[Cerbung] Temanku Cina

Tentang Dia

Oleh : Jihan Davincka

***

BAGIAN 1

Tanah di ujung jalan itu cukup luas. Bertahun-tahun ditinggal pemiliknya, lama-lama dijadikan tempat membuang sampah oleh para tetangga.

Aku melewatinya selalu dengan hati berdebar. Bangunan rumahnya sudah hampir tidak ada. Seminggu setelah bangunan itu kosong, rumah batu yang sempat berdiri kokoh di sana dibongkar orang-orang.

Dulu-dulu aku suka mengusap-usap mataku jika lewat sini. Aku tidak mau terlihat menangis. Aku takut kalau orang-orang tahu mataku basah.

***

Gambar : igotitall.net
Gambar : igotitall.net

Ingatanku melayang jauh. Sangat jauh ke belakang.

Aku masih kelas satu SD. Rumah besar di ujung jalan itu tiba-tiba dipugar. Yang tadinya dikelilingi oleh pagar seng, sekarang hanya ditutup dengan pagar kayu kecil-kecil.

Dan sebulan kemudian, saat aku pulang mengaji, aku berdiri berlama-lama di depan rumah itu. Catnya baru semua. Baunya membuat kepalaku sedikit pening. Tapi masih jauh lebih enak daripada bau apek yang dulu selalu menguntit jika kita lewat sana. Pintunya terbuka.

“Mau apa kau?” sebuah suara menghardikku.

Aku kaget sekali. Aku pikir itu suara hantu. Tapi aku melihat kepala anak perempuan menyembul dari balik jendela.

Aku menantangnya, “memangnya kenapa?” padahal aku sebenarnya takut dan sudah ingin lari.

Anak perempuan itu menghilang. Aku tersenyum puas. Dia tentu takut padaku. Aku baru mau meninggalkan tempat itu, ketika dia sudah berdiri di depan pintu.

“Aku punya banyak mainan.” Katanya dengan lantang.

Aku melihatnya jelas-jelas. Aku yakin sekali dia sebaya denganku. Matanya sipit. Kulitnya putih sekali. Dia memakai rok renda-renda. Kaosnya warna putih bersih tanpa lengan. “Kau cina,” kataku setengah mengejek.

“Tapi aku punya banyak mainan.”

“Tapi kau cina.” Dan aku berlari menjauh, pulang ke rumah.

Aku berteriak-teriak kepada Ibu, “Ibuuuu, ada orang cina! Ada orang cina!”

“Kau ini kenapa? Mandilah sana. Ganti bajumu. Anak gadis berteriak-teriak seperti itu. Apa tidak malu?”

***

Tapi besoknya dan besoknya lagi, sepulang mengaji, aku melambatkan langkahku jika melewati ujung jalan itu. Tapi jendela tempat aku melihat kepalanya pertama kali selalu kosong.

Akhirnya setelah seminggu penasaran, hari ini aku berhenti di ujung jalan itu. Membuka kerudung kecilku dan berteriak, “haloooo.”

Pintunya bergerak. Terbuka setengah, dan dia pun muncul, “aku punya banyak mainan.”

“Aku juga punya.” Aku mengeluarkan setoples penuh kelereng yang aku punya.  Aku suka main gundu.

“Hahahaha, itu punya anak laki-laki. Aku punya banyak boneka.”

“Mana?” Tantangku.

Dia tiba-tiba keluar dan menghampiriku. Menarik tanganku kuat-kuat dan menyeretku, “Masuk sini.”

Biarpun takut tapi aku sangat penasaran. Dia membawaku ke dalam sebuah kamar. Mataku terbelalak. Luasnya kamar ini. Dan setengah dari ruangannya dipenuhi mainan.

“Sekarang kau percaya kan?”

“Ini punyamu semua?”

“Tentu saja. Tapi kau boleh main kalau mau.”

Sejak hari itu, setiap pulang mengaji, aku selalu mampir ke rumahnya. Tapi tak berani berlama-lama. Aku takut Ibu mencariku. Dan lebih takut lagi kalau Ibu memarahiku.

***

Setelah berbulan-bulan aku suka diam-diam bermain ke rumah anak itu, Ibu menegurku di suatu sore.

“Kata Ical, kau suka main ke rumah besar itu, ya?”

“Kenapa memang?” aku menjawab takut-takut.

“Kau kan harusnya mengaji, kau ini bagaimana?”

“Aku mengaji. Aku ke sana pas pulang mengaji. Tidak apa-apa kan?”

Ibu terdiam tapi kelihatan gelisah. “Kenapa tidak bermain bersama Ical lagi. Atau Nora atau Nisa. Biasanya kau bermain bersama mereka.”

“Misye punya banyak boneka.”

“Misye? Siapa Misye? Kau kan juga punya boneka.”

“Misye punya boneka barbie. Itu boneka mahal. Nisa juga bilang itu boneka mahal. Tanya saja pada Nisa.”

Ibu kelihatan bingung.

Bapak keluar dari kamar. Menyalakan rokoknya dan ikut duduk-duduk bersama kami. “Kenapa kalian? Kau bolos mengaji, ya.” Bapak mengepulkan asap rokok, melirik ke arahku.

Ibu mendekat ke Bapak dan membisik-bisikkan sesuatu di telinganya. Bapak mengernyitkan dahinya sebentar terus langsung tertawa.

“Kau tidak takut kalau dia menyuruhmu makan babi?” Bapak berbicara sambil tertawa.

“Dia punya boneka barbie.” Tantangku.

Bapak tertawa lagi. Kali ini dia melihat ke arah Ibu. “Biarkan saja. Dia tidak bolos mengaji, kan?”

Ibu memandang tidak suka pada Bapak. Aku merasa menang. Aku ikut duduk di sebelah Bapak. “Dia pelit, Pak. Tidak pernah menawariku makanan. Tapi dia punya boneka barbie.”

Bapak tertawa-tawa lagi.

***

(Bersambung ke sini :D)

10 comments
  1. emang sulit memahamkan orang ketika sara dijadikan perbedaan. manusia emang pada dasarnya udah dibuat berbeda2, tapi jangan diperlebar jurang perbedaan itu atas nama agama atau apapun. sy juga kesel di grup di FB ketika sibuk bahas pilkada, saling hujat, saling menjatuhkan. apalagi kalo maen di twitter. wuih twitwar kenceng ngisi TL yg pro dan kontra

    1. Iya, Mas. Sepakat :).

  2. Nunggu sambungannya πŸ™‚

    1. Late reply, nih hehehe. Sudah tamat tuh ya πŸ˜‰

  3. Ceritanya keren. Ditunggu lanjutannya… πŸ™‚

    1. Sudah tamat. Sorry for late reply πŸ˜€

  4. bagus … keren!

    1. Terima kasih πŸ™‚

  5. Cerita lagi donk…..
    Aku dulu juga besar di lingkungan yang beragam,
    Bukan orang tua yg mengajarkan untuk menghargai perbedaan, tapi lingkungan sekitar. Khan klo anak2 main bareng enggak nanya asalnya, agamanya, sukunya. Main ya main aja……
    Hehehe…….

Comments are closed.