A Dealer in Hope

Kereta berhenti di stasiun Manggarai, saya cepat-cepat ikut turun. Baju basah kuyup. Jilbab sampai terlepas. Mana naik keretanya pagi itu sendiri saja.

What a day :(.

Badan lagi enggak enak. Enggak tahu kenapa. Padahal biasanya juga ‘bertarung’ naik KRL ekonomi pagi dengan perut kosong. Sarapannya nanti di Stasiun Cikini hehe.

Turun di Manggarai karena sudah enggak kuat. Beberapa hari terakhir itu juga sebenarnya memang sudah meniatkan untuk berpindah ke KRL Express. Biarlah harganya jauh lebih mahal dan berhentinya juga tidak tepat di depan gedung kantor yang lokasinya persis di seberang Stasiun Cikini.

Beberapa teman yang tadinya bareng naik KRL Ekonomi sudah hengkang duluan ke KRL Express. Jadi mupeng juga hihihihi.

KRL Ekonomi Bogor - Stasiun Kota (gambar : lipsus.kompas.com)
KRL Ekonomi Bogor – Stasiun Kota (gambar : lipsus.kompas.com)

Saya juga sudah mulai terpikir untuk pindah kos karena dipanas-panasin teman kantor. “Duh, udah kerja masih ngekos di deket kampus. Udah punya duit sendiri, dinikmati dong. Kos-kosan dekat sini banyak, lho. Nanti juga enggak umpel-umpelan di kereta.”

Iming-iming yang cukup menggoda, “Tempat tidurnya spring bed!” Hahahaha.

Setelah bekerja sebenarnya saya sudah pindah kos sekali. Dari kukusan kelurahan pindah ke Gang Kapuk di Margonda :D. Biar tidak khawatir kalau pulang malam. Margonda kan ramai terus sampai tengah malam. Begitu deh kalau jomblo, makan..makan sendiri, pulang…pulang sendiri :v.

Duduk-duduk di peron menunggu kereta berikutnya setelah sempat beli gorengan dan teh botol. Sementara sedang membayangkan akan pindah kosan atau minimal beralih ke KRL Express demi kehidupan yang lebih ‘elit’, mata saya tertuju ke tembok di seberang stasiun.

Banyak kotak kardus besar-besar. Saya pikir tempat sampah. Eh, tahu-tahu kardus bagian depannya bergerak-gerak.Eya ampun, itu pintu! 4 anak kecil berlarian keluar. Diantara mereka sudah ada yang usia sekolah. Ngapain sepagi itu malah main-main enggak ke sekolah :(.

Saya bengong sebentar. Itu tumpukan kardus kayaknya kecil saja tapi di dalamnya bisa muat begitu banyak orang. Luput dari pandangan saya selama ini padahal tiap hari kan pasti lewat Stasiun Manggarai ini. Ulu hati langsung nyeri. Teguran pertama dari Tuhan :).

Tidak sampai di situ, saya alihkan pandangan ke kiri kanan lobi peron. Tak jauh dari tempat saya duduk, ada sekumpulan anak kecil lagi. Usianya sudah di atas 5 tahun semua. Duduk berkerumun di atas lantai peron yang kotor. Saya berdiri dan pura-pura menghampiri penjual nasi uduk yang ada di dekat mereka. Ternyata … anak-anak yang jumlahnya mungkin sekitar 4-5 orang itu lagi makan nasi bareng-bareng. Nasinya cuma sebungkus, yang makan segitu banyak!

Saya duduk lagi. Sudah terasa badan yang tadinya tidak enak sudah tak begitu mengganggu. Teguran pamungkas berasal dari tangisan anak perempuan yang lagi meraung-raung sambil berguling di lantai peron yang sama.

Padahal ibunya ada tak jauh darinya. Saya agak kesal juga. Ibunya lagi membungkus-bungkus makanan. Sepertinya penjual pecel. Kan bisa saja anaknya dipangku biar tidak menangis. Pas dilihat dari dekat, ternyata ibu itu membungkus makanan sambil menyusui anaknya yang bayi. Dari jauh tidak kelihatan.

Teh botol yang tersisa beberapa teguk rasanya langsung pahit. Astagfirullah. Diperingatkan habis-habisan sama Tuhan. Masih disayang artinya ya ;).

Gambar : sesawi.net
Gambar : sesawi.net

Keinginan untuk pindah kos ke tempat yang lebih ‘elit’ atau hengkang ke KRL Express menguap begitu saja. Sebenarnya tidak itu saja yang membuat semuanya jadi cetek. Saya mulai terpikir untuk mengurangi jatah uang pada adik atau mama saya. Soalnya saya pikir ya saya berhak dong untuk hidup enak-enak. Saya kerja sudah cukup lama ya masa uangnya hanya untuk mereka. Kapan giliran saya?

Padahal selama ini rasanya hepi-hepi saja naik KRL Ekonomi. KRL Ekonomi itu beda dengan commuter line ya kalau saya liat gambarnya di Google hihihi. Commuter line sekilas mirip dengan KRL Express. CMIIW.

Sebelum-sebelumnya juga tidur di atas kasur busa di kosan juga enggak ada masalah. Kira-kira kenapa ya?

Barulah saya ingat-ingat lagi, apa saja yang saya lakukan akhir-akhir itu.

Pertama, beberapa kali dalam seminggu terakhir saya ikut makan ke tempat-tempat ‘yang tidak biasa’.

Lagi sering makan di Pasaraya Manggarai atau ikut ke daerah Sabang, Menteng atau Kuningan. Makan di resto bagus-bagus hihihi. Saya mulai perhatikan rekan kantor dari bagian lain banyak yang makan di tempat-tempat begini. Saya harusnya juga bisa kalau mau.

Saya ikut bos berbelanja ke Pasaraya. Ada insiden beli underwear salah lihat harga. Habis teman-teman lain yang pergi bareng terlihat memborong. Saya cuma ambil satu. Mau pingsan pas di kasir diberitahu harganya di atas 100 ribu per helai! Alamak, antrian panjang, masa enggak jadi sih? Hahahaha. Katanya diskon 70%. Harga aslinya berapa dong *ngelapKeringat*.

Nah, pas di tempat-tempat keren kayak gitu mulai deh memperhatikan penampilan orang. Ish, kece-kece amat, yak. Mulai ngitung-ngitung lagi hihihi. Ah, gaji saya juga cukup-cukup sajalah rasanya. Merasa diri kumal banget euy ngeliat mbak-mbak seliweran dengan penampilan ‘wah’ :D.

Ya abeesss, selama ini makan siang dengan teman-teman IT yang isinya rata-rata laki semua! Hahaha. Makannya di pasar Cikini, di kantin parkiran Menteng Prada, kantin Golkar yang murah meriah, di warung-warung di bawah stasiun, di kantin belakang kantor atau sekalian di perempatan KFC yang jual sate (katanya rasanya enak karena campur asap knalpot) hahahaha :D.

Pasaraya Manggarai (gambar : streetdirectory.com)
Pasaraya Manggarai (gambar : streetdirectory.com)

Pelajaran penting di suatu pagi di Manggarai … urusan dunia, selalulah melihat ke bawah :). Dunia memang menyilaukan. Fitrahnya sudah begitu. Pintar-pintar kita membentengi diri dari godaan.

Apalah gunanya naik KRL Express, pakai baju mahal-mahal, makan di tempat-tempat kece atau tidur diatas spring bed kalau sampai harus mengurangi kewajiban membantu kuliah adik dan membantu mama yang sudah menjanda tanpa penghasilan selama bertahun-tahun ;).

Alhamdulillah, hikmahnya belum lekang hingga kini. Apalagi masalah kasur :P. Waktu kecil dulu pun tidurnya pakai kasur tipis isi kapuk digelar di atas lantai ya nyenyak-nyenyak saja ^_^.

Again, tak boleh lupa kacang pada kulitnya :).

***

Saya saja, levelnya sesama rakyat, batin pasti memberontak kalau disuguhi langsung pemandangan macam di Manggarai itu. Apalagi jika terus-terusan melihatnya :(.

Melihat kemiskinan langsung di depan mata tentu berbeda rasanya.

Maka, saya merindukan pemimpin yang dekat dengan sebagian besar rakyat yang dipimpinnya :). Pemimpin yang tak hanya melihat dari laporan di atas berlembar-lembar kertas, mengintip sekilas dari balik kaca jendela mobil mewah, atau dari tayangan di layar televisi.

Blusukan adalah kewajiban tiap pemimpin. Untuk saya pribadi, empati itu adalah hal yang penting untuk pemimpin dengan kesenjangan ekonomi yang tinggi seperti di Indonesia kini. Pemimpin yang tak hanya lihai dengan kata-kata tapi mampu menggunakan mata batin dan hati untuk menyentuh rakyatnya.

Jokowi yang merakyat :)
Jokowi yang merakyat 🙂

Ya kalau seharian mainnya dengan sesama pejabat doang, ngobrol sama sesama pejabat tinggi terus, sibuk saja mengurus strategi ini itu, saya takut hatinya jadi tumpul :). Percayalah, melihat langsung itu sensasinya tidak akan sama.

Saya menginginkan pemimpin yang membangun jembatan untuk menghubungkan rakyat dan pejabat. Bukan mereka yang mendirikan tembok-tembok tinggi untuk membatasi pemimpin dan yang dipimpin.

Sekian lama kita hidup dalam paradigma bahwa bos besar itu ya memang tugasnya ngurusin hal yang besar-besar. Hal-hal besar selalu dimulai dari yang kecil-kecil ;).

Dari blusukan, pemimpin bisa melihat dengan perspektif lebih lengkap dan diharapkan lebih mudah memikirkan solusi. Blusukan ya pastinya tidak mudah dan akan sangat menguras tenaga, tapi hal itu ternyata mungkin-mungkin saja.

Jokowi membuktikannya :). Tak hanya untuk dirinya sendiri. Walau dicaci sebagai pencitraan, blusukan mendadak popular dan banyak diikuti oleh pemimpin daerah lain bahkan oleh mereka yang dulu menghinanya ;).

A leader is someone who DEMONSTRATES what’s possible (Mark Yarnell).

Mungkin karena saya memang mikirnya enggak muluk-muluk hehehe. Ya pemikiran emak-emak sensi nan ratu drama ya enggak kesampaian lah kalau disuruh mencerna visi misi tinggi-tinggi hahaha.

Kan saya sudah pernah bilang soal pendapat teman yang mengatakan kita cenderung memilih pemimpin yang setipe :D. Tipe-tipe yang enggak mikir susah-susah dan senang yang simpel-simpel macam Jokowi itu lebih cucok untuk yang pola berpikirnya malas ribet kayak saya hehe.

Saya lebih suka kalimat ini, “Leadership is not a position or a title, it is action and example” ;).

Terima kasih kepada Jokowi yang makin ke sini makin menunjukkan betapa mudahnya pilihan ini harus jatuh kepada beliau :).

Gambar : tribunnews.com
Gambar : tribunnews.com

Yakin 100%? Kepastian dan kebenaran kan katanya hanya milik Allah. Tugas kita adalah membersihkan hati dan akal serta terus menghidupkan harapan :).

Harapan akan perubahan untuk saya itu lebih condong kepada Jokowi. Semoga dimampukanNya ya, Pakde :).

As a leader is a dealer in hope -Napoleon Bonaparte

Untuk #IndonesiaBaru, Jokowi for RI-1. Salam damai ^_^

Salam 2 jari ^_^
Salam 2 jari ^_^

***

14 comments
  1. Salam 2 jari, mbak Jihan 😀 Salam kenal jg sekalian. Biasanya saya silent reader, tapi baru sekarang buka suara. Gara-gara Jokowi, nih. Hehehe…

    1. Salam 2 jari Mbak. Ingat tanggal 9 kudu nyoblos lho ya :P. Our suport doesn’t count, our vote does ^_^

      1. Iya 😀 Makanya saya males terlibat ‘perang’ di socmed. Karena yang dibutuhkan adalah vote-nya, bukan bertengkarnya 😛

        1. hahaahahaha, pinteeeerrrr *2jempol* 😀

  2. aku suka cerita ttg Manggarai nya, mbak.
    Suka Pak Jokowi juga.
    Salam 2 Jari 😉

    1. Salam 2 jari ^_^. Jangan lupa ikut nyoblos yak. Our support doesn’t count, our vote does ^_^

  3. uhuuukkk.. akhirnya, pesan sponsor keluar jugaaaa.. hahaha…
    neng poni, khusus untuk yang 1 ini, boleh ya kita beda? Aku punya pendapat sendiri soal blusukan. Menurutku, yang harus rajin blusukan itu pembantu presiden. Jadi presiden itu cukup duduk di belakang meja, sesekali turun ke bawah itu bagus, cuma ya jangan sering2. Lah kalo sering2, nanti pembantunya kerja apaan, dong? 🙂
    Lagian Indonesia ini besaaaarrrr! Rakyat banyak, problematikanya apalagi. Kalo presiden kebanyakan turun ke bawah, jangan2 nanti kebijakan2 yg kudu dibuat di atas meja jadi banyak yang terbengkalai. Waktu 5 tahun (atau bahkan 2 periode kepemimpinan) itu nggak akan cukup kalo cuma dihabiskan di ‘bawah’ jangan lupa ada hubungan dengan negara2 lain yang juga kudu dipikir.. 🙂
    Udah ah, salam damai ya. Akuh jangan di block, loh! Awas aja kalo berani. Kukirim rudal ke Athlone nanti! *keluar premannya*
    -dari Fitri, pemilih yg masih galau- 😆

    1. hahahahahha, terus terang eike paling sebel sama orang-orang yang mengaku galau tapi dalam hatinya sudah condong kepada salah satu calon tertentu :). It’s ok Dear, memang tidak mudah menghapus paradigma kalau presiden itu harusnya mikirin strategis, makro, bla bla bla :P. Itu memang benar … untuk negara-negara maju sekelas Eropa, Australia atau US! Nama baik di hadapan bangsa lain itu seharusnya dibangun dengan ketahanan bangsa sendiri dari dalam ;). Bukan adu keren-kerenan Presiden :D. Lihatlah Jepang! Pernah gak siih kita peduli siapa perdana menterinya? ;). Itu karena kita tahu etos kerja mereka yang luar biasa terlepas siapa pemimpinnya ^_^. Ngomong-ngomong dikau juga pastinya sudah tahu dong ya, kalau Jokowi sudah masuk majalah Globe. Pencitraannya sudah level internasional booooo hahahahhaha :P.

      1. Galaunya beneran masih galau, kok. Maksudku, iya udah ada kecondongan, cuma ya gitu lah. Yang ini ada plusnya, tapi yg ono juga ada plusnya. Yang ini ada minusnya, yang ono juga ada. Sebenernya bakal lebih seneng kalo ada pilihan ke3, sih. Hahaha, gayamuuuuu! Wong disuruh milih diantara 2 aja bingung, sok2an mau milih diantara 3!

        1. Hahahahhahaha, santai ajah say. Yang mana-mana yang menang toh ujung2nya harus kita dukung juga kan? 😉

  4. mba jihan, bagus sekali tulisanmu…
    duh perih banget ya tiap liat anak2 seperti itu.
    suka saya dengan peribahasa “jgn jadi kacang lupa kulitnya” tp yang sering ngingetin sih suami. Pernah ya sy makan pecel pagi2, trus murus2….sama suami diledekin, halah dulunya juga sarapan gorengan.
    Trus pernah juga ngeluh panas “Papah, ayuk pasang AC” trus diledekin halah…dulu atap rumahnya dari seng aja bahagia…kalo mau ke kamar mandi harus nimba air dulu dr sumur…hehehe, anak kampung nih mbak…rumahnya rumah panggung, sumbernya pake sumur. Naik turun tangga tiap hari sambil bawa ember penuh air pula.

    1. Bener ituuuuu hihihihi. Begitulah ‘dunia’ 😉

  5. dulu pernah denger dosen cerita, semakin ke atas tingkat manajemennya, maka masalah yang perlu diketahui adalah masalah secara makro karena masalah mikro diselesaikan oleh manajemen yg level lebih bawah. cuma aku setuju, blusukan juga penting karena saking banyak tingkatannya, masalah sebenarnya yg mau disampaikan malah jadi bias. jadi aspirasi dan yg nyampe juga beda dan kadang masyarakat itu hanya butuh didengar kok. syukur-syukur dari hasil obrolan bisa ada jalan keluar. ya kan?

  6. Salam kenal, Mbak Jihan… Sama spt Mbak Mirna yg ninggalin komen di atas, saya biasanya juga jd silent reader ehehe.. Tp kali ini memberanikan diri ngasih komen disini..
    Jujur saya terharu banget membaca artikel yg satu ini, cerita ttg anak-anak di Stasiun Manggarai yg kurang beruntung td..maupun opini Mbak soal Pak Jokowi.. saya speechless, Mbak.. dan dgn mata yg berkaca-kaca saya cuma bisa bilang setuju..SETUJU banget :’)

    Salam dua jariii 😀

Comments are closed.