[Cerbung] Temanku Cina (Tamat)

Bagian sebelumnya dibaca juga, ya, buat yang belum hehehe. Yaiyalah, namanya juga cerbung :P.

Tentang Dia (Bagian 5 – Tamat)

Oleh : Jihan Davincka

***

Gambar : oldeglory.co.uk
Gambar : oldeglory.co.uk

Seminggu ini, aku tidak boleh berkeliaran di luar rumah kecuali saat sekolah. Bapak yang mengantarku. Setengah jam sebelum lonceng berbunyi, Bapak sudah menanti di pintu gerbang.

Bapak sengaja berputar melewati jalan lain agar kami tak melewati rumah di ujung jalan itu. Aku tak berani meminta. Biarkan saja. Aku akan kesana malam-malam.

Setelah dua minggu berlaku, barulah aku berani keluar rumah. Tapi malam-malam. Biarpun takut setengah mati, mulutku tak berhenti komat-kamit baca doa dan berjalan ke ujung jalan. Aku kaget kayu ukiran di atas terasnya sudah roboh. Tak ada cahaya lampu. Aku jadi gelisah.

Aku sering membayangkan jangan-jangan dia sebenarnya ada di rumah. Tapi kalau dia di rumah dan melihatku, dia pasti sudah berlari keluar. Aku masih ada utang padanya.

Setelah tiga minggu, aku berani sepulang sekolah melewati ujung jalan itu. Melambatkan langkahku sambil melirik takut-takut. Kaca-kaca jendelanya tidak ada semua. Pintu rumahnya bahkan terbuka. Tapi semua orang pasti tahu, tak ada orang di dalam sana.

Aku pernah sangat marah dan mengajak Bapak mencari Bik Yunah. Setelah kejadian itu entah ke mana Bik Yunah. Menghilang begitu saja. Kabar Bang Roma pun makin simpang siur.

Dari Nisa, aku tahu kalau bapaknya Nisa, Pak Haji, sebenarnya sedang ada niat membuat toko kelontong baru di kampung kami. Hendak bekerja sama dengan Papinya Misye.

Selain Pak Haji, bapaknya Nisa, ada satu Pak Haji lagi yang juga memiliki usaha toko kelontong. Pak Haji Yusuf namanya. Bapak sering bercerita jika persaingan antara Pak Haji Yusuf dan Pak Haji bapaknya Nisa memang berlangsung diam-diam. Walau mereka tak pernah beradu mulut secara langsung.

Konon, Pak Haji Yusuf sering meminta beberapa pegawainya berpura-pura berbelanja ke toko bapaknya Nisa. Tujuannya untuk mematai-matai toko saingannya.

Posisi Pak Haji Yusuf memang berbeda. Kalau Nisa dan saudara-saudaranya beserta ibunya aktif membantu bapak mereka mengurus toko, Pak Haji Yusuf tidak punya tangan kedua selain karyawan-karyawannya yang sering sekali berganti-ganti. Istri Pak Haji Yusuf tak suka ikut berjaga di toko. Anak-anaknya pun memilih bersekolah ke luar kampung semua.

Dulu, aku pernah kenal dengan Bang Tariq. Dia pernah bekerja jadi kasir di toko Pak Haji Yusuf. Tapi cuma bertahan sekitar tiga bulan saja. Saat menganggur, Bang Tariq suka datang ke rumah, sesekali membantu ibu mengedarkan kue-kue dagangan ibu.

Bapak pernah bertanya, ”Sudah enak-enak kerja di toko, kok, malah berhenti?”

Dijawab oleh Bang Tariq, ”Wah, tidak tahan, Pak. Dicurigai terus. Saya sakit hati kalau ada kekurangan kas atau ada ketidakcocokan dengan catatan, saya dicecar terus.”

Bapak menasihati, ”Ya,  namanya kerja. Jadi pengelola uang memang harus punya tanggung jawab.”

”Demi Allah, Pak. Saya tidak pernah mencuri. Saya sudah berusaha mencatat sebaik mungkin. Sementara uangnya selalu diserahkan kepada Pak Haji langsung. Kalau ada perbedaan, saya harus bagaimana?”

”Ah, masa sampai sebegitunya?”

Bang Tariq menambahkan, ”Saya tidak bohong, Pak. Lagian, kasihan ibu saya. Pernah sekali ikut kena makian Pak Haji. Saya malu, Pak. Berhenti sajalah daripada terus-terusan menanggung sakit hati.”

Entahlah, aku tak pernah tahu hubungan semua kejadian itu. Orang-orang juga tak peduli untuk mencari tahu.

***

Sebulan, dua bulan, bahkan enam bulan kemudian, tak pernah ada cahaya lampu kalau aku lewat sana malam-malam. Tidak tiap hari aku ke sana. Rasanya aku sudah putus asa.

“Siapa nama lengkapnya. Di mana sekolahnya?” Tanya Bapak. Dia mungkin kasihan melihatku memasang wajah sedih hampir sepanjang hari.

Barulah aku tersadar. Sepuluh tahun mengenalnya, aku bahkan tak pernah tahu nama lengkapnya. Dimana sekolahnya. Dia cuma pernah bilang, di sekolahnya, perempuan tidak perlu memakai kerudung.

Terselip sedikit penyesalan. Selama ini aku yang terlalu banyak bicara. Dia memang banyak bertanya. Bahkan asal usul namaku saja dia tahu.

”Siapa nama lengkapmu, Nir?”

”Nisrina Hidayati. Nisrina itu mawar putih. Bahasa Arab. Hidayati itu hidayah, artinya anugerah.”

”Wah, namamu bagus sekali.”

Saat itu aku hanya tersipu-sipu. Bisa-bisanya aku tidak pernah bertanya siapa nama aslinya.

Lama-lama Ibu gerah melihatku yang seperti orang merana terus-terusan, ”Ini pasti karena kau kurang mengaji. Jadi, pikiranmu dikuasai tentang anak cina itu terus. Bergaullah kembali dengan teman-temanmu yang lain.”

Kurasa saran ibu tidak salah. Daripada kuhabiskan waktu meratapi anak cina itu, kuputuskan untuk sering-sering ke rumah Nora. Kalau ke sana, biasanya selalu ada Kiki juga. Bapak juga setuju, ”Pergilah ke rumah teman-temanmu yang lain. Suasana ramai akan membuat hatimu lebih tenang.”

***

Dan kini, dua belas tahun sudah lewat. Setamat SMA, aku ke kota. Tinggal di kamar kos, sekolah untuk jadi perawat. Setelah resmi menggenggam ijazah, Bapak bilang aku boleh kerja di kota.

Anak cina itu gemar betul mengolok-olok aku dulu, ”Astaga, anak cengeng sepertimu, apa sanggup hidup jauh dari orang tua?”

Dia bilang begitu gara-gara aku bertanya padanya, ”Kau sering sekali ke kota. Ajaklah aku. Tapi kita pergi berdua. Malu aku jika papi mamimu ada.”

Hidupku terus berjalan. Sudah sering sebenarnya aku tidak mengingat-ingat dia lagi. Tapi tiap tahun aku pulang. Kampungku tidak terlalu jauh. Tak pernah lupa aku melewati ujung jalan itu. Walau sudah lama aku berhenti berharap.

Dulu, hanya rumah ujung itu yang dihuni oleh orang cina sepertinya. Sekarang, anak-anak kecil bermata sipit terlihat berlarian dengan anak-anak kampung. Ikut menjilati es krim warna warni yang dibeli di warung. Jumlahnya memang belum banyak.

Di sepanjang jalan rumahku, mungkin ada dua atau tiga rumah milik mereka. Tapi, warga sudah tidak peduli. Orang-orang cina membuka toko-toko besar di kampung kami. Tak ada yang resah. Lupa mereka, dulu mereka takut sekali diberi makan babi.

Waktu bekerja, aku mulai kenal komputer. Sedikit-sedikit aku tahu kalau ada yang namanya internet. Kalau kita bisa mengetikkan nama seseorang di sana dan layarnya akan memberitahu dimana dia berada. Sering aku mencoba mengetikkan namanya di sana. Tapi sia-sia. Tak satu pun huruf-huruf yang tertera di sana yang bisa menunjukkanku dimana dia berada sekarang.

Dulu-dulu aku suka mengusap-usap mataku saat melewati puing-puing rumahnya. Sekarang, tidak lagi. Bukan karena aku sudah tidak pernah menangis lagi. Tapi karena aku tidak takut lagi pada orang-orang. Dan aku meyakini, dulu pun aku harusnya tidak usah takut pada orang-orang. Dia temanku. Dia cina. Memangnya kenapa?

Kali ini kepulanganku untuk acara lamaran pernikahanku. Acaranya masih seminggu lagi. Tapi Ibu sudah ribut menyuruhku pulang. Ibu memang sudah mendesakku terus-terusan untuk menikah. Usiaku sudah beranjak 30 tahun.

Sekarang, aku berdiri di depan tanah kosong dengan sisa-sisa reruntuhan bangunan rumahnya yang baunya minta ampun sekarang. Tapi, aku tidak menutup hidungku. Padahal timbunan sampah dimana-mana.

Entah kenapa, meski sudah bertahun-tahun aku tidak merasakan airmataku meleleh, tapi kali ini mataku basah. Aku mau pulang saja, berwudhu, pakai mukena, dan mengangkat tanganku tinggi-tinggi berdoa untuknya.

Dia salah satu sahabat terbaik yang pernah lama menemaniku. Biarpun dia sering protes tentang banyak hal tentangku tapi dialah pendengar setiaku. Banyak sahabat yang datang setelahnya, tapi namanya tak pernah benar-benar tergeser.

Aku beranjak pergi. Tapi mataku tetap terpaku ke sana. Langkahku mendadak terhenti. Mengapa mataku terasa berkunang-kunang.

Tak berapa lama, entah bagaimana, tiba-tiba puing-puing itu terangkai lagi satu persatu menjadi satu bangunan utuh. Catnya baru semua. Pintunya terpasang dengan sempurna. Ukiran kayu yang tadinya roboh terpasang kembali di atas teras rumah besar itu. Seperti sihir.

Tak sadar mulutku menganga lebar. Model rumahnya persis seperti dulu. Masih ada jendela besar di salah satu sudut rumah, tempat pertama dia muncul di hadapanku pertama kali. Aku sudah ingin berlari.

Lalu, kuurungkan niat begitu pintunya bergerak. Aku tak percaya, aku melihatnya keluar dari pintu. Rambutnya pendek dan dia membawa sehelai kain panjang di tangannya. Bukan bahan kerudung.

Aku ingin bertanya banyak hal. Ke mana saja dia selama ini. Tega-teganya tak pernah mengirim kabar apa pun.

Akan kukatakan kalau aku sudah menjadi perawat di kota. Aku sudah tinggal bertahun-tahun di luar kampung. Telah kubuktikan bahwa aku bisa tinggal jauh dari orang tuaku. Dia sering mengejekku akan tumbuh menjadi anak manja karena aku anak tunggal dan sensitif.

Akan kuceritakan betapa sulitnya menemukan teman seperti dia. Yang tak ragu-ragu mengatakan orang lain lebih cantik daripada aku. Aku pun sudah mulai berani mengubah model rambutku.

Ingin kukenalkan pada pria yang mempersuntingku. Yang menurutku bukan pria kebanyakan. Aku masih suka memakai celana panjang sampai sekarang.  Dia benar, aku tak  perlu mengubah diriku, orang tepat akan datang dengan sendirinya.

Tak sabar pula akan kutanyakan mengapa rambutnya dipotong sangat pendek sekarang. Bahwa aku juga sudah lupa berapa jumlah utangku yang terakhir. Tapi berapa pun angka yang dia sebut, akan kubayar lunas secepatnya.

Saat dia mendekat barulah aku melihat jelas. Di tangannya tadi, sebuah bahan kebaya yang bagus dan pastilah harganya mahal.

Aku juga baru mau bertanya dia tahu darimana aku mau menikah, tapi dia sudah lebih dahulu menyodorkan kain itu kepadaku, tersenyum dan berbisik, “Untukmu. Setengah harga saja.”

TAMAT

***

 

17 comments
  1. Kereeennn, mbaaakkk! Ini serius, nggak ada majalah yg mau nerima? Ih, cerita sebagus ini, padahal cocok bgt loh, dipajang pas imlek, misalnya…

    1. Harapannya juga begitu :P. Tapi ya yang penting ada yang baca, kan? Biarpun cuma di blog :D.

  2. Aaaapiiiiiik mbaaaak

    1. Nindyyyy, hari ini ultah, yaaaa. Itu umurmu beneran gak sih? 😛 #salahFokusTingkatTInggi. Hepi bdey ya, Darl ^_^

  3. Keren deh Jihan, dan as a happy ending lover aku seneng banget endingnya. Dan aku sukaaaaa mengalirnya percakapannya. Karakternya kuat banget hahaha aku ngakak setiap baca gambaran tentang Misye. Nyesel deh kayaknya majalah gak muat ini. Atau ketelingsut kali ya.

    1. Tiap redaksi pasti punya kebijaksaan sendiri-sendiri ya ;). Enggak apa-apa, masuk blog juga kan banyak yang baca hehehe.

  4. keran cerbungnya mbak jihan, klo cerbungnya di muat jangan lupa bagi-bagi royalti ya. hehehhehehheeh

    1. Justru karena gak ada yang mau muat, jadi kuposting ajalah di blog hehehe 😀

  5. baguuuuus sekaliiiiii….panas mataku membacanya… 🙂 🙂 salam kenal ya mbaa…

  6. Gak bisa ngomong. Aku pernah ada di posisi Misye. Bedanya, aku dilarang bermain sama anak tetangga nenekky yg Muslim oleh nenekku dan temanku itu juga gak boleh main sama aku oleh neneknya. Kita suka ngumpet2 ketemuan di ladang tebu dekat rumah nenek atau di pohon jambu klutuk di depan rumah Pak RT. Aku cuma ketemua dia kalau liburan saja, tapi kita main cukup lama, 7 tahun, sampai dia kemudian meninggal kena DBD.

  7. huhu..kenapa ya si “read more” nya ga bisa di klik..

    penasaran mbak tamatnya gimana T.T

  8. suka banget mba,.. ngalirnya bagus,.. isinya juga bagus,.. 🙂

  9. Sukak banged mba

  10. seneng saya bacanya mb..Dulu sih kita mikirnya steriotip negatif aja tentang orang cina. Padahal yang baik ada yang judes juga ada ya..kaya kita juga sih.

  11. Mbak..bagus ceritanya.. Tapi jujur, hal yg agak mengganggu itu, sebenarnya si Aku di sini sdg bermimpi atau apa? Saat melihat reruntuhan bangunan rumah Misye, tiba-tiba puing bangunannya utuh kembali dalam beberapa saat. Lalu muncullah Misye membawa kebaya. Jadi..kembalinya bangunan menjadi utuh itu adalah keajaiban atau sedang bermimpi?

    1. Terserah interpretasi pembaca Mbak hahahahaha :p

Comments are closed.