[Cerbung] Temanku Cina (2)

Tentang Dia (Bagian 2) –> bagian 1 nya di sindang :D. 

Oleh : Jihan Davincka

***

Tahun demi tahun berlalu.

Tidak seperti hari biasanya, sore ini, rumah si Cina agak ramai. Astaga, melihat dia dan papi-maminya saja aku suka pusing. Sekarang, ada belasan orang-orang bermata sipit memenuhi ruangan besar di tengah-tengah rumahnya.

“Jangan bengong. Masuk sini.” Tiba-tiba tanganku ada yang menarik.

“Ada acara apa?” Tanyaku penasaran ketika kami berdua sudah duduk berdua diatas ranjang besar di kamarnya.

“Sahabat macam apa kau ini? Hari ini aku ulang tahun. Kau tak bawa kado untukku?”

“Oh ya?”

Dia mencibir. “Tak ada kado, tak boleh makan kue.”

Aku tertawa. Dan akhirnya melihat tumpukan kotak-kotak kado warna-warni di sudut kamarnya. Sebagian malah kertasnya sudah dikoyak-koyak.

“Tak sopan. Membuka kado saat tamu belum pulang.”

Dia menjawab sambil meraih salah satu kotak yang setengah terbuka. “Orang-orang aneh. Umurku sudah 15 tapi mereka masih saja memberiku boneka.”

“Hahahahahaha.”

Lalu tawaku terhenti, teringat tujuan utamaku menemuinya. Dia lalu memandangku lekat-lekat. Seolah tahu kalau aku mau bercerita sesuatu.

“Ibu mau aku pake kerudung.”

“Terus?” Dia memandangku aneh. “Semua temanmu pakai kerudung. Dan kalau mengaji dulu kau selalu pakai juga, kan?”

“Ini beda. Jadi, aku disuruh terus-terusan berkerudung. Kalau keluar rumah aku harus berkerudung terus.”

Dia masih terlihat bingung. Tapi sesaat kemudian, berkata dengan nada penuh semangat, “berarti kau harus punya banyak kerudung. Papiku menjual bahan-bahan buat kerudung juga. Apa warna kesukaanmu? Nanti aku ambilkan di toko. Untukmu, setengah harga saja.”

Sekarang aku yang menatapnya dengan bingung. “Kau ini…aku sedang bertanya padamu, menurutmu apa aku harus berkerudung seperti kata Ibu?”

Dia malah kembali mencecarku dengan mata berbinar-binar. “Kau suka warna ungu, kan? Akan aku pilihkan banyak motif untukmu. Tapi menurutku, kau pun cocok memakai warna biru. Aku sudah bilang, untukmu, setengah harga saja. Kau boleh mencicilnya kalau kau mau.”

Lihatlah dia, mendengarku saja tidak mau. Dan sore itu, aku pulang dari rumahnya dengan rasa kesal.

Sungguh hari itu bukan hari keberuntunganku. Baru saja mau masuk rumah, suara Ibu sudah melengking, “darimana kau? Dari rumah anak Cina itu, kan?”

Sebelum aku sempat menjawab, Ibu sudah kembali meracau, “lihatlah kalau kau terus-terusan bergaul dengannya. Kau tidak mau pakai kerudung. Semua temanmu sudah berkerudung. Dia pasti mengajarimu yang tidak-tidak. Kenapa, sih, kau terus-terusan main ke rumahnya? Mesti bagaiman Ibu lagi memberitahumu.”

Dan masih panjang lebar Ibu berbicara dengan nada tinggi sebelum Bapak datang dan menyuruhku masuk kamar. Di dalam kamar, aku membenamkan kepalaku dalam bantal. Dari balik pintu, masih terdengar jelas suara Bapak yang sedang berdebat dengan Ibu.

Aku berpikir-pikir, mungkin sebaiknya aku berkerudung juga seperti teman-temanku yang lain. Mana tahan aku mendengar Ibu yang terus-terusan menghardikku tiap hari. Dan mungkin aku akan mempertimbangkan bahan-bahan kain yang ditawarkan oleh anak Cina itu.

Tiga hari kemudian aku datang lagi ke rumah di ujung jalan itu. Ternyata, dia sudah menyiapkan banyak sekali bahan-bahan kain untukku. Warnanya ungu dan biru. Ketika aku mengambil beberapa buah bahan, dia menuliskannya dalam sebuah notes kecil. Namaku, nama-nama bahan yang aku tidak mengerti, beserta jumlah rupiah yang harus aku bayar. Setelahnya dia menatapku dengan nada puas, “jangan khawatir. Untukmu, setengah harga.”

***

Dua tahun kemudian, tak banyak yang berubah. Aku masih sering muncul di pintu rumahnya. Dan kemudian kami lebih banyak mengobrol di kamarnya.

Akhir-akhir ini, dia sering bercerita tentang laki-laki yang ditaksirnya. Aku menyimak dengan malu-malu. Dan sekali itu, dia mendesakku untuk bercerita hal yang sama.

Aku akhirnya bercerita panjang lebar dengannya mengenai pria yang aku taksir itu.

“Oh, jadi selain kau, si Nora pun juga suka padanya? Dan laki-laki itu sepertinya juga lebih suka pada Nora. Begitu maksudmu?” Dia mengangguk-angguk setelah aku selesai menumpahkan isi hatiku.

“Ya, seperti itulah.”

Dia nampak tercenung, sepertinya berusaha mengingat-ingat sesuatu. Lalu melihat ke arahku dengan serius, “tapi, Nora memang lebih cantik darimu.”

Aku sangat tersinggung. “Memangnya kau kenal dia?”

“Kau yang menceritakannya tadi. Dia teman mengajimu juga, kan? Semua anak kecil yang suka mengaji dulu itu selalu lewat depan sini. Berteriak-teriak seperti orang gila, cinaaaaaa…cinaaaaaa…” dia menirukan sambil tertawa-tawa.

“Teman mengajiku banyak. Ada Nisa. Ratna juga.”

“Oh, aku tahu si Nisa itu. Anaknya Pak Haji. Dia suka datang kesini juga sama Pak Haji. Tapi dia malu-malu kalau disuruh masuk ke kamarku. Oiya, kakak laki-lakinya Nisa juga suka ikut.”

“Ha? Laki-laki yang aku ceritakan tadi itu kakaknya Nisa.” Pipiku menghangat. Pasti wajahku sekarang merah padam.

Dia langsung terbahak-bahak. “Laki-laki seperti itu yang kau suka? Apanya yang menarik?”

Wajahku mungkin lebih merah lagi. “Tadi kau bilang Nora lebih cantik dariku. Sekarang kau bilang laki-laki itu tidak menarik. Kau benar-benar mau membuatku kesal.”

Dia tertawa kecil sekarang. “Menurutku, kau harus lebih sering pakai rok panjang seperti teman-temanmu. Kau ini kemana-mana pakai celana panjang.”

“Apa urusanmu?”

“Masa kau tak tahu? Laki-laki kebanyakan lebih suka dengan perempuan yang pakai rok.”

“Sok tahu sekali. Kau tahu aku tak suka pakai rok.”

“Berarti laki-laki yang kau suka itu laki-laki kebanyakan. Tapi, tenang saja. Aku rasa ada laki-laki yang lebih suka perempuan bercelana panjang. Mungkin jarang. Tapi pasti ada.”

“Tapi kau bilang Nora lebih cantik dariku.”

“Menurutku dia memang lebih cantik.”

“Mana mungkin kau tahu dia. Kami sudah lama berhenti mengaji di mesjid. Kau hanya mau mengejek.”

“Aku tidak pernah keluar rumah tapi aku tahu teman-temanmu.”

“Kau hanya ingin membuatku kesal. Jangan-jangan kau juga suka dengan kakaknya Nisa.”

Dia terbahak-bahak lagi. “Mana mungkin aku suka dengan laki-laki kebanyakan.”

Aku tersenyum mengejek. “Kau kira banyak laki-laki yang suka kepadamu?”

“Mana aku tahu. Kenapa kau marah-marah?”

Aku memang tak pandai berdebat dengannya. Lagian mataku sudah memanas. Dia pasti menertawakan aku kalau aku sampai menangis di hadapannya. Dan sore itu, entah untuk keberapa kalinya, aku pulang dari rumahnya dengan rasa kesal.

(Bersambung ke sini)

***

Gambar : clipartof.com
Gambar : clipartof.com
4 comments
  1. huahahaha lucuuuuu :))

    1. yang lucu siapa? gue? *maeninBuluMata* 😀

Comments are closed.