Be a Lamp, or Lifeboard, or a Ladder

Florence Nightingale, “The Lady with The Lamp”, menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengabdi di dunia medis. Florence, salah satu tokoh peletak dasar dalam ilmu keperawatan modern .

Florence lahir dari keluarga sangat berada. Di masa itu, Eropa nyaris tidak mengenal kalangan menengah. Seringnya ya 2 golongan saja. Kalau enggak tajir mampus, berarti super miskin.

Florence dibesarkan dalam rumah besar, memiliki pelayan-pelayan, sering menghadiri pesta-pesta dansa ala bangsawan, keliling eropa pun pernah dijalaninya bersama keluarga besarnya. Lengkap dengan pelayan-pelayan yang setia mengiringi perjalanan mereka dalam sebuah karavan yang sangat besar.

Di masa remaja, Florence merasa tersentuh dengan kehidupan golongan bawah yang sering disaksikannya sendiri. Hatinya memberontak. Namun, seolah hidup dalam 2 dunia, Florence pun menikmati hura-hura abege ala kalangan ningrat di masa itu .

Untuk beberapa lama Florence sempat melupakan janji sucinya yang dituliskannya dalam buku harian di usia belasan dulu. Untuk mengabdikan hidupnya pada kemanusiaan. Larut dalam kesenangan dan pesta-pesta yang kerap dihadirinya.

Menjelang dewasa, Florence kembali gelisah. Dengan mata kepalanya sendiri dia sedih mendapati kenyataan bahwa saat itu pun bahkan agama seolah ‘melegalkan’ takdir bahwa memang Tuhan menginginkan sebagian orang untuk hidup sebegitu miskinnya.

Perempuan-perempuan dari golongan berada hidup dalam kemewahan luar bisa, memakai baju-baju rajutan bagus yang dijahit semalaman oleh perempuan-perempuan miskin. Yang mungkin harus mengorbankan waktu tidur malam mereka demi menyelesaikan gaun-gaun megah tersebut.

Florence bosan dengan hidupnya yang hanya menghabiskan waktu dengan pesta, atau duduk-duduk di depan perapian hampir sepanjang hari. Mengobrol hal-hal yang tidak penting dengan sesama teman-teman bangsawannya.

Saat itu, perempuan dari keluarga kaya tidak boleh bekerja. Yang boleh bekerja hanyalah perempuan-perempuan dari kalangan bawah saja. Niat Florence untuk bekerja membuat syok ibu dan kakak perempuannya.

Florence nekat bekerja (secara sukarela) di sebuah rumah sakit. Kondisi rumah sakit di masa-masa tersebut sangat mengenaskan. Kotor, jorok dan sangat ramai. Florence sangat tertekan diantara tekanan batinnya sendiri dan penolakan orang tuanya atas niatnya untuk mengabdi bagi masyarakat.

Bertahun-tahun Florence sakit keras karena menuruti permintaan keluarga besarnya dan mengubur mimpi sucinya. Hingga akhirnya ibunya merelakan Florence bergabung di sebuah komunitias gereja untuk mempelajari ilmu keperawatan.

Begitulah awalnya hingga akhirnya Florence meretas jalan mendirikan sekolah-sekolah perawat dan mengobarkan semangat agar perempuan-perempuan dari keluarga berada menyumbangkan tenaga mereka di dunia medis. Sekaligus melawan dominasi patrialikal yang sangat kental di Eropa zaman itu. Menumbangkan paham bahwa perempuan seharusnya duduk-duduk manis dalam rumah saja mengurus keluarga.

Ada 2 hal yang menyebabkan Florence hidup berselibat sepanjang hidup. Pertama, dia merasakan ini sebagai panggilan Tuhan. Kedua, Florence merasa dia tak akan sanggup membagi mimpi besarnya ini kepada siapa pun. Dia tak ingin berbagi beban kepada calon anak-anaknya kelak. Belum lagi situasi saat itu tak membiarkan perempuan kalangan atas meninggalkan anak-anak untuk alasan pengabdian pada masyarakat sekali pun.

perempuan mandiri
gambar : en.wikipedia.org

***

Beberapa tahun lalu seorang teman lama menghubungi melalui pesan singkat via ponsel.  Dari sapaan biasa tahu-tahu jadi curhat.

Dia seorang dokter. Menikah di usia muda sehingga saat meraih gelar dokternya, dia sudah memiliki 3 anak usia balita. Saya nyinyirin keinginannya untuk mengasuh anak saja dan melepas karier sebagai dokter.

Kenapa masuk kedokteran kalau kayak gitu? Di universitas negeri pula. Dia sudah merampas hak orang lain yang mungkin memang lebih cocok dan ingin mengabdikan hidup sebagai dokter.

Lama hubungan terputus, dia kembali curhat. Dia gelisah. Ternyata selama ini dia tidak enak pada keluarga besar dan kenalan yang menghujat niatnya untuk menjadi dokter karena harus banyak meninggalkan anak-anak di rumah dengan pengasuh atau asisten rumah tangga.

Padahal menurutnya, suaminya (yang bukan seorang dokter) sangat mendukung niatnya untuk terus berkarier di dunia medis. Ya saya langsung menyemangatinya bertubi-tubi!

Saya tegaskan padanya, saya ini seorang ibu rumah tangga yang memilih untuk di rumah daripada melanjutkan karier di kantor tidak karena perintah siapa pun. Suami saya saja tahu pasti kok, dia tak akan mungkin bisa memerintah saya berhenti ngantor hehehe.

Ini adalah keputusan saya pribadi. Tidak pernah setitik pun saya merasa saya keren saya hebat saya anu saya itu hanya karena dengan pendidikan mumpuni yang saya milliki saya malah memillih di rumah. Simpel. Wanita karier ternyata bukan panggilan jiwa saya, panggilan jiwanya berantem di fesbuk.

Saya semangati. Saya anjurkan untuk mencari pengasuh anak yang baik atau menitip pada kerabat lain anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Toh, dia mengaku tersiksa juga dan tidak benar-benar ikhlas melepaskan niatnya untuk mengabdi menjadi dokter.

Apa gunanya dia di rumah? Mana bisa membesarkan anak-anak dengan bahagia kalau siksaan batinnya seperti itu?

Alhamdulillah. Walau dia cerita susah sekali mencari beasiswa spesialis yang biayanya selangit itu dan harus bersaing dengan banyak dokter muda, dia akhirnya berhasil. I’m proud of you, my girl. Eike sudah bilang, tidak ada kata terlambat ).

Untuk 2 profesi khusus ini : pengajar dan dokter, saya tak pernah segan-segan meminta teman-teman perempuan saya untuk menguatkan hati dan meneruskan pengabdian untuk masyarakat. Niatnya harus benar tapi hehehe. Kecuali jika dengan ikhlas mereka memilih untuk ‘stay at home’ .

Saya ingat kata-kata Ibu Risma di Mata Najwa tempo hari, “Saya minta Tuhan yang menjaga anak-anak saya.” Saking sibuknya mengurus Surabaya, Ibu Risma mengaku, dia sampai tak punya waktu lagi untuk mengurus para buah hatinya. Aku padamulah Ibu Risma :).

perempuan mandiri
Gambar : indonesiaposnews.com

***

Saya yakin sekali, kita tidak diciptakan seragam. Termasuk kaum perempuan. Menjadi perempuan itu memang serba salah, ya .

Tekanan terbesar justru datang dari peer pressure. It really breaks my heart ketika tempo hari beredar sebuah gambar dengan kata-kata yang menusuk hati. Bahkan untuk saya yang seharusnya tidak perlu tersinggung dengan gambar tersebut.

Kata-katanya halus namun menghujam tepat di ulu hati. Tak heran setelah itu banyak teman-teman perempuan yang berpredikat ‘ibu kantoran’ curhat di status masing-masing hahaha.

Gambar tersebut menyindir ibu-ibu yang menitipkan pengasuhan anaknya kepada pengasuh anak / asisten RT dengan sebuah percakapan seorng anak dan ibunya. Sang anak digambarkan sedih karena sang ibu konon tidak rela menyerahkan perhiasan berharganya kepada para embak tapi menyerahkan pengasuhan anaknya kepada embak.

perempuan mandiri

Why do we have to judge each other? 🙁

Seharusnya kita, para perempuan yang kini sudah punya predikat tambahan sebagai ibu, saling menyemangati untuk menjadi versi terbaik dari diri kita masing-masing.

Daripada menghina mereka, ibu kantoran, yang tak sanggup memberikan ASI kepada buah hati, kita desak saja pemerintah untuk memberikan cuti setahun penuh kepada ibu-ibu bekerja yang baru melahirkan. Seperti di negara-negara maju gitu hehehe. Cuti setahun plus digaji pula. Asoy kan? 

Daripada meremehkan mereka yang lulusan PT ternama tapi memilih berada di rumah, kita desak pemerintah menyediakan internet cepat dan murah. Saya tahu pasti dan bergabung di banyak komunitas di mana isinya adalah stay at home Moms yang tetap aktif nyari duit via internet hihihihi. Blogger dan kuter mana suaranya? Hahaha.

Kita harusnya bersatu menyuarakan hak dan kepentingan kita kepada pemerintah. Bukannya malah perang sendiri dan saling mengobarkan propaganda yang menjatuhkan .

Ingatlah Florence Nightingale yang begitu sulit mendobrak dinding yang membatasi gerak perempuan di zamannya. Ingatlah Ibu Risma yang berbesar hati mengabdikan kemampuannya untuk masyarakat Surabaya lebih kepada baktinya untuk keluarganya sendiri.

Memangnya pengin ya, semua perempuan punya pikiran yang sama? Terus enggak akan ada dokter perempuan? Enggak boleh ada perawat perempuan? Dosen dan guru pun hanya boleh untuk laki-laki saja? Itukah yang kita inginkan?

Di masa sekarang, semua perempuan harusnya bisa menjalani peranan apa pun tanpa tekanan apa-apa . Asal ingat, niatnya harus benar . Kalau bekerja hanya untuk beli sepatu dan tas mahal karena suami enggak mau beliin ya gimana ya, hahahahhahaha *ngakakSambilMelet*.

***

Be a lamp, or a lifeboat, or a ladder.
Help someone`s soul heal.
Walk out of your house like a shepherd.

-Rumi-

Pick your own path. Yakini keputusan sendiri tanpa merasa perlu menghujat orang lain dengan pilihan yang berbeda.

Apakah memilih untuk menjadi stay at home mom, menghabiskan waktu lebih banyak di dapur, menenggelamkan hari dengan buku-buku, berkarier di kantor, mengabdi di rumah sakit, membagi ilmu di sekolah/kampus, menulis di blog, sekadar berbagi tips masak di grup-grup WA (it did help a lot!), whatever it is … just be the best version of your own.

Mari saling melengkapi.

Happy belated international’s women day ^_^.

Perempuan mandiri
Gambar : aware.org

***

25 comments
  1. Subhanallah….. Neng Jihan…. duuuh, merinding banget baca postingan dikau pagi ini… meleleh banget deh… Iya lah, sebagai perempuan mestinya kita saling bergandengan tangan untuk menguatkan para perempuan. Eh, btw, mbak, aku kapan hari jalan-jalan ke Toko Gunung Agung (TGA). Buku Davincka Code ada di rak best seller loh. kayaknya. Mmm… apa rak buku baru ya? Haduh, maapin deh. lupa eike. Tapi, yang jelas, bukumu ngeksis berat mak… Congrats yak!

    1. Buku baru Maaaaak hehehehe. Kan baru terbit 😀

  2. Daripada menghina mereka, ibu kantoran, yang tak sanggup memberikan ASI kepada buah hati, kita desak saja pemerintah untuk memberikan cuti setahun penuh kepada ibu-ibu bekerja yang baru melahirkan.

    – SETUJU –

    1. Hihihihi, di banyak negara maju aturannya begitu, Pak :D. Malah suami juga ada yanga dapat cuti sampai 2 minggu. CUti khusus menemani istri yang habis melahirkan 😀

      1. Yup, Jepang salah satunya. Pernah di bahas di Salah satu tv swasta tentang cutinya petugas kontraktor jalan untuk menemani istri dan anak baru lahir. Justru durasinya lebih banyak dari annual leave. Salut. l

  3. inspiratif, selalu suka tulisan kakak Jihan. dah beli bukunya kakak di Gramed, alhamdulillah.
    ijin reblog boleh kak?saya termasuk yang ngantor (sebagai abdi negara, staffnya bu risma) , tapi punya impian suatu saat bisa ngantor dari rumah saja

    1. Mariiiii :). TEtap semangat, ya. Yang penting…luruskan niat, luruskan niat, luruskan niat :). APalagi kalau suami mendukung. Bereslah itu, lupain komentar yang lain-lain hehehhe.

  4. kereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeenn…

    1. Sippp. Mudah-mudahan yang dimaksud adalah penulisnya. Langsung *benerinPoni* hahahhahahahaha

  5. Love your post as always! 😀 Nyoba komen pertama kali, semoga gak diusir sama Mbah Gugel.

  6. setuju sekali mak jihan, saya paling senewen kalau liat status di medsos yang nyinyir sma ibu bekerja atau ibu rumahan…trus yng ngomong belum pernah ngerasain jadi ibu kantoran, ..

  7. Reblogged this on NEGERI BAJAY621 and commented:
    Tulisan apik dari penulis favorit, dukungan untuk selalu jadi yang terbaik (versi kita masing-masing).
    makasih atas pencerahannya kakak Jihan…

  8. Mba Jihann… I Love Youu.. I Love You.. I Love You..
    I’m Ur follower @ Twitter, sdh bbrp kali mention2-an.

    You know what, gambar yg mba Post after gambar bu Risma, it really breaks my heart too. Itu ada di hampir semua social media bbrp waktu kmrn. I’m a working mom, and I have 2 adorable kids. I leave them alone with the nanny everyday, not in the weekend, of course.
    No family here. Harus bisa berdiri diatas kaki sendiri. Kehilangan si mbak yg sudah seperti saudara, it feels the same when I lost my Mom. Sedihhnya ampun ampun..
    Baca tulisan mba seperti ini is soooo relaxing..

    Thanks a lot.

  9. Hai Mba Jihan, aku silent reader kamu loh. Awal tau karena sering baca artikel mba di The Urban Mama. Tulisan ini inspiratif sekali. Aku ijin reblog yaaa =))

  10. Reblogged this on thebilarina and commented:
    Gue adalah salah satu orang yang bersedih dan gundah gulana ketika gambar dengan kata-kata di artikel mba Jihan ini eksis karena di repath oleh orang-orang. Tapi setelah baca artikelnya gue jadi semangattt. Thanks mba Jihan =)))

  11. kak jihan aku padamu…. *sungkem dari jauuuuh*

  12. salam kenal 🙂 mampir ke sini setelah baca di blog nya sondang ttg blogger favoritnya dan Subhanallah….saya merindiiiing baca ini, lewat postingan ini bisa bikin hati ini bergetar, seorang ibu, seorang wanita yang melihat peran ibu dari sisi yang berbeda, sisi yang POSITIF…dan saya sampai menitikkan air mata waktu gambar itu di posting di salah satu socmed. Terima kasih atas postingan yang bagus-indah-inspiratif ini 🙂 Gak heran jadi blogger favoritnya sondang 🙂

  13. Sebagai calon ibu yang sepertinya enggak bisa menghilangkan passionnya untuk bisa aktif di sana sini, beneran agak-agak bingung dan khawatir what to do next ya kalau udah punya anak. Siapa sih yang enggak mau melihat setiap detil perkembangan anak tersayangnya. Tapi keingingan menebar manfaat dengan aktif di sana sini dan memperoleh rasa bahagia menjalankan setiap aktivitas pastinya juga enggak bisa dihapuskan. Parameter dan cara bahagia satu orang dengan lainnya toh berbeda-beda. Jadi, Kak Jihan bener banget, semua orang berhak menjalani apa pun yang bisa membuatnya bahagia apalagi dibarengi niat yang baik yang diridhoiNya. Saya selalu percaya, akan ada jalan terbaik dari setiap niat baik yang kita punya. Jalani aja semuanya, pasti akhirnya Allah akan kasih dan tunjukkan peran dan posisi yang terbaik untuk kita. Jadi mama hebat, dokter hebat, dosen hebat, akuntan hebat, dll.. Kalau bisa memberikan yang terbaik di setiap amanah yang dikasih ya why not ? 🙂 Di balik setiap amanah pasti akan ada kekuatan dan pertolongan dariNya.
    Kak Jihan, makasih tulisannya ya! 😀 Jadi tambah semangat buat terus berkarya (insha Allah sampai punya baby yang menggemaskan nanti, amin).

  14. Selalu Sukaaak deh baca tulisan mba jihan. Bisa ga ya ndesak pemerintah untuk bikin internet yg cepet n murah? Lha wong menterinya aja nanya “Internet cepat buat apa?” Ya Alloh, kami para blogger yang dapat penghasilan dari ngonline ini ya sangat butuh Internet cepat to ya….. internet cepat bukan melulu untuk download film2 p*rn* ataupun following twitter akun tak senonoh kali pak…. 😀

    Hiks….. Pemerintah, Aq #gagalpaham

  15. salam kenal mba JIhan 🙂 sukaa sekali dengan tulisannya, sudut pandang yang ‘mengena’ tanpa menghakimi. Ijin share ya mba 🙂

  16. Dakuw pun pernah galau euy, antara rumah atau kantor. Perjalanan panjang hingga akhirnya memutuskan untuk memilih salah 1. We can’t be perfect for all options we chose karena kesempurnaan bukanlah milik manusia.

    Kesimpulannya, totally agree dengan tulisanmu, hehehe

  17. Setuju tuh, toh ngajarin anak bs sore plg kerja,n qt krja jg sbnrnya udh termasuk mngjarkan anak qt mndiri n biar ngerti jg lo cwe jg bs berprestasi 😉

  18. Setuju mba Jihan…sy juga pernah galau antara bekerja kantoran n di rumah aja..
    tapi kok kyknya ibu bekerja terus yg seolah2 menjadi korban…pdhl bnyk juga lho stay at home mom yg disindirin sm working mom.. “CUMAN ibu rumah tangga”…”ibu rumah tangga bikin anak jd manja,gak mandiri…”, “anak dari ibu kantoran akan menjadi lebih percaya diri dan lebih sukses saat dewasa”..”anak lelaki dari ibu kantoran akan menjadi lbh pengertian dan penyayang pd istrinya dibanding anak dari ibu ‘rumahan’… ayo dong ibu2…kita kan bukan Tuhan…masa depan anak kok udah ditentuin dr bekerja atau tidaknya si ibu. Intinya jangan sekali-kali ngejudge siapa yg lebih baik atau siapa yg lbh hebat. Kita hebat karena kita bahagia membesarkan anak2 kita dan bahagia bersama suami.keluarin energi,pikiran n perkataan yg positif2 ajah 🙂

  19. Suka banget sama tulisan ini, keren…working mom & stay at home mom memang pilihan masing2 dan gak perlu saling sindir2 halus merasa paling benar ^_^
    Salam kenal yah mba Jihan.

Comments are closed.