. Salah satu yang kontra dengan kebijakan ini mengambil sudut pandang –> “Naik Haji kan itu masalah takdir. Bukan urusan manusia.”

Ah, tidak juga. Pemerintah Arab Saudi pun secara ketat mengatur kuota haji bagi para mukimin Saudi. Sejak awal 2000-an, hanya boleh 5 tahun sekali. Tadinya bebas-bebas saja. Makin membludaknya jamaah mau tak mau membuat pemerintah Saudi harus mengambil langkah ini.

Istilah “Haji Koboi” pun menjadi marak. Sewaktu di Jeddah, saya menyaksikan sendiri beberapa pihak menganggap ritual “Haji Koboi” ini menjadi semacam petualangan gitu. Seru katanya kejar-kejaran sama petugas, gelar tenda sendiri, ngumpet kalau ada penjagaan. Kalau ketangkap dikiranya bukan negara yang ikut menanggung beban apa ya?

Pantas saja, seorang teman yang di KJRI Jeddah langsung pening melihat salah satu tayangan film soal naik haji (enggak enak mau sebut judul) yang menurutnya ada indikasi ngajarin orang-orang di tanah air untuk “nekat” tidak jelas. Baru indikasi doang, saya enggak nonton filmnya sih hehehe.

KJRI patut pusing lah. Kalau jemaah ketangkap yang kena getahnya kan mereka lagi. Tidak cukup energi untuk mengurusi peliknya masalah tenaga kerja informal di Arab Saudi, harus pula ketambahan kerjaan dengan orang-orang nekat begini. Saban ada hukuman mati untuk TKW misalnya, mereka lagi yang menjadi sasaran tembak warga di tanah air. Yang kadang ngerti masalahnya enggak, tapi bacotnya paling silet hahahaha.

Nah, bayangin kalau banyak yang terinspirasi oleh tayangan atau buku atau apalah dan nekat ke tanah suci dengan cara ilegal. Siap-siap lagi KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah ketiban kerjaan. KJRI Jeddah sih ya terutama. Riyadh jauh dari tanah suci soalnya tongue emoticon.

Masalahnya, kadang bukan karena keterbatasan ongkos atau kuota. But in the name of the adventure squint emoticon. Please lah, boleh ndak pilih tujuan wisata lain untuk berpetualangan. Jangan pas naik haji. Umrah mungkin masih masuk akal. Naik haji kan ada waktu-waktu khusus. Menginap di Mina serentak, wukut serentak, bagi yang naik haji via Saudi, tawaf wada pun menjadi semacam ujian nyali.

Untung saya kemaren mendapat ‘pertolongan’ khusus. Malam hari sebelum tawaf wada keesokannya, saya datang bulan. Suami tawaf wada sendiri saja, datang sempoyongan setelah mengitar Ka’bah 4 jam malam itu! Gimana kalau saya dan anak saya (anak kedua waktu itu kami bawa usianya masih 18 bulan) ikut bersamanya waktu itu?

Waktu tawaf ifada saja lumayan ‘drama’ soalnya :D. Cerita lengkap naik haji via Jeddah ala Mamah Poni bareng suami dan si kecil ada di buku “Memoar of Jeddah : How Can I not love Jeddah?” :D. Bab paling panjang hahaha. Sudah pada baca? :p.

Kami kira kami sudah terlambat menuju bus. Malam itu juga harus balik ke Jeddah. Suami sudah teler tetap harus membawa kami menembus pelataran Masjidil Haram yang sudah sesak oleh lautan manusia untuk mengejar bus menuju Kudai. Bangga bener deh sama suami perkasa satu ini <3.

Tiba di Kudai, ealah, kami rombongan pertama yang tiba. Menjelang subuh baru berdatangan satu persatu. Pak Supir sudah ketiduran. Menangis, euy, melihat satu persatu datang tertatih-tatih gitu. Hajjan Mabruran insya Allah, saudara saudariku :).

Bisa bayangin kalau tidak ada pembatasan kuota? Kami saja yang cuma harus melewati 6 hari perjalanan haji karena bertolak dari Jeddah tidak sedikit mengalami kesulitan dikarenakan membludaknya jemaah, apalagi yang jauh-jauh datang dari luar negeri.

Di situlah mungkin Allah mencoba mengajarkan kepada kita makna “Naik Haji cukup sekali saja” :). Itu pun bagi yang “mampu”. Mampu dari berbagai segi. Tidak hanya materi, tapi waktu dan kondisi fisik. Tidak hanya bagi sang jemaah pribadi tapi bagi kerabat handai taulan yang ditinggalkan tidak boleh diabaikan begitu saja.

Bagi yang tidak mampu, kewajibannya otomatis terhapus. Dan bagi yang mampu menolong mereka yang belum berhaji tapi kesulitan materi misalnya, bisa bayangkan segimana pahalanya? ;).

Termasuk kebesaran hati untuk mengalah. Walau kita tahu kita mampu berangkat naik haji untuk kedua kalinya, tapi kita harus ingat, ada kuota yang membatasi :).

Berat juga memang. Apalagi kalau tinggal di Saudi. Terlebih lagi tinggal di Jeddah. Jeddah-Makkah enggak nyampe sejam! ^_^. Duh, tiap tahun pengin wukuf, deh, kalau bisa hehehe.

Saat-saat terberat sebelum final exit di King Abdul Aziz International Airport ya waktu mengunjungi tanah suci untuk terakhir kalinya. Waktu itu, visa umrah masih ‘ditutup’, tanah suci sepi banget. Kami mengitari Mina, Musdalifah, Arafah, dan melihat menara lontar jumrah dari jauh. Melihat nomor tenda kami di Mina, nangis-nangis lah pastinya hehehe. Terbayang semua kenangan naik haji.

Seindah-indahnya memori ritual haji, seingin-inginnya mengulang semua sekali lagi, sebesar-besarnya rasa ingin memenuhi panggilan Allah untuk kesekian kalinya, tak boleh kita lupakan… bahwa sejatinya ibadah naik haji tidak hanya mengajarkan tentang ibadah “vertikal” tapi sekaligus menyadari kewajiban memelihara ibadah “horisontal” yang menyertainya :).

2 comments
  1. kirain kalau di Jeddah jadi tiap tahun berhaji mak….

    1. Gak boleh Mak. Kena aturan hanya boleh 5 tahun sekali :D. Kecuali haji koboi yang ilegal itu hehe.

Comments are closed.