Roda Pedati, Kadang di Atas Kadang di Bawah

by : Jihan Davincka

***

Sudah sebulan hengkang, masih saja suka kepo-kepo tentang Saudi. Dua hari lalu mendengar kasak kusuk soal ‘Saudinisasi’ yang kembali gencar berhembus di Negeri Petro Dolar ini. Ada razia iqama (semacam KTP untuk para pemukim Saudi).

Konon, kali ini razianya konon juga melanda para pekerja profesional. Saya tak enak hati mau bertanya langsung pada teman-teman yang masih di sana. Takutnya disangka mau nyolot :P.

Padahal sebenarnya beneran khawatir. Untunglah hasil kepo-kepo terselubung sudah berhasil mendapat info yang akurat. Ternyata…it’s not that bad. Alhamdulillah :).

NC 2

***

‘Saudinisasi’ bukan isu baru. Entah kapan mulainya, yang jelas beberapa tahun terakhir ini pemerintah Saudi memang dipusingkan dengan membanjirnya pekerja pendatang di Negeri Penjaga Wilayah Haram ini. Sensus tahun 2010 menunjukkan, sekitar 30% penduduk Saudi adalah pendatang. CMIIW, ya.

Sebelum ke Jeddah, saya juga suka keheranan mengapa Saudi masih bertengger di salah satu posisi puncak tujuan kerja para TKI, ya? Terutama untuk pekerja non-formal. Setelah tinggal di Jeddah baru deh ngerasain ‘asoy’nya tinggal di Negeri Gurun yang satu ini hehehehe.

Sekitar setahun lalu, saya sering membahas hal ini dengan suami. “Saudinisasi apaan, sih? Kenapa tiba-tiba Saudi mau mengusir pendatang?”

“Mereka butuh lapangan kerja untuk angkatan kerja usia mudanya.”

“Kok baru ribut-ribut belakangan ini?”

Baru deh suami mulai mendongeng panjang lebar :D. Konon, di tahun 70 hingga 80-an, malah Saudi yang mengundang orang-orang dari luar untuk datang dan ikut ‘mebangun’ Saudi. Potensi sumber daya alam minyak sedang booming.

Sementara saat itu Saudi belum ‘siap’. Malah katanya, waktu itu status warga negara ‘dijual murah’.

Mungkin Kerajaan Saudi ‘terlena’ terlalu lama. Tanpa sadar, puluhan tahun telah berlalu. Penduduk Saudi sudah makin banyak. Bayi-bayi mereka tumbuh makin dewasa. Mungkin 10 tahun terakhir ini, pemuda pemudinya sudah mencapai usia siap kerja. Masalahnya, mau kerja apa?

Perusahaan tentu tidak akan sembarangan memilih pegawai. Para pemuda Saudi ini kurang ditempa dan malah (mungkin) mendapat perlakuan manja dari orangtua dan pemerintah. Sekolah gratis, kesehatan gratis untuk penduduk Saudi asli.

Kalau tidak salah (CMIIW), kurikulum sekolah negeri Saudi juga agak berbeda. Meskipun menggunakan pendidikan umum tapi ada penekanan khusus untuk bahasa Arab dan agama Islam.

Jadi, pelajaran umumnya sedikit tergeser dan mungkin tidak mendalam. Padahal dalam Islam prinsipnya, “seimbang dunia akhirat” kan, ya? ;).

Dijejali dengan kekayaan berlimpah, ditambah pemasukan umrah dan haji, walaupun belum bergelar “negara maju”, Saudi termasuk negara ‘tajir’.

Kalau negara-negara lain ‘mengemis-ngemis’ (pasang iklan sana sini) agar wisatawan datang mengunjungi negerinya (untuk menambah devisa), Saudi malah dengan ketat membatasi jumlah pengunjung ke negaranya.

Selain sentimen ekonomi, Saudi punya magnet lain. Pesona spiritual dari dua kota suci, Mekkah dan Madinah. Tiap tahun, jutaan jemaah dari seluruh penjuru dunia akan berbondong-bondong mendatangi Saudi tanpa bujukan iklan apa pun.

Wajar saja jika pemerintah sangat memanjakan penduduk asli Saudi yang didominasi oleh orang Arab.

Jadi, salah satu jalan terbaik yang harus diambil pemerintah adalah “mengusir para pendatang.” Untuk memuluskan para pemuda Saudi mendapatkan kesempatan kerja.

Karena kalau harus bersaing dengan pekerja asing, para perantau yang semangat kerja dan skill-nya tidak main-main, pasti mereka akan kalah telak hehehe.

Upaya inilah yang disebut sebagai Saudinisasi. Beberapa tahun belakangan ini, berbagai cara telah ditempuh. Antaralain dengan memasang quota pegawai asal Saudi di tiap perusahaan.

Memaksa perusahaan untuk mempekerjakan orang Saudi asli sejumlah angka quota tersebut. Perusahaan yang ‘bandel’ akan masuk dalam zona merah. Harus berhati-hati.

Masih butuh waktu bagi Saudi untuk menyukseskan program Saudinisasi mereka. Membangun etos kerja dan perilaku karyawan bukan pekerjaan mudah dan cepat. Mereka tentu tidak akan gegabah main usir begitu saja kepada para pendatang.

Perusahaan kan tidak mau rugi. Kalau pada ‘ngambek’ dan ikut kabur, pening juga kan pemerintah Saudi? hehehehe.

Alasan lainnya adalah maraknya pekerja ilegal. Saking ‘malas’nya warga Saudi, pemerintah dulunya ‘tutup mata’ dan tak sadar membiarkan para pendatang menjejali tanah mereka. Ya, namanya butuh.

Keluarga Saudi itu punya asisten rumah tangga bisa banyak. Ada asisten untuk memasak dan membersihkan rumah. Belum lagi pengasuh anak. Supir juga wajib. Saudi tak membolehkan kaum wanita menyetir kendaraan sendiri.

Para pendatang ini pun kebanyakan malah kesenengan tinggal di Saudi. Betah secara psikologis sih mungkin tidak. Tapi berikut beberapa petikan hasil kepo-kepo saya dengan beberapa supir taksi asal Indonesia di Jeddah.

Umumnya saya membuka percakapan dengan, “Pak Abc, sudah lama di Saudi? Betah nih, Pak?”

Jawabannya beragam.

“15 tahun, Bu. Dari bujangan. Betah sih tidak. Tapi pernah pulang duitnya masih enakan sini, Bu.”

“Sudah hampir 20 tahun, Bu. Dulu keluarga ikut. Tapi saya pulangin. Anak-anak dah gede-gede. Kuliah semua. Istri jaga kontrakan. Alhamdulillah, ada beberapa rumah kecil-kecil di kampung. Saya mau pulang juga. Tapi Bu, di kampung enggak ada duit.”

(Catat, anaknya 3, kuliah semua! Punya beberapa rumah kontrakan. Supir taksi, cing! :P)

Satu lagi, “Sekitar 8 tahun, Bu. Istri di kampung. Saya punya usaha kerajinan besi. Istri punya kantin kecil-kecilan.” (Nah!)

Pantas pada ogah pulang hehehe. Jadi, jangan buru-buru menyangka TKI di sini penuh darah dan airmata hehehe. Hati-hati, supir taksi bisa jadi juragan kontrakan :D.

Saudi berbeda dengan negara Timur Tengah lainnya. Biaya hidupnya jauh lebih rendah daripada tetangga-tetangganya. Iya sih, kota Dubai dan Abu Dhabi keren luar biasa. Konon, Qatar adalah negara terkaya ke-2. Tapi teman saya di Abu Dhabi merintih atas mahalnya barang-barang di sana.

Mari kita lihat harga barang pokok di Jeddah. Jangan sakit hati, harga daging sapi dan beras lebih murah daripada di Jakarta ;). Karena berlimpah pendatang, hidup di Jeddah tidak terasa seperti di luar negeri.

Ketika Indonesia terkena musibah langkanya tempe, kami di Jeddah tetap bisa mendapatkan makanan khas tanah air ini dengan harga 3 riyal saja. Memang, lebih mahal. Tapi, di luar negeri lain, ada yang jual tempe seharga 7500 rupiah dengan pasokan yang sama banyaknya dengan tanah air? ;).

Harga bensin? Sudahlah ya, garuk-garuk tanah nanti. Ahahahaha.

Saudi tak memungut pajak dari siapa pun. Jadi, semua fasilitas umum bisa dinikmati oleh baik penduduk lokal maupun pendatang. Enak kan, numpang hidup di tempat orang tapi enggak bayar apa-apa :P. Malah ikut menikmati murahnya biaya hidup, bensin dengan harga sale :P, jalanan yang mulus-mulus, dsb.

Ini mungkin yang membuat pemerintah Saudi lama-lama empet juga ahahahahaha, “Gue yang capek-capek, lu orang bisa nikmatin semua dengan gratis.” Pernah ada isu, pemerintah mau menarik pajak dari para pendatang. Tapi konon ditentang oleh para ulama sana. Pajak itu haram katanya. Entah, ya. CMIIW lagi nih hehehe.

Bayangkan, kalau Anda datang sebagai pekerja profesional, diberi gaji dollar layaknya pekerja ekspat tanpa pajak dan Anda sanggup menahan diri untuk tidak ‘foya-foya’ di negeri orang, berapa itu DEVISA terkirim ke tanah air? Hehehehe. Berterima kasihlah pada pemerintah Saudi :P.

Jangan buru-buru menghakimi pemerintah Saudi. Now you can see WHY :).

***

Tapi kita bisa belajar sesuatu nih dari pemerintah Saudi. Kadang, memiliki kelebihan materi tidak menjamin kesejahteraan hidup :).

Lihat saja bangsa petarung seperti orang-orang Jepang. Punya apa sih Negeri Sakura ini? Tanah subur pas-pasan, kekayaan alam nyaris tidak ada, malah sering terkena bencana alam. But look at them! How strong they are until now :).

Saya teringat waktu kuliah sedang konsultasi dengan Pembimbing Akademik, salah satu senior datang. Dia sedang konsultasi tugas akhir juga. Saya terkesan dengan ucapan PA saya sesaat setelah senior tersebut mengeluhkan tentang isi makalahnya.

PA saya bilang, “Banyak keterbatasan, ya. Tapi kamu kerjakan saja terus. Jangan ganti topik dulu. Keterbatasan kadang membuat kita jadi kreatif, lho.”

Keterbatasan membuat kita jadi kreatif. Nah! Itu mungkin yang membuat orang-orang Jepang terkenal dengan inovasinya. Mereka tahu diri dengan ‘kemiskinan’ sumber daya alam mereka. Mereka pun mencari cara lain. Akhirnya tampil sebagai negara industri dan menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia.

Hal yang sama untuk negara-negara Eropa. Sebagian mereka minim kekayaan alam. Biaya hidupnya jadi cenderung tinggi. Tapi jadinya orang-orang Eropa sangat disiplin dalam menggunakan uang dan mandiri dalam banyak hal.

Sekaligus membuktikan satu pepatah lagi, “What doesn’t kill you, make you stronger.”

Tapi jadi ‘tajir’ itu bukan dosa. Pun bukan kelebihan. Lebih tepatnya, kekayaan itu cobaan. Lihat kan Negara Saudi? Mentang-mentang tajir, lupa diri ‘mendidik’ warganya hehehe. Dimanjakan terus, deh.

Hidup seperti roda pedati. Tidak selalu di atas. Sebagai orang tua, kita juga jadi belajar waspada. Sedari kecil mengajarkan kesederhanaan dan kerja keras pada anak-anak. Terlalu berat kalau mikirin negara, keluarga saja dulu :D.

Faktanya, lebih berat mengajarkan kesederhanaan pada mereka kala kita diberi kelonggaran rezeki. Kalau rezekinya sempit mah, mau tak mau kudu hemat hehehehe. Tapi coba kalau kita memiliki materi berlimpah? Gatal kan beliin ini itu buat anak-anak atas nama cinta dan, “La memang cari uang untuk mereka, kok.”

Nasib mereka tak pernah bisa kita ramalkan. Tugas kita hanya membangun pondasi yang kuat yang bisa mereka pakai untuk menempuh hidup. Siapa yang tahu, kehidupan mereka secara ekonomi di masa depan? Apa akan sejaya orang tuanya kini?

Makanya, ajarkan kesederhanaan dan kerja keras. Agar seperti apa pun mereka di masa depan, mereka tidak melumrahkan kehidupan dengan misalnya : baju-baju bermerek yang harganya tidak murah, makan di tempat mahal-mahal, liburan mesti ke hotel ;).

Kalau takdir menjadikan mereka sejaya kita sih tak masalah. Tapi apabila hidup menempa mereka lebih keras, siap tidak pakai baju murah makan di warteg? πŸ˜›

Bukan hal mudah memang. Ini catatan buat saya juga. Mampukan kami semua ya, Allah :).

***

9 comments
  1. Kalau rezekinya sempit mah, mau tak mau kudu hemat hehehehe. Tapi coba kalau kita memiliki materi berlimpah? Gatal kan beliin ini itu buat anak-anak atas nama cinta dan, β€œLa memang cari uang untuk mereka, kok.”
    hihihi iya, kalo hemat karena terpaksa mah ya akan beda auranya juga kali ya dengan yang hemat karena kesadaran bahwa less is more.

    1. Iya Mbak, beda pastinya kalau terpaksa dan diajarin ikhlas untuk sederhana ;).

  2. aaahhh…jadi flashback 5 tahun lebih tinggal di Jeddah πŸ™‚ bener banget semua yg ditulis soal Saudi. Dan krn skrg gw kerja di perusahaan Jepang, gw jd bisa bilang juga “bener banget yg lo tulis soal org Jepang!” ahahahaha πŸ˜€

    1. Wah, gue belum pernah ke Jepang ato kerja di perusahaan asal sana, jadi cuma bisa membahas ‘luaran’nya aja :D.

  3. nice thoughts πŸ™‚
    ijin share link tulisan ini di twitter πŸ™‚

    http://theprimadita.blogspot.com/

    1. Silakan saja πŸ™‚

  4. naluri orang tua memang pingin bgt nyenengin anak ya? apalagi sering org bilang, “loe capek2 kerja, buat apaan kalo bukan buat anak?” Jadi suka ada rasa bersalah, kalau anak minta sesuatu trus ga kita kasih, tp kan masa depan kita ga tau spt apa, kl kita bisa memilih mana yg butuh apa cuma keinginan, semoga bisa diminimalisir memanjakan anak ya? malah kalau kita lihat org2 yg memang bener2 kaya aja seperti warren buffet, hidupnya jg sederhana kesehariannya, kalo baca2 ttg dia.( ini jg self note buat saya).
    Btw, saya jg sudah 15 tahun kerja di perusahaan Jepang, kira-kira apa ya tentang Jepang yg bisa kita saling sharing? yang pasti sih, soal kedisiplinan, soal menjaga keharmonisasian antara bos dan pekerja amat2 dijaga demi lancarnya pekerjaan.Sekali mereka ga percaya kita, agak susah juga untuk bisa dihargai, kalau ini sih semua jg gitu ya? hehe

  5. wah…saya belajar di saudi 4 tahun dan sekarang lanjut ke jepang… dua negara unik yg bagaikan bumi dan langit..tapi kadang kangen saudi juga, kangen ayamnya chilli’s sama frappuchino di briocche doree mall of arabia..loh jd makanan… suka meringis klo sekarang dapat email promo hotel di mekah madinah dari booking.com…dulunya biasanya ga pake mikir langsung booking

    1. Iya yah, hotel-hotel bintang 5 kalau gak banyak jemaah umrah/haji, harganya terjun bebas hihihihi πŸ˜€

Comments are closed.