Jejak Urang Awak dalam Sejarah Bangsa

by : Jihan Davincka

***

sejarah kecil

Baru saja menuntaskan sebuah buku dari kumpulan jilid “Sejarah Kecil Perjuangan Bangsa.” Buku ini bukan khusus membahas suku Minang. Buku biografi beiberapa tokoh pelopor sejarah perjalanan bangsa ini ditulis oleh Rosihan Anwar. Kesan pertama setelah menuntaskan isinya, “Minang lagi, minang lagi!” Hehehehehe.

Memang, majalah Tempo pun pernah merilis buku biografi 4 Bapak Bangsa. Tidak tanggung-tanggung, 3 dari 4 (Sukarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka) terlahir dari salah satu suku terbesar di pulau terbarat nusantara. Bukan cuma mempopulerkan rendang, suku minang melahirkan tidak sedikit tokoh-tokoh penting di masa lalu. Pola pikir mereka yang beragam dan ‘intelek’ membuat banyak ideologi yang teranut. Membentang dari sayap kiri, tengah, dan kanan.

Sayap kiri ada Tan Malaka. Seorang tokoh komunis nasional yang namanya sempat diendapkan oleh rezim orde baru. Anda mungkin berpikir Tan Malaka seorang atheis :). Beliau seorang penghapal alquran. Mungkin lebih tepat jika disebut sebagai sosialis ekstrim kiri. Berbeda dengan sosialis komunis yang diterapkan oleh Lenin dan Stalin, yang sayangnya menjadi standardisasi dalam menilai pengusung paham komunis. Selain Tan Malaka, ada juga Rustam Effendi.

Sayap tengah ada Syahrir. Bapak Bangsa yang jasanya tidak sedikit namun berakhir tragis dalam isolasi politik hingga akhirnya meninggal dunia. Syahrir sosialis beraliran kiri namun tidak menyetujui sosialisme ala Uni Soviet. Menurutnya, sosialisme adalah mengakui persamaan derajat antar sesama manusia.

Tokoh populer di sayap kanan antaralain : Muhammad Natsir, Agus Salim, dan Buya Hamka. Ketiganya bukan nama asing, kan?

Urang awak juga menghiasi daftar pujangga besar dan pejuang kemanusiaan tanah air. Ada Motinggo Busye, A.A Navis, Muchtar Lubis, dan Lukman Harun. Saya baru tahu kalau Motinggo Busye, cerpenis favorit saya, ternyata orang Minang juga. Rata-rata mereka memiliki keahlian bermacam-macam nan mumpuni. Seorang versatile.

Disebutkan kalau orang Minang tidak berjodoh dengan pemerintahan. Hatta mundur ketika merasa garis politiknya sudah tidak sejalan dengan Sukarno. Syahrir mundur dari jabatan perdana menteri di tahun 1947. Tan Malaka terlempar dari organisasi yang diperjuangkannya dengan segenap jiwa. Buya Hamka juga akhirnya memutuskan hengkang dari pucuk kepemimpinan dari MUI.

A.A Navis mengeluhkan apa yang salah dengan orang Minang?

Sementara Sukarno dan Suharto mati-matian membentuk kekuasaan. Sekali tergenggam, mereka tak sudi melepaskannya.

Orang Minang mulai ‘tersisih’ ketika pemberontakan PRRI/Permesta bergejolak. Satu persatu tokoh-tokohnya mulai dilemahkan.

Sisa-sisa intelektualitasnya masih sangat terasa hingga kini. Sebagian besar teman saya yang lahir dan besar di sana, saat merantau pas kuliah atau sudah bekerja, kecerdasannya memang tidak main-main :).

Bahkan pernah kami naik taksi. Supirnya ternyata urang awak. Saat macet tidak terasa karena dia dan suami sibuk mengobrol soal politik tanah air. Cara bicaranya tidak seperti orang kebanyakan. Kok bisa jadi supir taksi, ya? hehehehe.

Saya ingin menghindari stereotip atau stigma semacam ini. Tapi ya, sejarah dan pengalaman sehari-hari mana sanggup saya bantah :). Tidak semuanya, lebih tepat (mungkin) sebagian besar.

***

Ngomong-ngomong soal agama, suami saya bilang orang Minang termasuk suku yang ‘ketat’ untuk urusan keyakinan. Bisa dibilang, suku ini 100% penganut muslim. Makanya tidak berlebihan jika film “Cinta Tapi Beda” karya Hanung menuai protes keras dari ‘petinggi-petinggi Minang’. Duh Mas Hanung, apa yang dicari? Jangan disama-samakan yang memang sudah berbeda :). Toleransi ada batasnya.

Saya penasaran sekali mengapa orang-orang Minang ini bisa ‘eksentrik’ begitu, ya. Padahal sebagian besar mereka mengalami gemblengan masa kecil ala pesantren konservatif. Memiliki pengetahuan agama Islam yang tidak ecek-ecek. Memang banyak dari mereka yang akhirnya berkiprah dan memiliki nama besar dalam pengetahuan agama. Tapi banyak juga yang akhirnya memilih berpihak pada sosialisme.

Sebenarnya bila ditilik lebih jauh, para sosialis ini muncul sebagai bentuk perlawanan kepada kaum kapitalis. Makanya kalau melihat sejarah perjuangan bangsa, selain kaum muslim yang memang sudah mendominasi kala itu, perlawanan habis-habisan pun datang dari kaum sosialis. Muslim memandang imperialisme sebagai ‘kristenisasi’ dan Sosialis yang memandang imperialisme sebagai kapitalis.

Sebagian paham sosialisme memimpikan perwujudan “Masyarakat Madani”. Karena paham ini kerap dihembus-hembuskan sebagai ekstrim kiri, konotasinya menjadi negatif 100%. Padahal ekstrim kiri ya karena ekstrim kanannya sudah menjadi pakem penganut kapitalis :D. Iya enggak, sih? *sotoy*.

Kalau ditinjau lebih jauh lagi, sebagian paham sosialis belum sepenuhnya ‘mati’. Sebagian besar Eropa Barat masih menerapkan aturan sosialisme kemanusiaan. Berbeda dengan Amerika Serikat yang kental dengan liberalismenya. Liberalisme? Jangan bingung. ‘Teman’nya kapitalisme juga, kok. Hehehe.

Liberalisme mengingatkan pada istilah liberal. Islam di era terkini di Indonesia mulai digerogoti sebuah kelompok kecil yang menamakan dirinya JIL (Jaringan Islam Liberal). Pemahaman mereka bisa dicek di website resminya. Yang saya bingung, mereka banyak menyerang pemahaman Islam ‘konservatif’ termasuk ‘meragukan’ isi alquran. Lha ya bikin agama baru aja, kenapa mesti dompleng nama Islam? :). Takut enggak dapat pengikut ni yeeeee :P.

Tapi apesnya, istilah ‘liberal’nya ini menjadi istilah yang tidak jarang digunakan secara ‘serampangan’. Misalnya pas Pilkada kemarin milih Jokowi, dituduh ‘liberal, lu!’. Suami saya nih yang kerap dituduh ‘liberal’ oleh teman-temannya. Ahahahahhaha.

Suami saya kebetulan urang awak juga. Saya mengagumi semangatnya belajar bahasa Arab. Alasan utamanya karena dia ingin lebih mengerti isi alquran. Memang, orangnya kurang suka dengan doktrin-doktrin yang menurutnya membuat orang menjadi ‘malas belajar’ dan mencari tahu sendiri:).

***

Semoga sepenggal cuplikan masa lalu urang awak di atas (exclude my husband! :P) bisa menyemangati kita sebagai intelektual muda kaum muslim *tsaaahhh* untuk tidak enggan menggali dan terus mengasah pengalaman. Jangan takut rasa penasaran akan menjerumuskan kita. Perbedaan akan me’liberalisasi’ kita ?Tidak, kok. Bukan label ustaz yang akan membawa kemuliaan bagi tiap manusia.

Takwanya, bukan ‘label’nya :).

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Jangan berlindung di balik zona nyaman, “kata ustaz kan begitu”. Jangan mentok gitu, dong hehehehe. Tentu kita selalu butuh guru dan bimbingan. Manalagi kita dihantui ketakutan hati tiap insan mudah terombang-ambing dan resiko ‘tergelincir’ itu selalu ada. Maka, lafadzkan selalu :

‘Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbi ‘Ala Diinik’

Artinya: “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu.”

[HR.Tirmidzi]

Sekalipun rasa hormat pada kaum ulama harus selalu menjadi bagian dari akhlak utama seorang muslim, bersandarlah selalu pada Allah. Bukan pada orang, figur, dan lain-lainnya.

Hasbunallah wani’mal wakil (Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik tempat bersandar). Surah Ali `Imran (3).

Amin :).

***

6 comments
  1. Hanung ketika mau bikin film CTB sepertinya kurang dalam risetnya terutama dalam hal menggali akar sejarah di bumi Minang.

    Saya belum pernah melihat penampakan buku “Sejarah Kecil Perjuangan Bangsa”, saya masukkan dalam daftar buku yang wajib diburu kalo gitu.

    Mengenai sejarah perjuangan tokoh-tokoh Islam nusantara juga banyak diulas di buku API Sejarah (Jilid 1 dan 2), saya rekomendasikan untuk dibaca oleh keluarga muslim.

    1. Terima kasih, Pak. Mesti dimasukkan ke dalam daftar perburuan berikutnya ke Gramed :D. (Mungkin) Hanung mau cari sensasi saja. Cari perhatian hehehehe.

  2. Dulu ada istilah SI merah, mungkin terdengar aneh buat anak jaman sekarang yang menyamakan sosialis dgn komunis. Salah kaprah. Beda ideologi banget, bahkan di eropa, kalau berminat baca sejarah, para pendukung komunis dan sosialis itu sering konflik dan saling serang.

    1. Kalau di Indonesia, mungkin akibat pengaruh rezim orde baru yang masih berjejak hingga sekarang. Saking inginnya membenamkan pesona orde lama (Soekarno cs), kaum sosialis ikut ditekan hehehehe.

  3. Beberapa kali lihat buku ini di perpust, saya cuekin. Gak naksir aja rasanya. Sebagai urang awak, saya harus baca! Lho, kok? Dulu waktu SD di Bukittinggi sana, ada guru saya yang dengan bangga membuat list tokoh-tokoh nasional yang merupakan urang awak. Mungkin itu untuk memotivasi kami membangun mimpi. Eits, mba Jihan dapat urang awak, tho, hehe.

    1. Iya Mbak. AKu baru nyadar, namamu aja ‘Minang banget’ ya hehehe. Kalau saya pribadi senang baca-baca buku non fiksi yang ditulis oleh para wartawan atau mantan wartawan. Kata-katanya ‘dahsyat’ dan gak ngebosenin :D. Iya Mbak, suamiku urang awak, mertua asli bukittinggi. Tapi sejak bapak mertua berkarier di BUMN, mereka sekeluarga merantau ke Sulawesi dan Jawa. Suamiku bisa bahasa Jawa dan Minang. Dia tidak pernah tinggal di Sumatera :D. Lahir di yogya, kecil di pamekasan – nganjuk, sisanya di Jakarta terus hehe.

Comments are closed.