Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : Novel Klasik Karya HAMKA

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sebuah roman karangan HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) yang dipublikasikan pertama kali di tahun 1938. Saya membaca novelnya di usia SD, entah persisnya umur berapa. Iseng bongkar-bongkar sebuah kardus yang sengaja diturunkan oleh ibu saya dari atas lemari karena sedang mencari-cari sesuatu.

Tenggelamnya kapal van der wijck
Gambar : openbooks.com

“Buku cerita bagus itu. Bacami.” Kata ibu saya waktu saya membolak-balik buku tua yang lembarannya masih utuh, hanya sampulnya yang sudah koyak.

Sebagai penggemar fiksi (fiksi apa saja, termasuk komik-komik Donald yang bisa eike baca berulang-ulang tapi tetep ngikik-ngikik hehehe), langsung leyeh-leyeh di atas kasur mulai membuka halaman pertamanya. Awalnya pening, ya, bahasanya ribet begitu hehehehe. Tapi karena ibu bolak balik mempromosikan kalau ceritanya sedih tapi bagus jadinya bikin kepo berat .

Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini berisi kisah cinta ala-ala Romeo dan Juliet yang lebih kompleks dengan latar belakang budaya Minang yang membuat saya waktu itu sudah terpikir, “Ajegile ini orang Minang. Repot amat adatnya. Jangan sampai deh berjodoh ama model begini.”

Ahahahahhaha. Who knows bertahun-tahun habis itu, takdir membawa saya menjadi menantu keluarga Minang-Bukittinggi . Diawali dengan sahabat dekat yang masih langgeng hingga kini dari masa awal kuliah yang juga berdarah 100% Minang.

Benarlah kata pepatah yang dibawakan oleh pembawa acara sebagai pembuka di acara resepsi pernikahan saya 6 tahun silam, “Asam di gunung, garam di laut, bertemu di dalam periuk.” Gadis Bugis dari sulawesi, bujang Minang dari sumatera, bertemu di UI – Depok, hihihihihi .

***

Balik ke novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Kakaaaaa 😀.

Zainuddin, pemuda setengah Minang yang mengawali hidupnya hingga remaja di tanah Sulawesi. Ayah Zainuddin, Pendekar Sutan, adalah pemuda asli Minang. Yang terusir dari kampung setelah terlibat perselisihan yang mengakibatkan kematian Mamaknya. Mamak = Paman. Bukan sembarang paman, tapi paman yang paling ‘dituakan’ dari pihak Ibu. Beda lho dengan pengertian Pakde-nya orang Jawa.

Dari pengasingan di Cilacap, Pendekar Sutan memilih menetap di Sulawesi. Menikah dengan Daeng Habibah (asli sulawesi) dan berbuah seorang bujang, Zainuddin.

Kedua orang tua Zainuddin telah berpulang semasa dirinya masih kecil. Saat remaja, Zainuddin meminta izin pada pengasuhnya untuk kembali ke Tanah Minang. Bertolaklah Zainuddin ke negeri asal ayahanda tercinta.

Ternyata, sambutan tak sehangat yang dibayangkan. Jika di Sulawesi, Zainuddin tak begitu diterima oleh keluarga sulawesinya karena adat Sulawesi yang secara umum mengaitkan asal usul seseorang berdasarkan darah Ayah, maka di Minang ia pun tertolak. Adat Minang kala itu masih memegang teguh prinsip Matrilineal. Yang menggariskan keturunan seorang anak berdasarkan darah ibunya.

Sibuk mengais perhatian dari keluarga minangnya, masalah bertambah dengan tertambatnya hati Zainuddin pada Hayati. Hayati bukanlah upik sembarangan. Melainkan seorang anak perempuan dari keluarga terpandang, semacam bangsawan Minang gitu, deh .

Di zaman itu, perempuan Minang dari keluarga terkemuka tentu saja diharapkan untuk berjodoh dengan sesama urang awak (sebutan khas untuk orang Minang). Lah, Zainuddin kan Minang juga. Eit, karena ibunya orang sulawesi, Zainuddin tidak dianggap orang Minang tulen. Istilahnya anak pisang apa, ya? Tolong yang dari Minang diceki-ceki, suami eike bete nih gue tanya-tanyain dari tadi hahahahahaha.

Sebenarnya, Hayati pun menyimpan bara cinta yang sama untuk Zainuddin. Ihiiiiy. Tapi ya, kehendak Ninik Mamak mana sanggup dibantahnya. Hayati memasrahkan dirinya yang telah dijodohkan oleh pemuda Aziz, yang juga berasal dari keluarga ‘Minang tulen’.

Padahal, waktu itu, Zainuddin sempat diberkahi harta warisan berlimpah selepas meninggalnya sang pengasuh di Sulawesi. Zainuddin tetap maju mempertahankan cintanya. Namun, garis keturunan tetap memenangkan cinta Aziz.

Membawa sakit hati tak terperi, pergilah Zainuddin ke Surabaya. Berbekal harta yang banyak, berusahalah ia melupakan kasih tak sampainya dengan menjadi penulis. Beuh, kenapa sih sastra tempo dulu, asal patah hati pasti ujung-ujungnya jadi penulis? . Untung di era internet, enggak perlu patah hati untuk menjadi seorang penulis, yak. Hehehehe .

Singkat cerita, Zainuddin tentu jadi tenar. Akhirnya Hayati pun ikut merantau bersama Aziz ke Surabaya. Kontras dengan kepopuleran sang bujang pujaan, Hayati malah kurang beruntung. Saking susahnya kehidupan rumah tangganya, Aziz dan Hayati sampai nekat menumpang tinggal di rumah Zainuddin.

Hingga akhirnya, Aziz malah meninggalkan Hayati begitu saja. Ditalak lewat surat dan menitipkan Hayati pada Zainuddin.

Tapi, cinta dan benci sudah terlanjur menyatu, apinya tak kunjung padam di hati Zainuddin. Masih terbakar oleh rasa sakit hati, Zainuddin malah menyuruh Hayati ke kampung halamannya. Padahal Hayati sebenarnya sangat berharap menyatukan kembali cinta yang sesungguhnya tak pernah redup untuk Zainuddin.

Apa daya kemampuan seorang perempuan. Hayati pun pasrah menuruti permintaan Zainuddin. Dengan menumpang Kapal Van Der Wijck, Hayati bertolak pergi. Sebelum pergi, dititipkan ungkapan hatinya kepada sang kekasih melalui sepucuk surat.

Tak lama setelah Hayati pergi, hati Zainuddin bergejolak. Apalagi setelah membaca untaian kasih dari Hayati di atas berlembar-lembar kertas. Tanpa pikir panjang, Zainuddin berusaha menyusul Hayati.

Di tengah perjalanan, tersiar kabar bahwa kapal yang ditumpangi Hayati mengalami kecelakaan. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Hayati menghembuskan nafas terakhirnya dalam dekapan Zainuddin. Setelah kedunya sempat saling mengungkapkan perasaan dan penyesalan masing-masing.

Mudah ditebak, sebentar saja setelah ditinggal belahan jiwa, Zainuddin pun jatuh sakit dan ikut menyusul Hayati.

***

Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini sebenarnya menyuarakan kritikan sang penulis kepada adat Minang yang ‘keras’ di masa itu. Apa pula itu menghalang-halangi dua hati yang sudah tersangkut habis-habisan hanya karena perbedaan suku. “It’s so last year” la yaow, kalau isitlah zaman sekarang hehehe. Berapa banyak hati yang luka, dendam dan pengorbanan yang tidak perlu hanya karena ‘perbedaan’ macam ini.

Walau nyatanya, dari hasil kepo-kepo dengan beberapa teman perempuan yang asli Minang, harapan seperti itu dari para orang tua tetap ada. Ada yang masih ketat, ada pula yang sekedar imbauan semata.

Ada juga lho, di abad Facebook, teman perempuan saya yang berdarah Minang yang akhirnya dijodohkan oleh orang tuanya dengan urang awak. Padahal teman ini sudah memiliki tambatan hati lain (kebeneran bukan urang awak :P). Alhamdulillah, mereka mah baik-baik saja sampai sekarang .

Tentu saja, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, novel lama yang terhitung salah satu karya sastra terbaik di tanah air ini masih patut kita jadikan pelajaran. Bahwa yang namanya suku, warna kulit, marga, sesuatu yang tak bisa kita ubah. Sudah dari sananya, kan? . Memangnya kita bisa meminta, “Ya Allah, lahirkan aku sebagai orang bule. Kulit putih mulus, rambut tebal bergelombang, mata biru, rambut blonde, badan langsing selamanya.” Hahahahahha.

Kalau keyakinan seperti agama itu lain lagi. Bisa dipelajari dan bisa kita sebarkan.

La kalau suku piye? Mau bolak balik merantau ke Depok, Jakarta, Tehran, Jeddah hingga ke Athlone, orang bugis ya tetap orang bugis hehehe. Lahir sebagai bugis, sampai mati pun akan tetap berdarah bugis . Begitu pula dengan minang, jawa, batak, tionghoa, sampai ras arab.

Tapi, apa penting ya yang begini-beginian menjadi pemecah persatuan? Apalagi untuk bangsa sebesar Indonesia yang ragamnya macam-macam. Bayangkan, di satu propinsi saja, sukunya bisa belasan jumlahnya. Bahasanya juga macam-macam. Kalau pun kata-kata bermakna sama, sering dialeknya yang berbeda-beda .

Itulah cyin kerennya orang Indonesia . Diantara banyak budaya yang membentang dari Sabang sampai Merauke, kita punya “bahasa Indonesia” untuk saling berkomunikasi. Punya lagu “Indonesia Raya” yang bisa dinyanyikan sama-sama di tanggal 17 Agustus ini .

Karena saya seorang muslim, tak mengapa, ya, bila saya kutipkan sebuah ungkapan indah dari kitab suci kepercayaan saya :

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah. “[al-Hujurat:13].

Jadi, tetap lho ya, bagi kepercayaan kaum muslim, mau situ Jawa-bugis-Minang-Batak-Maluku-Papua-Flores-Bali dll, ukuran kemuliaan di mata Allah akan kekal sepanjang masa : KETAKWAAN 🙂. Nah, ada pun ketakwaan ini bisa lain panjang lagi ya ceritanya.

Tapi kita cukupkan sampai di sini saja, pan temanya hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia bukan ngajak berdebat siapa yang masuk neraka siapa yang masuk surga? Hehehehhe.

17 Agustus tahun ini, kembali semangat kebangsaan agak dikorek-korek dikit. Untuk memperingati 68 tahun lepasnya Nusantara dari tangan penjajah. Satu-satunya kata yang patut menutup tulisan ini  adalah … Merdeka! ^_^. Moga-moga belum basi hihihihi. 

***

15 comments
  1. wih tragis ternyata ceritanya. hehe

    1. Iyap, tragis euy. Tapi secara dulu gemar banget baca fiksi. Mau ketemu yg mana aja pasti dikepoin ampe halaman terakhir :D. Sekarang-sekarng sih males baca yg sedih2 hehehe

      1. Saya kalau baca novel tragis kadang jadi depresi, mba :F

  2. Iya namanya Anak Pisang mbak :). Saya baca buku ini waktu SD, dan sebagai anak perempuan kecil pada umumnya saya malah bete karena akhir cerita nya nggak happy ending. Harusnya kan akhirnya mereka live happily ever after. Kalau soal ekspektasi menikah dengan sesama Minang, di keluarga saya pun masih. Tetapi ya cuma di level ekspektasi,kalo eksekusi nya berbeda keluarga besar tetap approve.

    1. Eh, benar ya, anak pisang istilahnya hehe :P. Saya juga bete, sih huhu. Cuma dulu memang fiksi apa saja pasti dibaca soalnya seneng banget fiksi :D. Beberapa teman perempuan saya yang berdarah Minang juga begitu, diharapkan berjodoh dengan sesama urang awak. Tapi ya sama dengan Mbak Hildha, kalau enggak juga tetep direstui :D. Tapi sahabat perempuan saya yang juga Minang ngotot enggak mau berjodoh dengan sesama Minang. Ealah, berjodohnya malah sama orang Minang hihihihi, bukan karena dipaksa karena suka sama suka ^_^. Ah, ah, jodoh siapa yang tahu ya 🙂

  3. sy baca novel pas masih jaman abg, sampe mewek..

    1. Tapi bahasanya agak-agak gimana gitu ya :D.

  4. bentar ini blog baru?

    1. Definisi baru apa dulu, nih? hehehe. Blog wordpress ini dibuatnya bulan september 2012 kemarin, isinya tadinya pindahan dari multiply hehehe. Lalu, sisanya lanjut di sini :D.

      1. Atau maksudnya ganti theme aja kali hahahahha. Blognya masih yang itu2 juga kok 😛

  5. “Buku cerita bagus itu. Bacami.”…..orang Makassar kita? 🙂

    1. Iye’… asli bugis. Orang tua dari Rappang hehe.

      1. ditunggu review buku dalih pembunuhan masal yg ke-5 di 🙂

  6. Ketahuan logatnya,,,sama-sama bugis jaki pale ,,, heheheh 😀

  7. padahal esensi tulisannya memperingati 17 Agustus, tapi mulainya dengan cerita pengantar yang sedikit berbeda. Salut deh kait katanya…

Comments are closed.