Let It Go, Let It Go

“Let it go, let it go … couldn’t keep it in, Heaven knows I tried …
Don’t let them know, don’t let them see …”

Film “Frozen” pas sekali menjadi hits kala musim dingin tengah melanda belahan utara dunia.

Saat berjalan hampir mencapai pintu gerbang gedung apartemen di kamis pagi kemarin, pemandangan mendadak berubah. Kapas-kapas putih berjatuhan dari langit.

Bukan pertama kali saya bertemu hujan salju. Sudah pernah beberapa kali. Pas sedang tidak ingin keluar rumah pula waktu itu. Mengintip lewat kaca jendela saja. Biasanya … hujan saljunya sedikit dan tidak lama.

Tapi pagi itu, lebat, booooo … Irlandia memang tidak akrab dengan hujan salju. It’s not something common here. Sudah terlanjur mau berangkat ke sekolah. Sempat ingin balik badan untuk berteduh. Dipikir, hujan enggak lama, 5 menit beres.

Untung saya tetap berangkat, salju terus mengguyur lebat sampai 30 menit.

Di jalan, awalnya Nabil heboh, “Mommie, look at your coat, it’s all white. Look at the road! Look at Narda’s stroller.” Norak-norak bergembira lah pokoknya, pertama kali jalan-jalan di bawah guyuran salju. Tapi sumpah, dingin, gilak.

Karena tidak mengira bakal turun salju, saya dan Nabil tidak membawa sarung tangan. Setengah perjalanan, Nabil mulai menggigil, “Mommie, I can’t hold the umbrella. My hands are freezing.”

“Deket lagi kok. Payungnya jangan dilepas.”

Maksudnya dia, dia pengin masukin tangannya ke dalam saku sementara saya tak bisa membantu memegang payung. Eike kan kudu dorong stroller.

Untungnya, sampai sekolah Nabil langsung hepi lagi.

Pulang ke rumah, saking khusyuknya menikmati hujan salju (hahaha), tak sadar tangan sudah memerah. Begitu masuk, rasanya sakit banget. Tapi tetap ya boo, buru-buru nyalain laptop, online di skype, nelepon suami nun jauh di Amerika Latin sana, “Papaaaaaaa, barusan hujan salju. Lebat banget. Ih, seruuuu…”

Suami yang masih muka bantal hanya bisa bengong mendengar bininya koar-koar enggak jelas. Hahaha.

Beberapa menit setiba di rumah telapak tangan sakit banget dan merahnya agak lama baru memudar, tetap saja senyum-senyum sendiri. Dalam hati terus bergumam, “It’s really beautiful. No regret.” 

***

Mungkin, memimpikan berjalan di bawah salju seperti memimpikan gelar seorang ibu. Sebelum hamil, pikir kita, ah, pasti senang banget kalau hamil-melahirkan-merawat anak dan seterusnya. Intinya, diharap yang indah-indahnya saja.

Giliran hamil, mabok berbulan-bulan sepanjang hari. Melahirkan jangan dikira enteng. Mau normal, mau via SC, perjuangannya tetap bikin ngelap keringat. Apalagi giliran merawatnya, du-du-du-du … antara mau bersenandung atau mau jambak-jambak rambut ini hihihi. It’s not easy but still… it’s beautiful 🙂.

Musim dingin berlalu, kala musim semi bergantian musim panas, rasanya pengin melihat salju lagi. Sama dengan punya anak. Begitu sudah lewat masa-masa ‘sulit’, kembali gelendotan ke suami, “Pa, bikin lagi, yuk!” Hahaha.

Menjadi perempuan, dramanya tidak sedikit. Sudah pakemnya hehehe. Dari usia sekolah sirik-sirikan model rambut, pas abege rebutan laki-laik #eh , begitu dewasa – menikah – punya anak, ajang kompetisi berlanjut ke masalah anak.

Waktu masih bekerja sehabis melahirkan dan pas ngantor rutin mengunjungi nursery untuk memompa ASI, ada kejadian unik.

Suatu sore, saya masuk ke dalam ruangan nursery seperti biasa. Tumben, sepi. Saya pikir tidak ada orang, karena ruangannya berbentuk huruf L. Eh, tiba-tiba terdengar suara teman yang lagi menelepon. Kira-kira dia memberikan instruksi seperti ini,

“Iya, kasih saja susu yang itu. Kalau habis, kaleng barunya ada di lemari dapur. Tempat biasa.”

Saya tahu itu suara siapa. Saya sudah keburu masuk. Saat dia berbalik badan melihat saya, dia mendadak gagap.

Akhirnya saya yang duluan bersuara, “Dicampur? Enggak apa-apa. Gue dulu sebelum lancar mompa, sempat ngasih sufor, lho.”

Dia tersenyum kikuk, “I..iya, nih. Anaknya rakus. ASI pas-pasan.”

Dia menuju pintu, sebelum keluar, dia menengok sebentar dan berbisik malu-malu, “Mbak, jangan cerita ke yang lain, ya.”

“Sip, sip.”

Sebagai sesama ibu-ibu, saya paham maksudnya.

Selama ini, dia sudah masuk ‘geng ASI’. Selalu ikut gencar bercerita soal ASI dan semacamnya. Tak sulit menerka mengapa dia merasa perlu ‘menyembunyikan’ soal si sufor tadi. Maklum, beberapa memang tergolong ‘garis keras’ hehe.

Ada semacam ‘konsekuensi’ yang harus ditanggung kalau sampai ketahuan memberi sufor . Termasuk rasa tengsin karena selama ini sudah ‘berdusta’ kali.

cara memikat hati wanita

Saya sebenarnya tidak setuju dengan beberapa penggiat ASI (terutama yang ‘garis keras’ :P) yang ngotot bahwa kampanye harus gencar dan beruntun karena masih banyak ibu-ibu yang sebenarnya enggak ngasih ASI karena tidak paham. Hm, tidak juga.

Saya tahu tidak sedikit teman-teman yang memutuskan untuk tidak memberi ASI atau sudah berniat memberi ASI hanya sampai usia tertentu yang tidak optimal menurut pakar ASI. Bukan karena mereka tidak paham soal manfaat ASI dll. Heloooo, era internet begini . Mereka pun bukan kalangan tidak berpendidikan. They don’t do that simply because they don’t want to 🙂.

Sebagian tidak malu-malu mengaku, “Repot. Apalagi gue suka bepergian ke luar negeri. Lagian kalau sufor kan bisa ganti-gantian sama suami. Kadang lembur juga gue di kantor. Capek.”

Tentu, tak berarti dia tidak sayang anaknya dong, ah. Mang situ siapa sampai hendak menjudge, “IBU MACAM APAHH KAMUUU?”

Saya pernah memutuskan unsubsribe dari sebuah forum ibu-ibu karena ‘berantem’ dengan seorang aktivis ASI yang berani melabeli sufor sebagai ‘racun’. Padahal kami tahu, isi forum tak cuma ibu-ibu yang tengah berjuang ASI ekslusif. Ini mau kampanye atau nakut-nakutin orang, sih?

Judgement seperti ini yang membuat sebagian lagi merasa gentar untuk jujur. Contohnya ya kasus teman tadi yang akhirnya berakting rajin ikut memompa ASI padahal sebenarnya anaknya sudah mengkonsumi 70% sufor.

Di masa-masa ‘dunia’ memprotes ‘pola didik ala Budaya Timur’ yang dianggap menafikan kebebasan anak, Amy Chua menyeruak dengan bukunya yang menjadi best seller kala itu, “The Battle Hymn of TheTiger Mom.” Amy Chua blak-blakan menuliskan caranya mendidik para gadisnya yang diungkapkannya sebagai, “Cara Ibu Cina.”

Tentu saja, pro kontra bermunculan.

Sempat hits pula masalah homeschooling. Pro kontra calistung di usia balita yang sempat ramai di forum tertentu yang bikin saya geleng-geleng kepala. Ada yang menuduh calistung di usia balita sudah tidak zaman. Tidak ada negara maju yang menerapkan calistung pada anak sekolah usia balita. Kata siapa? Sini, sini, sekolahin anak di Irlandia. Di sini, di sekolah anak saya, dari usia 4 tahun, calistung sudah diajarkan secara ketat.

Belum lagi pertentangan yang hingga kini  masih menduduki posisi jawara dalam urusan nyinyir-nyinyiran ala emak-emak, SAHM vs WM. Repot ini urusannya karena sudah sering bawa-bawa surga dan neraka.

“To believe in your choice you don’t need to prove that other people’s choices are wrong.”– Paulo Coelho

Hal-hal seperti ini yang membuat sebagian ibu jadi gamang. Sibuk mencari pembenaran. Ingat, “Every Mom Has Her Own Battle” . Jangan risau. Tak guna berbohong yang tidak penting.

Gelar ibu kan tidak otomatis membuat kita sempurna. Namanya manusia. Sudah punya anak pun tidak menuntut kita menjadi dewa.

Melahirkan normal atau SC, hendak terus berkarier di luar rumah atau melepaskan kesempatan untuk berdedikasi dari rumah, mau menjadi “Tiger Mom” atau “Rabbit Mom” , ingin memberi ASI sampai profesor hihihi atau memutuskan untuk memberi sufor, berangan-angan homeschooling atau tetap stay di ‘sekolah formal’ … it’s all yours.

Namun, hendaknya disadari. Bersama setiap keputusan, ada konsekuensi yang mengikuti. Be prepared .

Bukan ini yang seharusnya kita perjuangkan, “I would do anything to make YOU happy.”

Mungkin lebih tepat bila kita, ibu-ibu, punya ikrar begini, “I would do anything to make US happy” 

Apa pun pilihannya, bertahan saja dengan keputusan yang dirasa terbaik yang sudah diambil. There were moments when you believed you were the smartest Mom in the world and then incidentally you were hit by the fact that someone else was doing much better somewhere out there. Suddenly, you felt lost. Lesson learned : Being grateful all the time is challenging 🙂.

Rumput tetangga selalu lebih hijau.

” … And the fears that once controlled me
Can’t get to me at all.” -Let It Go-

Apa yang kita takutkan? Lupakan pencitraan. Anak-anak jangan dijadikan ajang kompetisi masing-masing ibunya. Ingat, mereka bukan beban. Mereka separuh hati kita . Seorang ibu tetap menjadi pribadi yang utuh terlepas dari akan menjadi apa anak-anaknya kelak.

Just be yourself, Mommies. Let it go, let it go 🙂.

Seperti apa pun ‘citra Ibu’ yang kita pilih, let’s celebrate our own choices. Selamat hari Ibu 🙂.

***

10 comments
  1. iya, mba. jadi ibu sekarang kok kayak semacam kompetisi gitu. aku loh ASI sama anakku. aku lo bikin sendiri MPASI anakku. saya sampai takut sendiri

  2. Selamat hari ibu, mama duo N! 🙂
    Dapet kado apa, nih? Aku belum pernah dpt kado apapun sejak jadi ibu. Huuuuu! #curcol 😆
    Setujuuuu sama jurnalmu ini. Sudah lah, nggak usah sibuk ngurusin ibu lain ngelahirin alami/operasi, asi/sufor, mpasi rumahan/instan… mending dari sekarang konsentrasi usaha, gimana caranya anak2 kita jadi ahli surga, di dunia dan akhirat…

  3. bagus mbak jihan….selalu senang klo baca tulisan mbak..inspiratif…

  4. ihihihiy, oot dikit, cuma jadi keinget sama temenku yg pas lahiran normal trus suaminya meluk dia sambil bilang “Wah, bunda emang hebat, bisa lahiran normal,” dan bapak-bapak tua di sampingnya ngomong “Haduh jaman sekarang, melahirkan normal aja dibilang hebat segala. BERLEBIHAN!” hahahahahak maksudku, mungkin karena jaman sekarang semua disorot sedemikian rupa, jadinya malahan buka celah buat menyombongkan apapun yang dilakukan seseorang ya, dan jadi dijadikan standard juga sama banyak orang. Dulu aku jg keluar dr milis asi, Jihan, merasa terintimidasi soalnya pas baca ahahaha, dan hati jadi ikut menghakimi orang lain, soalnya aku pernah kepikiran jelek ih jangan-jangan nih orang ngasih anaknya ASI sampe 2 tahun atau lebih bukan karena sayang sama anak tapi biar bisa pamer dan menggencet sesama ibu-ibu, Nambah dosa bow, meski cuma di pikiran *mana berani nulis di forum begitu ihihihiiik sorry aye galak tapi penakooot*

    1. like this mbak Jihan.. 🙂

  5. Gara2 tulisan tentang sufor yang ‘berbahaya’ itu aku sampe nelpon temenku yang kerja di BPPOM minta petunjuk… boleh gak ngasih bayi kita sufor, sufor apa yang bagus, dan nanyain anak2nya dikasih sufor gak? hihihi… abis tiba2 jadi galau, mo ASI full tanpa sufor sampe 2 th gak mungkin laah, ngejar lulus ASIX aja ngos2an, tapi mo ngasih sufor kok disodori berita begitu.
    Dan ini untuk anakku yg keempat, hahaha… udah anak keempat aja bisa tiba2 jd gak pede.. padahal anak 1-3 pun dibantu sufor.
    Dan penjelasan temanku melegakanku.
    Ah sudahlah, ASI tetap yang terbaik, tapi kalau gak bisa ya gak usah dipaksain, gitu kesimpulanku 🙂
    Selamat Hari Ibu.

  6. Kadang aku pun ikut ‘ngeri’ kalo liat ‘persaingan’ di kalangan ibu2 seputar normal-SC, ASI-sufor, IRT-ibu bekerja, dsb dsb.. 🙁

  7. ibu2 kurang kerjaan itu namanya. kenapa waktunya ga dipake utk hal2 yg lebih berguna? mempersiapkan anak utk jd manusia2 hebat misalnya. saya tahu betul manfaat ASI dengan segala kelebihan dan kehebatannya. tapi kalo Tuhan tdk mengijinkan ASI saya keluar, saya bisa apa? sakit hati banget pernah ada yg terang2ngan bilang gini ke saya: kenapa gak dikasih ASI? takut bentuk payudaranya berubah ya?? Gubraakk deh…..
    eh, maaf mbak Jihan jadi numpahin unek2 di sini 🙂

  8. Its very inspired. . .
    Jihan…tulisan2nya selalu menarik untuk dibaca…secemerlang orangnya yg sejak masa SMA diam2 saya kagumi namun tdk pernah bisa berkenalan dekat #mungkinkarenagapernahsekelas# Pribadi yg smart, lincah & senyum yg selalu bersahabat meski tdk saling kenal.
    Teruslah menuangkan pikiran2 hebatmu !! Salam dr kota daeng. . .

Comments are closed.