[Cerbung] Temanku Cina (3)

Tentang Dia (bagian 3)

Bagian 1 cek dimari. Bagian 2 ada di sindang :D.

Gambar : pinterest.com

Oleh  : JIhan Davincka

***

Dua minggu berlalu. Aku masih belum mau ke ujung jalan itu. Aku memang sering marah dengan ucapan-ucapannya. Tapi kali ini, aku benar-benar kesal.

Dalam kamarku, aku sedang menghitung-hitung uang hasil berjualan bahan kerudung. Seharusnya hari itu aku menyerahkannya pada anak Cina itu. Tapi, siapa suruh dia bilang Nora lebih cantik dariku.

Sejak aku berkerudung, dia terus-terusan menawariku berbagai jenis kain untuk bahan kerudung. Bahkan akhirnya berhasil memaksaku untuk menjualnya ke teman-temanku yang lain. Tadinya aku canggung mau menjualnya kemana-mana. Setelah dicoba, teman-temanku malah banyak yang suka.

Aku pernah bertanya kenapa dia malah menjual bahan kerudung kepadaku. Maksudku dia mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan kami.

Dia malah memandangku aneh, ”Kenapa tidak?”

Tak sadar senyumku mengembang. Ah, anak itu. Hanya uang saja yang dipikirkannya.

Aku takut kalau Ibu tahu. Bapak sudah tahu lama. Entahlah, aku tak pernah bisa berbohong pada Bapak. Tapi, anak cina itu bilang, aku harus memberi beberapa helai kain kepada Ibu sebagai hadiah. Siapa tahu Ibu jadi melunak. Betul juga. Dan aku pun berinisiatif memberi beberapa helai kain bermotif bunga-bunga kesukaan Ibu.

“Ini dari Misye, Ibu. Hadiah, katanya.”

“Anak Cina itu?” Ibu mendengus.

“Coba, Ibu lihat dulu. Bahannya bagus sekali. Dia berterima kasih padaku karena aku mau menjual kain-kain miliknya ini.”

“Apa? Kau menjual barang milik anak Cina itu? Kau gila, ya?”

Aku mulai gentar kalau nada suara Ibu jadi tinggi lagi. Tapi, akhirnya aku mengeluarkan segenap keberanianku untuk menjelaskan panjang lebar tentang jual menjual kain ini. Kalau aku mendapat uang saku yang cukup besar karena usaha ini. Aku mendapatkan harga yang cukup murah dari Misye. Maklumlah, Papinya memang pedagang kain grosiran yang memiliki toko besar di beberapa tempat di luar kampung kami. Ini Misye yang sering cerita padaku.

“Ibu tak suka kalau kau mengemis pada anak Cina itu.” Akhirnya suara Ibu mulai melunak.

“Dia yang memaksaku. Tadinya aku tak mau. Tapi Nisa, Ratna, Nora, Kiki, semua bilang bahannya bagus dan membeli beberapa dariku. Ibu tahu tidak, ibu-ibu mereka pun sering membeli padaku.”

“Kau mau bikin Ibu malu?”

“Mereka membeli tanpa aku tawarin, Bu. Malu kenapa? Ini bahannya bagus-bagus. Harganya tidak murah.”

“Ya, sudah.” Ibu akhirnya mengambil helai-helai kain yang aku taruh diatas meja di hadapannya.

“Bagus memang kainnya. Ini berapa harganya?” Ibu meraba-meraba sehelai kain berwarna putih, dengan bunga-bunga merah besar di sekujurnya.

“Ini hadiah. Untuk Ibu, gratis. Dari Misye.”

Tapi, tentu saja, helai-helai kain itu tidak gratis. Aku membelinya dengan “setengah harga”.

Aku tersenyum-senyum mengingatnya. Sejak saat itu, Ibu pun bahkan suka membawa beberapa helai kain untuk ditawarkan pada Ibu-ibu pelanggan kue bolu bikinannya.

Ah, tak sepatutnya aku berlama-lama marah padanya. Besok, aku harus ke rumahnya dan menyerahkan uang ini.

***

Aku sedang merapikan kerudungku di depan kaca ketika tiba-tiba suara orang-orang bergemuruh dari luar. Aku cepat-cepat memasang peniti di bawah daguku dan berlari keluar kamar.

Ibu sudah ada di ruang tengah.

“Ada apa di luar?” Tampangnya panik sekali. Siapa yang tidak panik, hari minggu pagi begini, tiba-tiba mendengar orang berteriak-teriak di jalan.

Kami berdua baru akan membuka pintu ketika tergesa-gesa Bapak mendobrak pintu. Dia datang membopong seseorang yang nampaknya pingsan. Ya Tuhan, itu Pak Haji, bapaknya Nisa.

Ibu langsung membantu Bapak dan lekas-lekas menutup pintu rapat-rapat. Dipasangnya semua gerendel pintu. Dari atas ke bawah.

Bapak nampak pucat. Berganti-ganti dia memandang ke arah Ibu dan aku, sambil meredakan nafasnya yang memburu.

Ibu pergi ke dapur dan kembali dengan segelas air putih. Pak Haji yang wajahnya babak belur sekarang ditidurkan di atas kursi. Aku takut sekali. Ada apa ini?

Tiba-tiba Bapak memandangiku. “Mau kemana kau?” Aku bingung kenapa Bapak membentakku.

Aku mundur beberapa langkah. Bapak berdiri. Dadanya masih turun naik. Keringatnya belum kering. Di dahinya ada banyak butiran air yang masih mengalir deras. Aku benar-benar takut sekarang. Aku menelan ludah. Lututku bergetar.

Bapak mengalihkan pandangannya ke arah Ibu. Sorot matanya sudah tidak menyala. Tapi lututku masih gemetaran begitu rupa.

“Kau jangan ke rumah ujung itu. Masuklah ke kamarmu.” Kali ini nada suara Bapak jauh lebih tenang.

Ibu memberi isyarat dengan ujung matanya agar aku menurut. Meskipun ada berjuta tanya dalam hatiku, aku paksakan menyeret langkah masuk ke dalam kamarku.

Dalam kamar aku tidak tenang. Sia-sia saja aku menempelkan telingaku kuat-kuat ke arah pintu. Bapak berbicara dengan suara sangat rendah. Dan Ibu menjawab sambil berbisik-bisik.

Rumah ujung. Rumah anak Cina itu. Mataku langsung basah. Aduh, perasaanku sungguh tidak enak. Aku mengusap-usap mataku dan mencoba menajamkan pendengaranku. Mencoba menangkap suara-suara orang yang masih bergemuruh dari luar.

Tapi percuma saja. Kamarku ini ada di pojok belakang rumah. Bagaimana ini? Aku terduduk di balik pintu kamar. Segepok uang kertas yang sedari tadi berada dalam genggamanku mungkin sudah koyak.

***

Tak terdengar suara apa pun sekarang. Aku bangkit dari dudukku. Pinggangku pegal sekali. Aku berpindah ke atas ranjang di sudut kamarku. Menimbang-nimbang untuk keluar sekarang atau tidak. Tapi aku masih enggan menampakkan wajahku di hadapan Ibu dan Bapak. Biarpun rasa penasaran ini sudah sampai ke ubun-ubun.

Aku melepas kerudungku. Mengibaskannya perlahan, melipatnya rapi-rapi, dan menaruh ke dalam lemari.

Aku berbaring dan berharap aku tertidur begitu saja. Tapi begitu aku menutup mata, bayangan anak cina itu makin kuat menguasai pikiranku. Aku malah melihatnya dimana-mana kalau mataku terpejam. Biarpun lelah, mataku tetap memandang ke langit-langit kamar.

Dan anehnya, wajahnya kembali memenuhi langit kamarku. Tak terasa sudah sepuluh tahun berlalu sejak aku melihatnya pertama kali dengan rok renda-rendanya.

Waktu aku kecil, aku selalu iri dengan teman-temanku yang lain. Nisa itu punya kakak laki-laki dan dua adik perempuan. Nora cuma punya dua kakak laki-laki. Tapi rumahnya bersebelahan dengan Kiki. Kiki ini punya banyak sekali saudara perempuan. Aku tidak percaya sampai sekarang aku tidak hapal ada berapa saudara perempuannya.

Sedangkan aku, tak punya kakak, tak ada adik. Rumahku tidak terlalu dekat dari rumah mereka. Rasanya sepi. Saat mengaji di mesjid dulu, mereka akrab sekali kakak beradik. Nora tidak pernah jauh-jauh dari Kiki. Aku cuma pelengkap. Tak ada yang merasa benar-benar perlu mengakrabiku.

Lalu dia datang. Tadinya aku tak begitu suka dengan lagaknya yang menurutku terlalu angkuh. Tapi aku senang kalau Nisa dan Nora memandangku dengan iri saat aku bercerita kalau dia punya boneka Barbie dan aku boleh ikut memainkan boneka mahal itu.

Sebenarnya dia banyak mengatakan hal yang tidak kusukai. Tapi anehnya, aku malah jadi percaya padanya. Dan lama-lama, dialah yang lebih sering menjadi tempatku mengadu. Aku pun tak pernah segan bertanya macam-macam padanya.

“Ajarkan aku bahasa cina.” Kataku di suatu hari saat dia sedang menyisir rambutku di depan kaca. Dia bilang dia bisa membuat model rambutku yang membosankan itu menjadi lebih keren.

“Bahasa Mandarin.” Tukasnya pendek.

“Iya, itu. Bahasa Mandarin. Ajarkan padaku sedikit.”

“Mana aku tahu.”

“Kau pasti tahu.” Dia cuma nyengir mendengar nada suaraku yang menuduh.

Aku kembali bertanya. “Seperti apa negeri cina itu? Apa saudara-saudaramu di sana jago silat seperti film-film di televisi?”

“Aku tak punya saudara di sana. Sembarangan kau ini.”

“Yang benar saja. Kau kan orang cina.”

“Aku ini lahir di Jakarta. Papiku asli Jawa. Mami itu dari Manado. Tapi banyak juga saudara-saudara yang tinggal dekat kampung ini.”

“Lalu, seperti apa negeri cina itu,” kejarku.

“Mana aku tahu.”

Perutku terasa diaduk. Rasanya sudah capek sekali aku menangis. Seperti apa sembabnya mataku sekarang. Aku bangun dari tidurku. Sia-sia saja mencoba tidur. Hanya membuatku terbayang-bayang terus padanya.

Aku menyesal sudah bertengkar tentang hal bodoh dengannya. Tidak apa-apa kalau dia bilang Nora lebih cantik dariku. Kenapa aku bisa sebegitu kesal dan mendiamkannya hingga dua minggu.

Aku memilih keluar dari kamar sekarang. Lagipula aku sudah lapar.

Aku membuka pintu dengan ragu-ragu. Aku terbayang dengan wajah Pak Haji yang lebam-lebam tadi pagi. Tapi, kursi di ruang tamu sudah kosong. Tak ada siapa-siapa.

***

(Bersambung ke sini)

8 comments
  1. Mbak jihan saya suka dengan ceritanya… keren..

    1. Hai, hai, terima kasih, ya πŸ™‚

  2. salam kenal mba jihan…suka bangeeet sama ceritanya..ga sabar nunggu besok buat baca lanjutannya. πŸ˜€

    1. Udah tamat, tuh hehehe. Sori for late reply. Terima kasih ya sudah mampir ke sini πŸ™‚

  3. Suka suka..
    Ga sabar baca kelanjutannya

    1. Terima kasih. Sudah tamat, tuh hehe. Sorry for late reply πŸ™‚

Comments are closed.