Don’t We All?

athlone, ireland

***

“There is nothing permanent except CHANGE.”

Sepanjang hidup kita tak pernah bisa lepas dari perubahan. Dari TK ke SD saja, padahal sekolahnya sama dan hampir 100% teman-temannya itu-itu juga, tapi gara-gara ganti baju seragam, saya sempat keder.

Agak canggung juga rasanya membawa tas yang lebih besar dengan buku-buku lebih banyak. Di TK kan sebagian besar waktu dihabiskan untuk menyanyi dan main-main saja, hehehehe. Kasihan ya anak-anak TK (di Indonesia) zaman sekarang :P.
Padahal waktu masih berseragam rompi, selalu mencuri-curi waktu untuk mengintip anak-anak SD di gedung depan. Berharap agar waktu berlari dan akhirnya bisa melepas rompi, berganti kemeja dan rok payung :D.Tapi saat waktunya tiba, tetap saja ada rasa tidak nyaman. Malah ingin waktu berputar mundur, belum rela meninggalkan akses khusus kapan saja untuk menyerbu playground sekolah di belakang kelas.

Dari SD ke SMP lebih dinanti-nanti. Buat saya alasannya sepele banget. Model roknya beda, Cyiiinnnn. HIhihihihi. Anak SMP kan roknya model apa itu ya namanya, pokoknya rasanya lebih dewasa gitu, deh.

Tapi tetap saja begitu gongnya sudah berbunyi, mendadak muncul rasa ragu dan was-was. Akankah semua berjalan seperti yang diharapkan?

Malam pertama menjelang dimulainya hari-hari baru sebagai anak SMP, tidurnya enggak khusyuk. Teganglah pokoknya :P. Di tahun 90-an, status ABG resmi digenggam saat memasuki gerbang SMP :D. Artinya sudah halal tuh naksir-naksiran ahahahahaha.

Dari SMP ke SMA terus terang tidak seheboh perubahan dari SD ke SMP. Kerusuhan malam pertama sebelum sekolah enggak banget, deh. Saya pundung karena rok sekolah dijahitnya di bawah lutut. Besoknya di sekolah, saya ngikutin saran teman untuk melipat rok di bagian pinggang agar terlihat lebih pendek. Hihihihihi. Situ seksi??? :P.

SMA ke kuliah? Ini nih puncak perubahannya. Perubahan lokasi (lintas pulau segala), 100% teman-teman baru, dan juaranya…pengenalan bahasa!

Di masa orientasi saat kelelahan karena padatnya acara, saya duduk-duduk sendiri dekat danau UI. Perut lapar jadilah beli gorengan.

“Bang, minta ubi, ya.”

Penjualnya menyerahkan sekantong kertas.

Baru satu gigitan, saya sudah protes, “Duh Bang, saya mintanya ubi, lho. Bukan ini.” Saya menunjuk ke arah jenis gorengan lain. Entah karena lapar dan panas, dan secara default memang kalau ngomong nadanya pasti tinggi, suara saya terdengar marah-marah.

Penjualnya nampak bingung, “Lah, ini singkong. Yang di tangan Mbak itu beneran ubi.”

Singkong? Ummm… iya sih, saya tahu singkong itu ubi. Tapi di Sulawesi, tepatnya di kota kelahiran saya di kota Makassar, yang kami sebut sehari-hari sebagai ubi adalah ubi kayu. Yang ternyata di Jawa disebut sebagai singkong. Adapun ubi di Jawa adalah sebutan umum untuk ubi manis. Kami di sulawesi menyebut si ubi manis sebagai ubi jalar. Pusing? Samaaaaa. Hehehehe.

Belum lagi istilah martabak dan martabak telur. Martabak di Depok adalah sebutan default untuk martabak manis. Sementara kami di Sulawesi kebalik, dong. Martabak telur kami singkat saja menjadi martabak. Martabak manis dikenal sebagai “terang bulan” :P.

Apes deh, lagi ngebet-ngebetnya pengin martabak telur, manalagi dana pas-pasan, malah dibuatin martabak manis. Zzzzzz

Perjalanannya tidak terbatas saat sekolah saja. Memasuki dunia kerja perubahan-perubahan terus mengikuti. Misalnya saja harus berpindah kantor. Padahal kan yang pengin resign kita-kita juga, tapi begitu harus membuat farewell note buat teman-teman, pasti terselip rasa khawatir dan enggan plus… mewek gak jelas! =)).

***

Sudah desember lagi. Separuh bulan di penghujung tahun masehi ini sudah dijelang. Salah satu resolusi besar saya dan suami di tahun 2012 ini, alhamdulillah, sudah mulai memasuki fase final. Kabar gembira yang dinanti-nanti sudah datang, lebih cepat daripada perkiraan.

Resolusi yang tentu membawa perubahan yang tidak sedikit buat kami sekeluarga. Senang? Jangan ditanya :). Tapi sekaligus memunculkan rasa cemas yang lama kelamaan menjelma menjadi, “is this the right choice?”

Padahal selama masa penantian, tak putus-putusnya doa dipanjatkan. Tak henti-hentinya harapan dilantunkan. Begitu hasilnya kelihatan, malah rasa ragu yang terus mengikuti.

Tapi bukankah semua perubahan, apa pun itu, pasti akan memunculkan dua hal. Layaknya sekeping koin, selalu ada 2 sisi mata uang. Kata siapa menghadapi perubahan itu mudah? :).

Siapa yang menjamin semuanya akan berjalan sesuai yang diharapkan? Bahwa kalau sudah SMP sudah boleh naksir-naksiran. Boro-boro, pelajarannya malah lebih susah -_-. Kalau sudah SMA, boleh kongkow-kongkow seenaknya. Padahal dari kelas 1 sudah rusuh ngincer universitas idaman dan mati-matian les ini itu. Kalau kuliah sudah bebas kemana-mana, apa daya uang saku pas-pasan yaaaa, hihihihihi. Kalau pindah kerja, pasti lebih seru, etapi teman-teman suka ngajakin makan siang ke tempat yang mahal-mahal. Ahahahahahha. Curhat kauuuuuu :P.

Selalu akan terselip ketidakpastian. Tapi ilmuwan besar seperti Einsten pun sudah pernah menyebutkan bahwa, “Uncertainty is part of reality.”

Tidak ada yang sanggup menghindari perubahan-perubahan yang akan terjadi. Baik yang direncanakan maupun yang datang tanpa diminta. Setiap perubahan sewajarnya diselipi rasa cemas dan takut. Perubahan apa pun, untuk siapa pun.

Seperti pesan Dumbledore dalam buku ke-4 serial Harry Potter, “Apa pun yang terjadi, kita hanya harus menghadapinya.” Cara terbaik untuk menghadapi perubahan adalah … menghadapinya. Of course… if it’s possible, be prepared ;).

Don’t we all? :).

***

3 comments
  1. Kalo di Jawa (Jatim, Jateng, DIY), ubi kayu itu lebih sering disebut pohung. Sedangkan ubi manis itu disebut telo
    Itu semua dalam sebutan bahasa daerah / bahasa ibu

    *komentar makanan 🙂

    1. Despite isi komentarnya, saya bangga sekali dikomentarin master blogger a.k.a Pak Iwan hehehehe :D.

  2. menarik 🙂
    itu waktu curi-curi ngeliat anak SD, duuuuh saya banget itu wkwkwkwk “asik ya gk bawa bekel lagi, bisa dapat duit jajan”

Comments are closed.